Kesalahan berpikir (berlogika) sering
terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Kesalahan berlogika terjadi karena membaca
akibat kejadian berdasarkan pada apa yang kita lihat. Kesalahan membaca akibat
berdasarkan apa yang dilihat, dicontohkan dalam kisah perjalanan Nabi Muda dan
Nabi Khidhr.
Berikut adalah kisah kesalahan
logika Nabi Musa, karena membaca akibat berdasarkan pengetahuan dari apa yang
dilihat yang dilakukan Nabi Khidhr.
KEJADIAN YANG DILIHAT
|
AKIBAT YANG DIBACA
|
ALQUR’AN
|
Nabi Khidhr Melobangi Perahu
|
Menenggelamkan Penumpangnya
|
AL KAHFI : 71
|
Nabi Khidhr Membunuh Anak kecil
|
Membunuh jiwa bersih, dan melakukan
perbuatan munkar
|
AL KAHFI : 74
|
Nabi Khidhr Menegakkan dinding yang mau
roboh
|
Seharusnya Meminta Upah dari apa yang
dilakukan
|
AL KAHFI : 77
|
Cara berlogika yang dilakukan
Nabi Musa menggambarkan logika berpikir manusia biasa pada umumnya, manusia
yang menggunakan akalnya untuk memahami suatu kejadian berdasarkan dari apa yang
dilihat. Apa yang dikemukakan Nabi Musa, sangat masuk akal. Jika Nabi Khidhr
melobangi perahu maka tindakannya itu dianggap akan membunuh (menenggelamkan)
penumpangnya, dan perbuatan itu termasuk perbuatan yang tidak dapat ditolelir.
Ketika Nabi Khidhr membunuh anak
kecil, siapapun yang melihatnya akan melakukan protes keras. Di zaman sekarang
Nabi Khidhr akan mendapat protes keras dari para aktivis HAM. Nabi Khidhr akan
jadi trendimg topic di twitter sebagai pembunuh berdarah dingin.
Ketika Nabi Khidhr membangunkan
sebuah rumah untuk anak yatim, di tengah masyarakat kikir, kapitalis,
individualis, seharusnya setiap pekerjaan yang kita lakukan dihitung juga
dengan upah yang pantas. Dan hal itu lumrah dilakukan karena Nabi Khidhr telah
mengerjakan sesuatu pekerjaan.
Sekarang kita bandingkan logika berpikir
Nabi Khidhr dalam menjelaskan akibat dibalik kejadian yang dilakukannya
sendiri.
KEJADIAN YANG DILIHAT
|
AKIBAT YANG DIBACA
|
ALQUR’AN
|
Nabi Khidhr Melobangi Perahu
|
Menyelamatkan Pemilik Perahu dari raja
yang akan merampas setiap perahu
|
AL KAHFI : 79
|
Nabi Khidhr Membunuh Anak kecil
|
Menyelamat orang tua anak itu dari
kekafiran dan kesesatan karena anak itu
|
AL KAHFI : 80
|
Nabi Khidhr Menegakkan dinding yang mau
roboh
|
Menyelematkan harta anak yatim, karena
anak yatim itu akan sampai berusia dewasa
|
AL KAHFI : 82
|
Perbedaan antara logika yang
digunakan oleh Nabi Musa dan Nabi Khidhr dalam cerita itu adalah Nabi Musa
menggunakan logika berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya dari sumber
pengetahuan yang dilihatnya. Sedangkan Nabi Khidhr sebagai orang berilmu
pengetahuan melakukan sesuatu dan membaca akibatnya bukan dari apa yang
dilakukannya dan pengetahuan dari apa yang dilihatnya, tapi berdasarkan
pengetahuan dari Tuhannya.
Nabi Khidhr berkata, “...dan bukanlah aku melakukannya itu menurut
kemauanku sendiri”. (Al Kahfi : 82). Maka dari itulah, Nabi Khidhr
adalah termasuk orang yang dianugerahi ilmu pengetahuan oleh Tuhan. Dan inilah cara
berpikir yang membedakan antara orang berilmu dan tidak berilmu.
Jadi orang-orang berilmu adalah
orang-orang yang mampu melihat kebaikan dibalik kejadian-kejadian yang
dilihatnya, dan mereka membaca segala kejadian berdasarkan pengetahuan dari
Tuhannya. Sumber pengetahuan dari Tuhan yang menginformasikan akibat dari
segala kejadian kepada manusia adalah wahyu (kitab suci).
