Wednesday, August 25, 2021

SURAT AL JIN

OLEH: MUHAMMAD PLATO

Surat Al Jin berisi tentang kisah ajaran ketauhidan yang di bawa Nabi Muhammad SAW. Jin adalah makhluk ghaib yang bisa membelok keimanan seseorang. Jin bisa membisikkan hati dan pikiran sehingga pandangan manusia berdasarkan pandangannya seperti melihat kebaikan. Jin bersama dengan orang yang mendua dan mentigakan Tuhan, padahal Allah telah menetapkan dirinya Tunggal.

“dan bahwasanya Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami, Dia tidak beristri dan tidak (pula) beranak.” (Al Jin, 72:3).

Dijelaskan dalam surat Al Jin, orang-orang kurang akal bersekutu dengan Jin untuk menentang keesaan Allah. Mereka menghina Allah dengan melampaui batas. Mereka yang menghina Allah telah bersekutu dengan jin.

“Dan bahwasanya: orang yang kurang akal daripada kami dahulu selalu mengatakan (perkataan) yang melampaui batas terhadap Allah, (Al Jin, 72:4).


Allah sudah menetapkan ada dua jalan yang akan ditempuh manusia yaitu jalan kiri dan kanan. Jalan kanan adalah jalan mendaki yang ditempuh orang-orang shaleh. Orang-orang yang shaleh adalah mereka yang taat kepada Allah dan Rasulnya. Sebagaimana di dalam surat Al Jin dijelaskan:

Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang shaleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda. (Al Jin, 72:11)

Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang taat dan ada (pula) orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Barang siapa yang taat, maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus. (Al Jin, 72:14).

Sesungguhnya tempat-tempat ibadah adalah tempat menyembah Allah, tidak ada yang disembah selain Allah. Tidak ada orang-orang yang wajib di sembah di tempat-tempat ibadah kecuali Allah. Orang-orang yang membuat tempat ibadah sebagai tempat menyembah manusia dan selain Allah, maka sesungguhnya mereka telah bersekutu dengan Jin.

Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah. Dan bahwasanya tatkala hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembah-Nya (mengerjakan ibadah), hampir saja jin-jin itu desak mendesak mengerumuninya. Katakanlah: "Sesungguhnya aku hanya menyembah Tuhanku dan aku tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan-Nya". (Al Jin, 72:18-20).

Di dalam surat Al Jin, Nabi Muhammad sudah menetapkan bahwa masjid atau tempat ibadah adalah tempat menyembah Allah Yang Esa. Jin-jin memengaruhi untuk membelokkan hati, pikiran, pandangan, pendengaran, untuk menyembah orang atau selain Allah. Namun Nabi Muhammad SAW sebagaimana di wahyukan Allah tetap mengatakan, aku hanya menyembah Allah dan tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah.

Jadi berdasarkan keterangan surat Al Jin, hidup manusia ada dua jalan. Mereka ada yang mengabil jalan lurus ada yang mengabil jalan sesat. Orang-orang yang mengambil jalan sesat adalah mereka yang menyekutukan Allah. Mereka menjadikan manusia sebagai sesembahannya dengan menyebut tuhan anak, tuhan ibu, dan tuhan bapak. Di dalam tempat-tempat ibadah orang sesat, mereka menjadikan patung-patung manusia sebagai sesembahannya.

Jadi mereka yang bersekutu dengan Jin adalah mereka yang menyembah kepada selain Allah dan mereka menjadikan manusia sebagai sesembahannya. Jadi sebenarnya, bagi orang-orang yang berakal sehat, surat Al Jin ini menjelaskan orang-orang yang sesat karena bersekutu dengan Jin. Jadi dalam surat Al Jin, dikabarkan Nabi Muhammad SAW mendapat godaan dari jin-jin, namun Nabi Muhammad tetap bersikukuh berpegang pada wahyu Allah, bahwa “aku hanya menyembah Allah Tuhanku dan aku tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan Nya.”  

Inti dari surat Al Jin adalah menegakan ajaran ketauhidan, dan manusia harus berhati-hati pada Jin karena jin bisa menyesatkan ketauhidan manusia. Selain itu, ajaran agama yang benar adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan. Jika ada manusia-manusia menjadikan masjid, tempat-tempat ibadah sebagai tempat menyembah selain Allah, maka orang-orang itu tidak sedang berada dijalan lurus, mereka tersesat bersama jin-jin yang menyesatkannya. Jadi siapa yang bersekutu dengan jin? Jawab dengan akal sehat. Wallahu’alam.

