Friday, June 21, 2024

ISLAM, IMAN, PENDIDIKAN

Oleh: Muhammad Plato

Orang-orang beriman punya kualitas lebih tinggi dari orang-orang Islam. Perbedaan ini dijelaskan di dalam Al Quran. Mari kita lihat, apa perbedaannya?

Orang-orang Islam belum tentu berkualitas, karena kualitas orang Islam diukur dari keimanannya. Pantas jika kita saksikan, prilaku-prilaku paradok terjadi di negara dengan penduduk beragama Islam. Sebuah bangsa belum tentu berkualitas jika hanya sekedar tercatat dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) beragama Islam.

Jepang bukan negara dengan penduduk beragama Islam, tapi masalah prilaku tertib, disiplin, sehat, bersih, dan hemat, mereka jagonya. Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam, tapi masalah ketertiban, sopan-santun, prilaku sehat, mereka nomor satu dari belakang.

Masalah di Indonesia bukan karena agama Islamnya, tetapi karena kualitas keimanannya. Status beragama Islam tidak serta merta kualitas hidup seseorang menjadi baik, karena kualitas keberagamaan seseorang tergantung pada keimannya pada Tuhan. 

Lalu apa bedanya orang Islam dan orang beriman? Kita coba buka penjelasannya dari Al Quran. Sumber ajaran agama Islam otentik dan primer adalah Al Quran. 

"Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah (kepada mereka): "Kamu belum beriman, tetapi katakanlah: "Kami telah Islam", karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi sedikit pun (pahala) amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (Al Hujurat, 49:14)". 

Tingkatan orang Islam terbagi dua. Pertama beragama Islam. Ketika orang menyatakan diri memeluk Islam, status mereka tercatat sebagai pemeluk Islam. Selama orang tersebut mengakui dirinya beragama Islam, tercatat di KTP, dia akan diperlakukan sebagai orang Islam. Menyatakan diri memeluk Islam baru sebatas status keberagamaan. 

Kedua, masalah keimanan tidak bisa melekat menjadi status seseorang. Keimanan sesuatu yang sifatnya dinamis, tidak seperti status agama Islam di KTP. Keimanan seseorang selama hidup akan terus mengalami ujian. Ketika menghadapi ujian, keimanan akan mengalami masa naik dan turun. Untuk itulah Allah menegur orang yang mengatakan dirinya telah beriman. 

Kualitas orang-orang Islam dilihat dari keimanan. Konteks keimanan seseorang bisa naik atau turun berkaitan dengan pendidikan. Untuk itu, fungsi pendidikan bagi orang Islam adalah meningkatkan tingkat keimanan kepada Tuhan, dengan membaca (iqra)untuk menguak berbagai rahasia langit dan bumi.

Memeluk agama Islam, seperti memasuki sebuah lembaga pendidikan. Sebagaimana di lembaga pendidikan, orang beragama Islam harus meningkatkan keimanannya tahun demi tahun. Upaya untuk meningkatkan keimanan adalah membaca berbagai riset, survey, fenomena, dan refleksi diri.

Pada akhirnya kualitas keimanan orang Islam dilihat dari perbuatannya. Orang-orang Islam berkualitas tinggi tidak dilihat dari panjang jenggot, pakaian gamis, dan besar gulungan sorban, tapi dilihat dari prilaku-prilaku baik sehari-hari sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Jika diantara orang Islam terjadi perdebatan tentang pengertian islam dan iman, maka segera akhiri dengan memperlihatkan perbuatan-perbuatan baik yang telah dan akan terus dilakukan sebagai wujud ketaatan kepada Allah.***





Saturday, June 15, 2024

MEMBACA PSIKOLOGI ORANG ISRAEL

Oleh: Muhammad Plato

Orang Israel selalu menarasikan dirinya sebagai umat pilihan Tuhan. Pengakuan ini sebenarnya telah menimbulkan ego kelompok, suku, atau bangsa bagi orang-orang Israel. Pemahaman sepihak ini dinarasikan oleh orang Israel melalui berbagai cara diantaranya media informasi, sains dan teknologi.

Setiap manusia diberi kelebihan dan kekurangan orang Tuhan. Terlepas dari orang Israel semua keturunan dan bangsa memilikinya. Secara spesifik, Bani Israel di dalam Al Quran dijelaskan memiliki kelebihan dari umat lain. 

"Hai Bani Israel, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu dan (ingatlah pula) bahwasanya Aku telah melebihkan kamu atas segala umat". (Al Baqarah, 2:47).

