Saturday, July 29, 2017

TIDAK ADA ANAK YANG SALAH


OLEH:
MUHAMMAD PLATO

Jika kita teliti sebab-sebab terjadinya suatu kejadian, maka semua kejadian sebab datangnya dari Allah. Namun demikian, kejadian itu ada dalam realitas kehidupan manusia. Dalam realitas kehidupan, Allah menetapkan sebab-sebab kejadian yang bisa dipahami manusia. Secara umum sebab-sebab kejadian buruk pada manusia, pangkalnya ada dalam diri manusia, demikian sebaliknya.

Menurut psikologi perkembangan, kategori manusia terbagi menjadi dua yaitu anak-anak dan dewasa. Perbedaan anak-anak dengan orang dewasa, anak-anak belum memiliki kebebasan dalam mengambil keputusan karena mereka belum mampu menggunakan rasionalitasnya. Anak-anak cenderung mengikuti naluri amarah dan syahwatnya.

Ciri orang dewasa cenderung mengambil keputusan dengan kecerdasan intelektualnya. Orang dewasa adalah mereka yang disebut manusia sempurna, yaitu yang memiliki keutamaan di daya intelektualnya. Mereka tergolong para pemimpin atau khalifah yang memiliki keluasan ilmu dan hikmah. Untuk itulah menurut Plato juga Ibn Rusyd, para pemimpin seharusnya golongan filosof.

Para pemimpin atau khalifah adalah manusia-manusia dewasa. Untuk itulah setiap manusia dewasa adalah pemimpin yang akan diminta pertanggungjawabannya. Dan anak-anak belum masuk pada kategori pemimpin, maka dari itu dia tidak akan diminta pertanggungjawaban di dunia maupun akhirat. Untuk itulah mereka yang meninggal saat anak-anak akan terbebas dari hisab.
Anak yang suka marah-marah, tergantung lingkungan orang dewasa di keluarganya.
 Mengacu kepada keterangan dalam Al-Qur’an, kedewasaan seseorang diukur dari kecerdasan. “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” (Annisaa, 4:6).

Menurut Al-Qur’an ciri orang-orang dewasa ditandai dengan cukup umur untuk menikah dan memiliki kecerdasan (intelektual), dalam mengelola harta. Hal menarik dari keterangan Al-Qur’an adalah kedewasaan tidak diukur dari kecukupan umur manusia untuk menikah, tetapi harus dibarengi dengan kecerdasan dalam mengelola harta. Kecerdasan mengelola harta artinya berfungsi daya rasionalitasnya.

Antara pendapat Ibn Ruysd dengan keterangan dalam Al-Qur’an memiliki hubungan bahwa kedewasaan seseorang dilihat dari kecerdasan intelektual. Maka prasyarat kedewasaan manusia adalah luasnya wawasan dan kedalaman dalam kepemilikan ilmu pengetahuan.

Ukuran pemisah antara dewasa dan anak-anak, para ahli psikologi sepakat membatasi pada usia antara 17-18 tahun. Pada usia ini manusia sudah memiliki kestabilan emosi dan kemapanan dalam menggunakan rasionalitasnya.

Dengan batasan inilah, para pendidik harus memahami bahwa usia sekolah mulai PAUD sampai SLTA mereka tergolong anak-anak. Mereka tidak independen, segala keputusan hidupnya masih dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan di mana dia tinggal. Faktor yang paling besar pengaruhnya kepada manusia masa anak-anak adalah lingkungan keluarga, yaitu pola asuh, tata laku, yang berlaku dalam lingkungan keluarga.

Dalam lingkungan keluarga orang-orang yang paling bertanggung jawab karena dianggap dewasa adalah kedua orang tuanya. Maka dari itu kesalahan prilaku anak-anak sumber utamanya ada di kedua orang tua.

Jadi tidak ada anak yang salah. Perbuatan-perbuatan menyimpang yang dilakukan anak, cara memperbaikinya harus dimulai dari kedua orang tua. Untuk itulah para pendidik yang ada di sekolah, guna kepentingan membangun karakter dan kedewasaan anak-anak, perlu bekerjasama, berkolaborasi antara guru (pihak sekolah) dengan orang tua. Demikian juga orang tua harus terbuka pada pihak sekolah jangan menutup-nutupi kesalahan anak-anaknya. Demikian analisa saya, semoga jadi manfaat untuk semua. Kebenaran milik Allah, kesalahan dari manusia. Wallahu ‘alam.