Monday, August 23, 2021

SAKSI MUHAMMAD UTUSAN ALLAH

OLEH: MUHAMMAD PLATO

Sudah 30 tahun lamanya tidak jumpa kawan semasa SMA, ketika bertemu diskusi tak terasa sampai menjelang pagi. Diskusi-diskusi menarik sekitar masalah kehidupan pribadi, keluarga, dan bangsa. Namun diskusi lebih banyak tentang masalah pribadi yang berkaitan dengan pengetahuan-pengetahuan yang sebelumnya jarang didiskusikan karena tabu. Saya mengingatkan kawan-kawan bahwa usia kita sudah kepala empat hampir masuk umur 50. Sudah saatnya kita bertanya mencari pengetahuan tentang hakikat kehidupan.

Diskusi pun berlangsung hangat ditemani kopi dan mie baso buatan istri.  Pertanyaan-pertanyaan nyeleneh pun bermunculan. Apakah benar Nabi Muhammad itu ada, dan apakah Nabi Muhammad itu utusan? Pertanyaan itu pernah ditanyakan pada ustad, lalu dijawab oleh ustad dengan jawaban yang tidak memuaskan dengan menyuruhnya kembali bersyahadat.

Baiklah saya akan membantu saudara kita yang memiliki pertanyaana seperti ini. Saya tidak marah dengan pertanyaan-pertanyaan seperti ini, karena saya merasa bahwa mereka butuh jawaban dan yang ditanya harus memberi jawaban untuk menolong mereka yang punya pertanyaan.

Saksi Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah adalah Allah. Ketika Nabi Muhammad bertemu dengan malaikat Jibril di Gua Hira tidak ada saksi manusia. Kejadian bertemunya Nabi Muhammad dengan Malaikat Jibril, saksinya adalah Allah swt. Maka dari itu Allah sebagai saksi kerasulan Nabi Muhammad SAW memiliki kekuatan yang tak terbantahkan.

Berbeda jika saksi kerasulan seorang nabi saksinya manusia. Derajat kerasulan seorang nabi dengan kesaksian manusia kebenarannya tidak 100 persen, karena ada faktor yang membuat kesaksian manusia tidak dapat dikatakan 100 persen benar, yaitu posisi manusia yang punya potensi salah dan benar. Jadi kesaksian manusia tentang kerasulan sebagai syarat kerasulan tidak memiliki derajat kesaksian yang kuat, artinya masih bisa terbantahkan karena kesaksian manusia bisa kemungkinan salah.

Lalu apa buktinya bahwa kerasulan Nabi Muhammad saksinya Allah swt. Allah kan tidak terlihat, tidak bicara langsung seperti manusia, tidak menulis kitab sejarah seperti manusia? Bagaimana membuktikannya bahwa Allah telah menjadi saksi kerasulan Nabi Muhammad? Untuk membuktikan bahwa Nabi Muhammad sebagai rasul saksinya Allah, kita dapat mengecek kebenaran kitab suci A-Qur’an yang dibawa Nabi Muhammad sebagai utusan.

Di dalam Al-Qur’an dikatan bahwa orang-orang menganggap Nabi Muhammad saw tidak sehat akal, karena mengatakan sesuatu kebenaran tetapi tidak memiliki saksi manusia seorang pun. Kejadian ini terekam di dalam ayat Al-Qur’an.

“sesungguhnya Al Qur'an itu benar-benar firman utusan yang mulia”. (At takwir, 81:19). Melalui ayat ini Allah menegaskan Allah menjadi saksi bahwa Al-Qur’an adalah benar-benar firman yang disampaikan oleh Jibril kepada Nabi Muhammad saw.

Selanjutnya Allah menjelaskan lagi, “Dan temanmu (Muhammad) itu bukanlah sekali-kali orang yang gila”. (A takwir, 81:22). Ayat ini menegakan Allah menjadi saksi bahwa apa yang disampaikan Nabi Muhammad saw adalah kebenaran dari Allah.

“Dan sesungguhnya Muhammad itu melihat Jibril di ufuk yang terang”. (At Takwir, 81:23). Ayat ini menegaskan lagi bahwa Allah menjadi saksi pertemuan antara Nabi Muhammad SAW dengan Malaikat Jibril.

Sekanjutnya kesaksian Allah dipertgas lagi, “Dan Dia (Muhammad) bukanlah seorang yang bakhil untuk menerangkan yang gaib. Dan apa yang dikatakan Muhammad (Al Qur'an) itu bukanlah perkataan syaitan yang terkutuk,” (At takwir, 81:24:25).