Secara fakta, orang-orang Israel memiliki kelebihan dalam hal intelektual. Budaya di keluarga orang Israel mereka sangat menhargai kecerdasan intelektual. Mereka bisa mengembangkan sains dan teknologi. Mereka bermanfaat bagi kehidupan manusia. 

Tradisi menjaga generasi cerdas intelektual terpelihara dalam tradisi keluarga orang Israel. Bayi-bayi sejak dalam kandungan, mulai dari makanan, minuman, kebiasaan, sudah disiapkan sebagai generasi cerdas secara intelektual. Fakta ini menunjukkan secara empiris bahwa Allah menyimpan kecerdasan intelektual pada orang Israel.

Namun di sisi lain, tentang prilaku orang Israel diceritakan di dalam Al Quran, mereka memiliki kelemahan di karakter. Gambaran secara psikologi orang Israel dijelaskan pula di dalam Al Quran.

Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israel (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling. (Al Baqarah, 2:83).

Secara psikologis, kecerdasan intelektual mendorong sifat-sifat manusia ke arah destruktif. Kemampuan intelektual yang dimiliki manusia dapat menjadi pemicu sifat-sifat buruk. Pemisahan sains dan teknologi dengan etika, moral agama, menimbulkan sikap ego tinggi. 

Sesungguhnya Kami telah mengambil perjanjian dari Bani Israel, dan telah Kami utus kepada mereka rasul-rasul. Tetapi setiap datang seorang rasul kepada mereka dengan membawa apa yang tidak diingini oleh hawa nafsu mereka, (maka) sebagian dari rasul-rasul itu mereka dustakan dan sebagian yang lain mereka bunuh. (Al Maa'idah, 5:70).

Karakter buruk dilekatkan pada golongan Israel. Hanya sebagian kecil dari orang-orang Israel yang tetap menepati janjinya. Sunatullah manusia, di sisi lain ditinggikan dan di lain hal memiliki kekurangan. Kisah Bani Israel diberitakan dalam Al Quran sebagai pelajaran bagi manusia yang mau berpikir.

Kisah hidup orang Israel merupakan sepenggal kisah yang dapat ditiru seluruh umat manusia dalam meningkatkan kecerdasan intelektual. Namun perlu diingat, kepemilikan kecerdasan intelektual harus dibarengi dengan kepemilikan kecerdasan emosi dan spiritual.

Rasa kemanusiaan, sikap adil, saling menghargai dan menghormati antar manusia, cinta lingkungan, menjadi kecerdasan wajib dimiliki manusia. Allah menciptakan manusia setara, sama-sama punya hak-hak asasi yang melekat pada setiap diri manusia.***




PALESTINA PEMENANG PERANG

Oleh: Muhammad Plato

Perang terbuka antara Palestina dan Israel terjadi sejak tanggal Oktober 2023. Sekarang kurang lebih sudah berlangsung 9 bulan. Pasukan jihad Palestina dengan persejataan rakitan ternyata mampu bertahan melawan  persenjataan canggih pasukan Israel. 

Jatuh korban perang banyak dari pihak Palestina. Korban perang dari Palestina bukan tentara tapi warga sipil terdiri dari bayi, anak-anak, orang tua, ibu-ibu, dan ibu hamil. Setiap hari korban-korban warga sipil dari Palestina berjatuhan. 

Dukungan masyarakat internasional mengalir untuk Palestina. Mayoritas negara-negara di dunia melalui PBB mengakui kemerdekaan Palestina, kecuali Amerika Serikat. Kemenangan ada di pihak Palestina. Amerika Serikat dan Israel mulai terdesak dan enggal mengakui kekalahan.

Secara fisik Palestina telah kehilangan harta dan nyawa akibat perang, namun secara moral rakyat Palestina telah menjadi tanda bahwa kebenaran tidak akan kalah oleh kebatilan. Rakyat dunia telah disadarkan oleh rakyat Palestina.

Rakyat Palestina telah membantu dunia menemukan kebenaran dari Allah siapa manusia-manusia terkutuk di muka bumi ini. Rakyat Palestina telah membuktikan sebuah kebenaran Al Quran, orang-orang tidak beriman kepada Allah jika berperang tidak akan meraih kemenangan. Sunatullah, keburukan tidak akan mengalahkan kebenaran.

"Dan sekiranya orang-orang kafir itu memerangi kamu pastilah mereka berbalik melarikan diri ke belakang (kalah) kemudian mereka tiada memperoleh pelindung dan tidak (pula) penolong. Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunatullah itu." (Al Fath, 48:22-23).

Ketetapan yang tidak berubah dari dulu hingga sekarang adalah keburukan tidak akan pernah menang melawan kebaikan. Bagi orang-orang beriman kepada Allah tidak ada kekalahan di dunia. Mati di medan perang dengan keimanan kepada Allah adalah kemenangan. 