(Penulis Master Trainer @logika_Tuhan).

Tuesday, July 25, 2017

MENGAJARKAN PANDAI BERBICARA

OLEH: MUHAMMAD PLATO
  
“Mengajarnya pandai berbicara”. (Ar Rahmaan, 55:4). Inilah ayat yang mendasari pepatah bahwa hati-hati dengan lidah mu, karena lidah mu adalah pedang mu. Maka Allah mengajarkan kepada manusia berbicara. Maka dari itu, kitab suci Al-Qur’an adalah bahan ajar bagi orang-orang yang mau belajar berbicara.

Untuk itulah pelajaran berbicara yang pertama kali harus diperkenalkan kepada anak-anak adalah kata-kata pembicaraan yang ada dalam Al-Qur’an. Anak-anak kecil yang baru mengenal bicara hendaknya diperkenalkan kata-kata pendek dari Al-Qur’an. Materi ajar berbicara ini harus diterapkan di setiap tingkat mulai dari pendidikan usia dini.

Pada seluruh tingkatan pendidikan, pelajaran berbicara harus mulai diperkenalkan cara-cara berbicara yang sesuai dengan kaidah. Pelajaran bicara di tingkat dasar diperkenalkan dengan pelajaran menyusun kalimat sederhana yang benar sesuai dengan pola berpikir baku.

Jujur adalah bertindak sesuai dengan aturan yang berlaku. Berbohong pun kalau ada aturannya sama dengan kejujuran. sumber gambar google.

Semakin tingggi tingkatan pendidikan, pelajaran bicara diajarkan dengan melatih menyusun kalimat dalam bentuk paragraf dengan pola hubungan sebab akibat antar kalimat. Pada tingkat lanjut terus dilatih menggunakan paragraph dengan pola pikir deduktif atau induktif.

Setela diajarkan pola-pola berpikir dalam berbicara, selanjutnya anak-anak harus diajarkan tetang objek pembicaraan. Objek pembicaraan tidak boleh berisi tentang keburukan, harus berisi tentang kebaikan. Hal ini didasari pada keterangan dalam kitab suci AL-Qur’an.

Dan sebutlah (nama) Tuhanmu sebanyak-banyaknya serta bertasbihlah di waktu petang dan pagi hari". (Ali Imran, 31:41)

Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur). (Adh Dhuhaa, 93:11)

Dua keterangan di atas memberi petunjuk tentang objek pembicaraan. Menyebut-nyebut nama Tuhan dan semua kenikmatan yang telah kita rasakan sebagai pemberian dari Tuhan adalah bagian dari segala objek pembicaraan.

Realitas hidup terdiri dari dua yaitu sulit dan lapang, susah dan senang, gagal dan sukses. Objek pembicaraan yang bisa menjebak manusia ke dalam keluhan, dan menyalahkan orang lain, terjadi dalam kondisi sulit, susah, dan gagal.

Agar kita terbebas dari objek pembicaraan yang dilarang Tuhan, maka kita harus berfokus pada realitas hidup yang objeknya kelapangan, kesenangan, dan kesuksesan. Dari penjelasan para ahli tafsir, dalam surat Alam Nasrah ayat 5, ditafsir bahwa “sesungguhnya BERSAMA kesulitan itu ada kemudahan”.

Kata BERSAMA, menjadi kode bahwa antara kondisi susah dan lapang, gagal dan sukses, terjadi secara bersamaan. Jika Tuhan memerintahkan selalu menyebut-nyebut nikmat yang diberikan sebagai objek pembicaraan, sangat bisa dipahami karena tidak ada manusia yang tidak menerima nikmat dari Tuhan, karena setiap kesulitan bersamaan adanya dengan kesenangan. Tinggal kita berfokus pada kesenangannya bukan pada kesusahannya. Sehingga objek pembicaraan kita setiap saat tidak akan lepas dari menyebut-nyebut kenikmatan yang kita dapat dari Tuhan dalam kondisi apapun.

Mindset ini akan menghindarkan manusia dari jebakan kondisi sulit, yang sering mendorong manusia untuk fokus pada kesulitan dan kesusahan, sehingga objek pembicaraan terjebak pada menceritakan kesulitan, kesusahan, derita, (keluhan) dan menyalah-nyalahkan orang lain.

Menyebut-nyebut kenikmatan dari Tuhan Inilah tuntunan berpikir, dan berbicara, yang diajarkan Tuhan kepada manusia, agar kita selalu menjadi orang-orang yang bersyukur dan hidup dalam kelimpahan. Dan Sebutlah nama Tuhan mu yang banyak agar kamu termasuk orang-orang yang beruntung.

