Sejarah
adalah pekerjaan mental manusia, tidak satu orang pun pernah kembali ke masa
lalu dan menulis sejarah. Kejadian yang terjadi di masa lalu diungkap melalui
penfasiran para sejarawan. Menulis sejarah merupakan kegiatan intelektual.
(Veyne, 1971:71; Tosh, 1985:94, Sjamsuddin, 2012:99). Atas dasar itulah sejarah
ada dalam alam pikiran manusia. Sekalipun sejarah diungkap berdasarkan fakta,
tidak akan ada satu tafsir pun yang dapat membuktikan kembali bahwa kejadian
itu benar-benar seperti apa terjadi. Taufik Abdullah mengatakan, “sejarah yang
benar-benar terjadi adalah sejarah yang tak pernah terungkap”.
Melalui
ketetapan-Nya manusia sebagai makhluk penafsir, diberi ruang untuk memahami
makna-makna yang terkandung dalam setiap kejadian. Penafsiran spiritual telah
mewarnai penulisan sejarah, berangkat dari manusia sebagai makhluk spiritual
ciptaan Tuhan. Bagi Hegel (1770-1831) sejarah adalah ungkapan kesadaran diri
yang merdeka dalam jiwa manusia. Beliau magambil contoh orang-orang Jerman
setelah reformasi, diciptakan Tuhan dengan tugas suci membawakan kemerdekaan
kepada kemanusiaan.
PERMINTAAN MELIHAT TUHAN DI DUNIA ADALAH PERBUATAN DOSA |
Seyogyanya
fenomena gunung meletus bisa dipahami melalui sejarah dengan tafsir spiritual
melalui fakta sejarah yang ada dalam kitab suci. Tujuannya sebagai wahana dalam
memaknai kehadiran Tuhan dalam kehidupan manusia. Siddiqi (1975:4) berpendapat
kitab suci (Al-Qur’an) di dalamnya terdapat kisah-kisah, yang menjelaskan
nilai-nilai hidup untuk umat manusia.
“…berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah
(diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan
berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke
bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu
dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu,
dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah
Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertobat kepada
Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman". (Al Araaf, 7:143)
Dari
kisah Musa as. dalam Al-Qur’an, dikabarkan bagaimana gunung hancur (meletus).
Gunung meletus digambarkan sebagai akibat penampakkan Tuhan terhadap gunung.
Pesannya adalah ketika gunung telah hancur, Musa as. jatuh pingsan, tersadar
kembali dan bertobat.
Mengapa
Nabi Musa bertobat? Jika Musa as. bertobat, maka sebelumnya Musa as. telah
melakukan kesalahan. Tapi, apakah sebenarnya keselahatan Nabi Musa? Dari mana
kita bisa menemukan jawabannya? Dari
pemikiran para ulama, Al-Qur’an saling menjelaskan ayat, dengan ayat, surat
dengan surat, kalimat dengan kalimat. (Aziz, 2012: 107-109). Untuk memahami apa
kesalahan Nabi Musa as, bisa kita lihat keterkaitannya dengan ayat lain yang berbicara
fakta tentang Nabi Musa as.
Dan berkata Fir'aun: "Hai
pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah
hai Haman untukku tanah liat, kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi
supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar
yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta". (Al Qashshas, 28:38).
Berkatalah orang-orang yang tidak
menanti-nanti pertemuan (nya) dengan Kami: "Mengapakah tidak diturunkan
kepada kita malaikat atau (mengapa) kita (tidak) melihat Tuhan kita?"
Sesungguhnya mereka memandang besar tentang diri mereka dan mereka benar-benar
telah melampaui batas (dalam melakukan) kedzaliman. (Al Furqan, 25:21).
Dari
dua ayat di atas, bisa ditemukan bahwa kesalahan Musa as. berkaitan dengan keinginan
untuk melihat Tuhan. Musa as. telah terbawa alam pikiran para penyembah
berhala, yang bisa melihat tuhannya. Orang-orang yang ingin melihat Tuhan,
adalah mereka yang sudah terjebak kehidupan duniawi (material), seperti Fir’aun
dan kaum musyrikin. Mereka sombong karena memandang dirinya penguasa, sehingga menyepelekan
keberadaan Tuhan. Mereka sulit percaya adanya Tuhan jika tidak melihat dengan
mata kepalanya sendiri. Inilah kesesatan, kerendahan, dan kesalahan nyata dari
manusia yang merasa dirinya berkuasa. Maka, setelah sadar atas kekhilafannya
bahwa melihat Tuhan adalah perbuatan Fir’aun dan kaum tersesat, Musa as.
bertobat.
Kejadian
hancurnya gunung pada kisah Nabi Musa, jika dikaitkan dengan peristiwa gunung
meletus saat ini, apakah fenomenanya sama? Manusia memang tidak minta melihat
Tuhan seperti Musa as, dan Fir’aun serta kaum kafir. Tetapi tidak kah kita
berpikir, bahwa dalam kehidupan kita, seolah-olah kita menantang Tuhan untuk
menampakkan diri? Sudah diperintahkan jangan berpecah belah dan saling cemooh,
kita bertengkar dan saling merendahkan. Sudah diperintahkan jauhi zina, kita
ciptakan fasilitas-fasilitas mendekati zina. Suburkanlah sedekah dan jauhi
riba, kita beraktivitas terus dengan riba. Makanlah makanan halal, kita makan
dari hasil kegiatan haram.
Hakikinya,
kejadian gunung meletus adalah tanda kita harus bertobat sepeti Nabi Musa as. karena
Tuhan telah menampakkan diri kepada gunung, dan memberi pesan kepada kita untuk
segera memperbaiki akhlak. Kita sudah tersesat dan melampaui batas, tidak
percaya Tuhan Yang Esa hanya karena Tuhan tidak terlihat. Kita telah kafir
kepada Tuhan, mengabaikan perintah-perintah-Nya.
Begitulah
tafsir sejarah spiritual gunung untuk kehidupan manusia. Betapa indahnya Tuhan
mengemas kejadian-kejadian dengan pesan-pesan agung dibelakangnya. Sungguh kita
termasuk orang-orang yang diberi nikmat jika kita bisa belajar mengenal Tuhan
lebih dekat dari segala kejadian. Wallahu ‘alam
PENULIS MASTER LOGIKA TUHAN