Bagi orang beriman kekalahan dan kemenangan bukan perkara mati atau hidup. Kemenangan perang bagi orang beriman di medan perang adalah mati syahid atau hidup. Orang-orang beriman selama hidup tidak akan berhenti berperang membela kebenaran.

Secara psikologis, orang-orang beriman kepada Allah yang esa, semakin sulit hidup mereka hadapi, semangat berperang mereka tidak akan pernah berhenti. Semakin sulit situasi mereka hadapi, keimanan semakin tinggi. Cara pandang masyarakat beriman pada kehidupan, ketika menghadapi kesulitan ekstrim cara pandang mereka berubah menjadi dominan kepada kehidupan sejahtera di akhirat. 

Faktor psikologi di atas telah menjadi sebab rakyat Palestina tumbuh menjadi manusia-manusia kuat dan takkan terkalahkan. Seiring dengan waktu, simpati masyarakat dunia mulai mengalir untuk rakyat Palestina. Lambat tapi pasti, pergeseran penguasa dunia akan terjadi. 

Raja-raja durhaka akan digantikan dengan raja-raja bijaksana. Ketika raja-raja bijaksana menjadi penguasa dunia, kedamaian dunia akan benar-benar tercipta. Damai adalah anugerah terbesar dari Allah. Raja-raja bijaksana tidak membalas keburukan dengan keburukan. Raja-raja bijaksana menjadi hari kememangan sebagai hari pengampunan. Itulah contoh teladandari Rasulullah SAW. ketika membebaskan Mekah.

Sunday, June 9, 2024

TUHANNYA ORANG ATHEIS

Oleh: Muhammad Plato

Ciri orang beriman adalah percaya pada kehidupan akhirat. Bagi orang atheis yang sudah sangat tergantung pada kebenaran empiris dan perasaan, mereka menganggap akhirat sebagai dongeng nenek moyang. 

Mengapa orang atheis tidak percaya akhirat, jawabannya sederhana karena orang atheis Tuhannya adalah dirinya sendiri. Orang atheis bukan tidak mengetahui adanya Tuhan, tapi dia mengingkari adanya Tuhan. 

Ada beberapa sebab mengapa orang menjadi atheis. Faktor pertama yang membuat orang atheis adalah lingkungan keluarga. Orang Islam di Indonesia kebanyakan memeluk agama Islam karena lingkungan keluarganya sudah beragama Islam.

Lingkungan keluarga yang taat beragama kecenderungan membentuk keyakinan seseorang pada Tuhan kuat. Sebaliknya lingkungan keluarga yang kurang taat pada Tuhan, cenderung keyakinan orang lemah.

 

Faktor kedua penyebab orang atheis adalah lingkungan pendidikan. Lingkungan pendidikan sekuler cenderung membahas masalah-masalah ilmu sosial dan alam tanpa ada kaitan dengan ketuhanan. 

Pendidikan sekuler membangun pola pikir material karena sumber pengetahuan yang dibangun dari kebenaran-kebenaran berdasar pengamatan. Pola pikir sekuler membangun mindset seseorang menjadi material. Kebenaran-kebenaran yang dibangun harus selalu bisa dibuktikan secara materi.

Pengertian rasional menurut pola pikir sekuler adalah dapat dibuktikan secara materi. Pola pikir ini mengikis kepercayaan seseorang kepada Tuhan. Hal inilah yang menyebabkan lahirnya tuhan-tuhan secara material.

Faktor ketiga penyebab orang atheis adalah budaya. Manusia adalah makhluk sosial. Kebanyakan orang mengikuti pola pikir berdasarkan tren di masyarakat. Perkembangan sains, teknologi, yang dilembagakan melalui pendidikan berperan membangun pola pikir material.

Faktor keempat, penngajaran agama cenderung mengajarkan hal-hal ritual, ghaib, tanpa korelasi dengan kehidupan dunia. Pandangan keagamaan cenderung mengasingkan diri dari kehidupan dunia. Narasi beragama kurang mengomunikasikan hubungan kausalitas berkelanjutan, antara kehidupan dunia dan akhirat. 

Keempat faktor di atas sedikitnya telah membangun pola pikir seseorang menjadi skeptis dan pesimis terhadap kehidupan akhirat. Keyakinan pada kehidupan akhirat sebenarnya membawa dampak positif pada kehidupan manusia.