Jadi kenabian nabi Muhammad SAW sebagai Rasul saksinya bukan manusia tapi langsung Allah swt, dan kesaksian itu tertulis dalam kitab suci Al-Qur’an, kemudian Allah juga menegaskan bahwa wahyu yang dibawa oleh Nabi Muhammad bukan perkataan setan. Artinya Allah ingin menegaskan bahwa wahyu Al-Qur’an yang dibawa Nabi Muhammad adalah juga kebenaran dari Allah.

Lalu untuk menujukkan eksistensi-Nya, Allah menantang atau mengingatkan manusia dengan bersumpah, “Sungguh, Aku bersumpah dengan bintang-bintang, yang beredar dan terbenam, demi malam apabila telah hampir meninggalkan gelapnya, dan demi subuh apabila fajarnya mulai menyingsing,” (At takwir, 81:15-18). Sumpah Allah ini ditujukan untuk orang-orang yang ingin membuktikan eksitensi Allah, mereka diminta untuk memperhatikan bagaimana pergerakan bintang-bintang dengan keteraturan dan fenomena-fenomenanya.

sesungguhnya perkataan Muhammad (Al Qur'an) benar-benar firman Allah dari utusan yang mulia (Jibril), (At Takwir, 81:19). Jadi berdasarkan ayat ini, Allah menegaskan bahwa Al-Qur’an yang dibawa Nabi Muhammad adalah firman Allah. Untuk itu jika ingin membuktikan kebenaran bahwa Allah yang menjadi saksi kenabian Nabi Muhammad, maka Allah mempersilahkan kepada seluruh manusia untuk menguji dan membuktikan kebenaran-kebenaran ayat-ayat Al-Qur’an dengan memperhatikan alam semesta ciptaan-Nya.

Saya berpikir, sejak saya dilahirkan matahari, bulan, gunung, laut, udara, air, api, sudah ada. Fasilitas hidup ini saya gunakan setiap hari, tanpa tahu asal-usulnya dari mana. Teralu berat dan rumit untuk otak saya harus mencari tahu sendiri siapa yang menyediakan fasilitas ini semua. Beruntung ada firman Allah berisi informasi, pengetahuan, yang dibawa Nabi Muhammad, SAW sehingga saya bisa mengungkap dan menemukan jawaban-jawaban untuk membuktikan kebenaran. Wallahu’alam.  

Sunday, August 22, 2021

DUA JALAN MENUJU ALLAH

OLEH: MUHMMAD PLATO

Berjumpa dengan kawan-kawan lama di sekolah, menjadi ruang diskusi yang bukan lagi untuk mengenang masa-masa lalu di sekolah. Bertemu dengan kawan lama di sekolah untuk saling bertukar pikiran setelah sekian lama hidup umur bertambah dan jatah berkurang. Diksusi yang harus dibuka setiap bertemu kawan lama adalah menyangkut realitas hidup yang harus terkendali untuk selamat sampai tujuan.

Lain jalan hidup lain cerita, beruntunglah bagi orang-orang yang punya kebiasaan berpikir, membaca kenyataan-kenyataan hidup dan selalu mengajak berdialog dengan sesama. Tidak ada jalan baik dan buruk, karena semua orang ditempa dengan jalannya masing-masing untuk menemukan Tuhannya. Hidup ini dua jalan bukan jalan baik dan buruk menurut persepsi kita, tapi jalan pendek dan jalan panjang.

Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. Maka tidakkah sebaiknya  ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar?. (Al Balad, 80:10-11)

Jalan pendek adalah jalan-jalan sempit ke sebelah kanan yang terjal namun cepat sampai tujuan. Jalan panjang adalah jalan-jalan lebar tapi penuh dengan hambatan hingga lama untuk sampai tujuan. Tujuan semua manusia adalah kembali kepada Tuhan Yang Esa.

“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (Al Insyiqaaq, 84:6).

Jadi tidak ada satupun manusia yang tidak akan kembali kepada Tuhannya. Apa pun yang dilakukan manusia, semuanya sedang bekerja keras berjalan menuju Tuhannya. Perbedaannya adalah ada yang bekerja keras menempuh jalan pendek menuju Tuhannya, ada yang bekerja keras menempuh jalan pajang menuju Tuhannya.