(Muhammad Plato, IG: @logika_Tuhan)

Sunday, July 16, 2017

TAUHID WUJUDI


OLEH:
MUHAMMAD PLATO

Saya termasuk awam yang belum paham tentang ajaran “wahdah al-wujud”, Saya juga belajar dari awam bahwa ajaran wahdah al-wujud (ketunggalan wujud) termasuk ajaran menyimpang, karena ajaran ini menganggap manusia sebagai Tuhan. Salah satunya diajarkan oleh syeh Siti Jenar.

Menurut kabar burung, Syeh Siti Jenar mendapat hukuman mati, karena mengajarkan wahdah al-wujud. Sampai sekarang saya belum mendapat cerita sejarah yang sebenarnya. Apakah Syeh Siti Jenar mendapat hukuman karena ajarannya atau karena ada kepentingan politik saat itu. Sebab ketika saya membaca sebuah kisah para pemikir yang dihukum mati, ternyata bukan murni karena ajarannya, melainkan karena kepentingan politik.

Diadilinya Ibn Ruysd, karya-karyanya dibakar, bukan lantaran persoalan agama. Ajaran agama hanya dijadikan topeng untuk menyingkirkan Ibn Rusyd, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh para diktator. Ibn Rusyd, diadili lebih disebabkan karena karya tulisnya yang mengecam kediktatoran, ketidakdilan tanpa basa-basi. (Al-Jabiri, 2016).

Kasusnya seperti sekarang, ulama-ulama yang terlibat kasus pidana dengan berbagai dakwaan, tidak menutup mata masyarakat, ada kepentingan-kepentingan politik dari dalam maupun luar negeri. Sebab jika kita teliti, ajaran-ajaran yang dibawa oleh ulama-ulama tersebut bersumber dari ajaran yang benar. Hanya para ulama tersebut tidak bisa berkompromi dengan penyimpangan sehingga dianggap menjadi penghambat tujuan politik. Ujung-ujungnya menegakkan kebenaran perlu perjuangan politik.

Saya membaca dan memahami beberapa buku karya terjemahan dari Ibn Arabi yang lahir di Murcia Spanyol tahun 1165, ternyata ajaran wahdah al-wujud adalah teori yang dikemukakan oleh Ibn Arabi, inti ajarannya diberi nama tauhid wujudi. Sumber-sumber pemikiran ajaran tauhid wujudi berasal dari Al-Qur’an dan Hadist.

MANUSIA SEMPURNA

Beberapa pemikiran yang melatarbelakangi tauhid wujudi adalah perbedaan konsep manusia sempurna dengan manusia binatang. Manusia tahu dari mana keyakinan dan keputusannya berasal. Setiap binatang tahu perkara apapun, tapi tidak tahu dari mana asal perkara tersebut muncul. Karena alasan inilah binatang juga disebut manusia, yaitu suatu kondisi yang juga dimiliki manusia pada umumnya, kecuali oleh manusia sempurna. Siapa manusia sempurna, yaitu manusia yang menerima amanah dari Tuhan sebagai khalifah, menggantikan manusia universal yang besar. Manusia sempurna menikmati rezeki Ilahiah berupa ilmu-ilmu yang lahir dari kerja berpikir, perasaan, dan pemikiran yang benar.

MANUSIA MINIATUR TUHAN

Ibn Arabi melandasi pemikiran Tauhid Alwujudnya dengan mengatakan, Tuhan merupakan cermin bagi alam semesta, yang di dalam cermin itu tampak segala rupa dan bentuk alam. Wujud-wujud mukminat melihat dirinya sendiri di dalam cermin wujud Tuhan. Alam semesta menurut mayoritas ulama adalah manusia yang berbadan besar (Insan Kabir), dalam dalam pengertian maknawi maupun secara fisik. Allah berfirman:

“sesunggunya penciptaan langit dan bumi lebih besar dibanding peciptaan manusia, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya”. (Al Mukmin, 40:57).

Manusia adalah miniatur dari alam semesta. Sebagaimana miniatur, manusia adalah makhluk yang diciptakan paling akhir. Sedangkan Alam semesta adalah miniatur Tuhan. Jadi manusia sempurna adalah miniatur alam sekaligus miniatur Tuhan.