Al-Qur’an adalah kitab suci yang
masih dapat diyakini keasliannya, karena turun pada 15 abad yang lalu, dalam masa
kenabian Muhammad saw yang masih terekam jelas jejak sejarahnya. Kitab-kitab
suci Zabur, Tauret, dan Injil yang sekarang ada, disinyalir sudah banyak
bercampur dengan pemikiran-pemikiran manusia, dan diragukan keotentikannya.
Mengingat jarak turunnya kitab-kitab tersebut dengan manusia sekarang sudah
sangat lama dan jejak rekam sejarah para Nabi yang membawanya sudah tidak utuh
lagi terekam dalam sejarah karena terbatasnya sumber-sumber primer dalam
penulisan sejarah tersebut.
Kesimpulan selanjutnya, orang-orang
berilmu selalu bersabar dalam mengambil kesimpulan. Kesabaran adalah kata kunci
dalam memahami suatu kejadian ke kejadian lainnya. Konsep sabar memiliki arti
kunci bahwa untuk membaca kebenaran di balik kejadian berdasar pada penglihatan
membutuhkan waktu, dan waktu tersebut tidak singkat. Waktu tersebut digunakan
untuk melakukan pengamatan atau penelitian. Dalam proses pengamatan atau
penelitian inilah seorang yang menginginkan ilmu pengetahuan dari Tuhan harus
bersabar.
Sebagaimana kita ketahui,
pengamatan-pengamatan dan penelitian-penelitian yang melahirkan ilmu
pengetahuan yang bermanfaat bagi manusia, selalu memakan waktu lama. Penemuan
tulisan, api, roda, bola lampu, jika kita lihat rentang waktunya dari manusia
terdahulu sampai sekarang, waktunya
sangat lama.
Dari mana kita tahu bahwa untuk
membuktikan akibat dari suatu kejadian berdasarkan penglihatan, harus bersabar
karena membutuhkan waktu lama? Kita perhatikan saja, untuk membuktikan akibat
kebaikan dari kejadian yang dilakukan Nabi Khidhr semuanya membutuhkan kejadian
berikutnya. Jarak antara kejadian yang saat itu dilakukan Nabi Khidhr dengan
kejadian berikutnya ternyata membutuhkan waktu lama.
Berapa rentang waktu yang
dibutuhkan untuk membuktikan kebenaran dibalik kejadian? Hal ini terekam jelas
dalam kejadian “menegakkan dinding yang mau roboh”, yang dilakukan karena anak
yatim dalam rumah itu kelak akan hidup sampai dewasa. Jika usia anak belum
dewasa sekitar 5 tahun, maka untuk menjadi dewasa sampai usia 18 tahun, ada
rentang waktu 13 tahun.
Jadi inilah salah satu, ukuran rentang
waktu 13 tahun yang dibutuhkan Nabi Musa saat itu untuk membuktikan sebuah
kebenaran dibalik suatu kejadian. Selama rentang 13 tahun pula Nabi Muhammad
saw membuktikan kebenaran dari Tuhannya, bahwa ajaran agama yang dibawanya
menjadi agama yang berpengaruh di dunia.
Orang-orang berilmu seperti Nabi
Khidhr demikian juga Nabi Muhammad saw tidak memerlukan waktu lama untuk
mengetahui akibat dari suatu kejadian, karena Nabi Khidhr dan Nabi Muhammad saw
mendapatkan pengetahuan langsung (wahyu) dari Tuhan.
Bagi kita, yang ingin mendapat
pengetahuan langsung dari Tuhan, bisa membaca kitab suci Al-Qur’an yang masih
diyakini keotentikannya yang di turunkan kepada Nabi Muhammad saw. Dengan
membaca kitab suci Al-Qur’an kita akan dibimbing langsung untuk mengetahui
segala kebaikan dibalik segala kejadian. Dan itulah ciri dari ilmuwan yang
dilimpahi ilmu pengetahuan dari Tuhan. Wallahu ‘alam.
(Muhammad Plato, Penulis Buku Hidup
Sukses Dengan Logika Tuhan. Follow @logika_Tuhan).