Orang-orang yang menempuh jalan pendek adalah mereka yang mengikuti segala bimbingan Tuhan melalui para Rasul dan kitab yang ditinggalkannya. Orang-orang yang menempuh jalan panjang adalah mereka yang membuat jalan sendiri, mereka memikirkannya, memetakannya, dan mereka merasa mampu menemukannya dengan kemampuan akal yang dimilikinya tanpa bantuan Tuhan.

Orang-orang yang menempuh jalan pendek dan terjal, mereka mampu merasakan kesenangan jiwa dalam kesempitan dan terbatas, setelah itu mereka akan sampai pada suatu tempat yang penuh kesenangan dan keleluasaan tanpa batas hingga akhirnya bertemu Tuhan. Bagi orang-orang yang menempuh jalan panjang mereka merasakan kesenangan dalam keleluasaan, setelah itu mereka akan menempuh jalan sukar yang penuh semak belukar yaitu suatu proses penyucian jiwa yang panjang, sebelum kembali kepada Tuhannya. Sementara itu, orang-orang yang mengambil jalan pendek sudah sampai pada suatu tempat menyenangkan dan penuh kenikmatan sambil menunggu kembali kepada Tuhannya.

Semua manusia diciptakan dari ruh Tuhan dan ruh itu akan kembali kepada Tuhan. Mereka yang melalui jalan pendek terjal dan mendaki akan cepat bertemu dengan Tuhannya, dan mereka yang menempuh jalan panjang akan lama bertemu dengan Tuhannya. Mereka yang memilih jalan panjang, setelah menikmati kesenangan mereka akan bertemu dengan kesulitan sebelum bertemu Tuhannya, dan mereka yang memilih jalan pendek setelah mendaki jalan yang terjal penuh kesulitan, akan bertemu kesenangan hinnga kembali kepada Tuhannya.

Kitab suci (Al-Qur’an) yang diturunkan pada Para Nabi isinya adalah kabar berita, yang menjelaskan bagaimana manusia-manusia berjalan pada kedua jalan yang disediakan Allah. Maka manusia diberi ruh atau kemampuan kreatif oleh Allah untuk memilih jalan mana yang hendak ditempuh, apakah jalan pendek atau jalan pandang. Dan orang-orang yang berakal sehat akan memilih jalan-jalan pendek yang mendaki dan terjal agar cepat sampai tujuan.

Lalu apakah jalan mendaki dan terjal itu? “melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan, anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir. Mereka adalah golongan kanan”. (Al Balad, 90: 13-18). Inilah jalan-jalan yang ditempuh oleh orang-orang berakal sehat. Wallahu’alam.

Sunday, August 8, 2021

ALLAH ADA DALAM KESADARAN

OLEH: MUHAMMAD PLATO

Kawan-kawan ada cerita menarik untuk disimak bagi siapa saya yang ingin dekat dengan Tuhan. Di media sosial banyak orang-orang baik saling membantu antar sesama. Saya suka sekali melihat mereka saling tolong menolong, dan hati ini terasa mengembang menyaksikannya. Saya melihat mereka yang berbuat baik, tidak melihat latar belakang agamanya, karena pakaiannya biasa-biasa saja tidak mencirikan seorang penganut agama tertentu. Dan saya juga tidak tahu apakah mereka membantu sesama manusia atas nama Tuhan, atau karena empati saja pada penderitaan orang lain atas dasar kemanusiaan.

Mungkin kawan-kawan berpikir, untuk berbuat baik, tidak perlu bawa-bawa Tuhan. Tapi Tuhan itu ada dan menciptakan kita, mengapa kita tidak boleh bawa-bawa Tuhan dalam kehidupan kita? Masalah ini dari masa ke masa, dari generasi ke generasi terus jadi perbincangan tidak ada ujungnya. Sampai akhir nanti hal ini jadi perbincangan antar sesama manusia.

Di media sosial saya tonton ada orang mati suri, menceritakan pengalamannya ditayangkan di stasiun televisi nasional. Bagi saya, orang yang punya pengetahuan dari kitab suci, cerita pengalaman orang mati suri itu sama dengan cerita isi kitab suci. Semua ceritanya seperti apa yang diceritakan dalam kitab suci, bahwa setiap orang akan diadili sesuai dengan perbuatannya di dunia. Teman setianya seseorang kelak adalah perbuatan-perbuatan baik yang pernah dilakukannya di dunia.