Ajaran tauhid wujudi tidak mengatakan manusia adalah Tuhan, tapi menjadikan manusia bermoral tinggi, karena memahami hakikat siapa dirinya.

MANUSIA SERUPA TUHAN

Dasar pemikiran Tauhid Alwujud bersumber pada sebuah hadis, “sesungguhnya Allah Menciptakan Adam atas rupa-Nya”.  (HR Muslim). Seluruh rupa alam semesta tersimpan dalam diri manusia. Manusia yang sudah berada dalam rupa Tuhan tidak bisa bertindak kecuali searah dengan tindakan Tuhan. Manusia pemilik rupa Tuhan adalah khalifah.

Dalam pemikiran tauhid wujudi, manusia bukan Tuhan, hal ini sebagai konsekuensi dari manusia diciptakan. Ciptaan Tuhan memiliki konsekuensi serupa, berlawanan dan berbeda dengan Penciptanya.

MANUSIA BAYANGAN TUHAN
Tuhan menciptakan manusia sempurna atas rupa diri-Nya, dan menjadikan manusia ini sebagai dalil petunjuk bagi siapa saja yang ingin mengenal tentang diri-Nya secara penyaksian langsung bukan melalui perenungan; yaitu dengan melihat ayat-ayat Tuhan di alam semesta. “kami akan memperlihatkan ayat-ayat Kami kepada mereka di dalam alam semesta (ufuk), dan pada diri mereka sendiri” (Fushshilat, 41:53).

Manusia sempurna yang merepresentasikan rupa Tuhan bagaikan bayangan suatu benda di alam. Dimana bayangan tersebut tidak terpisah dari bendanya dalam keadaan seperti apapun, hanya saja bayangan itu tampak secara kasat mata dan terkadang pula bersembunyi. JIka bayangan itu tersembunyi maka keberadaannya hanya bisa dipikirkan. Jika bayangan itu sedang menampakkan diri maka keberadaannya bisa disaksikan langsung oleh mata orang yang melihatnya. Bayangan adalah ayat-ayat nyata di alam semesta agar manusia bisa melihat Tuhannya.

“tidakkah engkau melihat Tuhanmu, bagaimana ia menggerakkan bayangan dan andai ia berkehendak niscaya niscaya Ia menjadikan bayangan itu tak bergerak. (Al-Furqan, 25:45).

Itulah pondasi-pondasi dasar pemikiran tauhid wujudi yang dikemukakan oleh Ibn Arabi. Pemikiran ini kemudian bertransformasi ke Indonesia terkenal dengan ajaran wahdatul al-wujud. Menurut pemahaman saya, ajaran ini tidak menganggap manusia Tuhan, tapi manusia menyerupai, miniatur, dan bayangan Tuhan. Sebagaimana dijelaskan dotrin ketunggalan wujud Ibn Arabi ini tidaklah bersifat panteistik (menganggap segala sesuatu Tuhan), melainkan monorealistik yaitu menegaskan ketunggalan segala ada dan mengada. Diibaratkan seperti cahaya dan warna, setiap warna tidak memiliki eksistensi tanpa cahaya. Dengan demikian segala sesuatu identic dengan wujud dan sekaligus berbeda diangannya. (Haidar Bagir, 2017).

Dalam konsep menyerupai, miniatur, dan bayangan, tentu tidak sama dengan yang dirupainya. Bayangan manusia, bukanlah manusia itu sendiri. Namun bayangan tidak akan terpisah dari pemilik bayangannya. Oleh karena itulah antara manusia dan Tuhan menjadi tak terpisahkan, tetapi memiliki perbedaan.

Lalu untuk apa ajaran ini diajarkan kepada manusia, agar manusia memahami siapa dirinya. Melalui ajaran tauhid wujudi, manusia bisa memahami bahwa dirinya tidak akan pernah luput dari penglihatan Tuhan. Orang-orang yang memahami hakikat ini, akan menjadi manusia sempurna yang memiliki moralitas tinggi, sehingga dirinya tidak mampu lagi sembunyi dari penglihatan Tuhan dan tidak mampu lagi berbuat jahat mengikuti hawa nafsunya.

Orang-orang seperti ini berbahaya bagi kekuasaan. Orang-orang yang sudah menemukan hakikat siapa wujud dirinya, adalah manusia sempurna yang sudah tidak lagi bisa kompromi dengan kebatilan. Bisa jadi orang-orang seperti ini akan disingkirkan demi langgengnya kekuasaan. Wallahu’alam.

(Penulis Master Trainer @logika_Tuhan)