Pengetahuan ini membuat rasa takut di hati, apakah kelak amal-amal baik saya bisa menemani hidup saya di alam akhirat, atau amal baik saya kalah sama amal buruk yang pernah saya lakukan? Pengetahuan ini membuat saya sadar diri untuk mengimbangi setiap perbuatan buruk dengan perbuatan baik. Tindakan yang saya lakukan berdasar pada kesadaran bahwa setelah kematian akan ada kehidupan dan pengadilan berdasar pengetahuan awal yang saya miliki dari kitab suci. Tanggapan tentang pengalaman mati suri akan berbeda jika pengetahuan awal yang dimiliki bukan dari kitab suci seperti mitos, tradisi, atau sains.

Pengetahuan awal yang kita miliki menentukan Tuhan itu ada atau tidak ada. Anak-anak yang dikeluarganya tidak diajarkan tentang keberadaan Tuhan, dia tidak akan mengenal Tuhan. Jadi, pada dasarnya Tuhan itu ada dalam pengetahuan, kemudian kesadaran dan menjadi tindakan. Untuk membangun kesadaran perlu kegiatan berulang-ulang. Maka dari itu tindakan ibadah ritual rutin setiap hari salah satu dampakanya adalah menghadirkan kesadaran adanya Tuhan setiap hari. Dalam agama Islam untuk membangun kesadaran dilakukan ritual shalat lima waktu dan dhuha 12 rakaat. Kegiatan ini bisa jadi program pendidikan bagi anak-anak yang muslim.

Fenomena kehidupan dunia yang material memang terus menggiring kita jadi makhluk material murni. Di Amerika sebagai contoh negara maju, sejak tahun 1960an nilai agama mulai memudar. Tahun 1986, seorang Provesor di New York University, Paul Vitz, meluncurkan buku mengungkap bahwa potret agama secara perlahan hilang dari konteks sekolah. Dalam buku teks sekolah kata kata Tuhan diedit dan hilang. Kata-kata syukur dengan ungkapan “thank God” diubah dengan “thank Goodnes”. (Lickona, 2019, hlm. 66). Survey anak-anak di Amerika dengan latar belakang agama berbeda mengatakan bahwa sesuatu yang buruk sudah jelas tidak boleh dilakukan karena itu merugikan orang lain. Kesadaran tidak melakukan hal buruk tidak mereka hubungkan dengan ajaran agama yang mereka anut, tetapi lebih kepada alasan rasional kemanusiaan.

Selanjutnya, di Amerika ada upaya memasukkan kembali agama pada pelajaran budaya Amerika dan Sejarah. Hukum-hukum dasar moral yang universal dapat diajarkan di sekolah seperti berlaku adil dan peduli sama sesama, dapat diajarkan secara religius kepada masyarakat beragama. (Lickona, 2019, hlm. 69). Kita tidak mengikuti Amerika, tetapi kesadaran tentang keberadaan Tuhan sudah kembali digalakan dan dirasakan kebutuhannya oleh masyarakat di dunia.

Allah berwujud tapi tidak dapat dilihat, Dia berbicara tetapi kita tidak mendengarnya. Tuhan ada dalam kesadaran manusia. Jika kita berdo’a kepada Tuhan, maka hanya dengan kesadaran bahwa Tuhan mengabulkan doa kita. Untuk membangun kesadaran adanya Tuhan dibutuhkan pengetahuan (knowing), pembuktian (feeling), dan tindakan (action). Setelah mengetahui tidak mungkin memiliki perasaan jika tidak pernah membuktikan.

Tuhan ada dan menetapkan hukumnya bahwa setiap kebaikan akan berbalas kebaikan dan setiap perbuatan buruk akan berbalas keburukan. “Jika kamu berbuat baik  kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri,” (Al Israa, 17:7).

Jika kita mengetahui ketentuan ini dari Tuhan, maka manusia harus membuktikan, bagaimana kebaikan-kebaikan yang kita lakukan berbalas dengan kebaikan. Untuk membuktikannya dibutuhkan upaya pembuktian dengan melakukannya. Saya menyarankan untuk proses pembuktian melakukan eksperimen kebaikan. Dilakukan secara berjangka tiga bulan atau enam bulan. Setiap kebaikan dicatat dan dirasasakan dampaknya, kemudian dicatat dengan mencantumkan jam, hari, dan tanggal. Pengalaman-pengalaman dari hasil pembuktian akan membangun kesadaran kita bahwa Tuhan itu ada. Metode ini bisa diajarkan pada anak-anak sebagai pendidikan karakter dan penerapan nilai-nilai agama di rumah atau di keluaga. Allah ada dalam kesadaran. Selamat mencoba. Wallahu’alam.