Keyakinan pada kehidupan akhirat sebenarnya membangun etika dan moral masyarakat ketika hidup di dunia. Keyakinan pada akhirat dapat mengendalikan prilaku seseorang menjadi orang baik, karena prilaku di dunia menjadi sebab kehidupan baik di akhirat.

Keyakinan pada kehidupan akhirat dapat membangun harapan seseorang tetap ada. Ketika seseorang merasa putus asa karena gagal di dunia material, keberhasilan bisa tetap di raih di akhirat karena akhirat tidak membutuhkan materi. 

Keyakinan pada akhirat bisa memberi kekuatan kepada seseorang untuk bertahan hidup dalam kondisi sulit. Ujung dari hidup bukan kematian di dunia material, tetapi kehidupan di akhirat yang non material. 

Tidak semua orang bisa sukses di dunia karena pandangan sukses di dunia lebih pada material. Semua orang bisa sukses di akhirat karena sukses di akhirat hanya butuh prilaku baik selama di dunia. 

Tuhannya orang atheis adalah dirinya sendiri, karena pola pikirnya terlalu material. Untuk itu manusia butuh pengajaran agama yang mengajarkan secara holistik kehidupan dunia dan akhirat tidak terpisahkan. 

Lingkungan keluarga, pendidikan, budaya masyarakat, dan sistem pengajaran agama, perlu perubahan. Agama dan ilmu tidak terpisahkan, keduanya harus saling sinergi untuk membangun kehidupan manusia sejahtera di dunia dan akhirat. 

Narasi-narasi besar harus membawa pesan peran agama dan ilmu yang tidak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Etika, nilai, dan moralitas, harus dibangun dengan kesadaran pada kehidupan akhirat sebagai akhir tujuan hidup manusia kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa.***

Saturday, June 1, 2024

AGAMA MEMBEBASKAN MANUSIA DARI MANUSIA

Oleh: Muhammad Plato

Agama membebaskan manusia dari manusia. "kemerdekaan adalah ketika kita ikhlas dijajah Tuhan". Makna dari pernyataan ini mengandung pesan bahwa agama mengandung ajaran supaya manusia tunduk dan patuh hanya kepada Tuhan saja. 

Banyak fenomena di muka bumi ini, manusia tunduk dan patuh manusia. Pada hakikatnya manusia adalah makhluk dengan dua sifat yaitu fujur dan takwa. Fujur adalah sifat-sifat manusia yang lebih mengutamakan egonya, sedangkan takwa adalah sifat-sifat manusia yang tunduk dan patuh pada Tuhannya. 

Sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang selalu mengajak manusia selalu berharap pada Tuhan, kemudian berbuat baik, dan berserah diri pada Tuhan. "Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shaleh dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?" (Fushshilat, 41:33).

Jika manusia tunduk pada Tuhan, manusia diperintah Tuhan untuk pandai "iqra". "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan," (Al 'Alaq, 96:1).  Iqra dalam arti membaca, meneliti, memverifikasi, pada setiap fenomena yang terjadi. Manusia harus selalu skeptis kepada semua manusia, karena tidak semua manusia mengajak patuh pada Tuhan. Selain itu manusia memiliki kelemahan dengan sifat fujur yang melekat pada dirinya.

Allah mengabarkan di dalam Al Quran, manusia-manusia yang mengaku diri sebagan tuhan ditenggelamkan. Allah mengabarkan manusia-manusia yang dikendalikan sifat fujurnya dibinasakan. Manusia-manusia yang berhasil mempertahankan eksistensinya di dunia dikabarkan adalah mereka yang tetap beriman kepada Tuhan.

Nabi Muhammad di dalam hadis sahih mengatakan bahwa perang terbesar manusia bukan melawan manusia lainnya, tetapi perang melawan sifat-sifat fujur yang ada dalam dirinya. Ajaran agama yang benar adalah membimbing manusia supaya menjadi pemenang melawan sifat-sifat fujur yang ada dalam dirinya. 

Salah satu sifat fujur yang ada pada diri manusia adalah merasa dirinya sebagai Tuhan. Manusia punya sifat ingin dihormati, dihargai, dihormati, dengan melakukan penjajahan, perbudakan, genosida, hegemoni, monopoli, demi kepentingan pribadinya.

Allah memerintahkan pada manusia yang tunduk dan patuh pada Allah untuk saling menghormati antar sesama manusia. "Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim." (Al Hujuraat, 49:11).

Pesan dari Allah di dalam Al Quran, manusia yang mengolok-olok, menghina, merendahkan, manusia lain, sebenarnya mereka mengolok-ngolok dirinya sendiri. Ini pesan yang sangat esensial untuk dipahami dan diyakini dari Tuhan untuk semua manusia.  

Manusia-manusia terbaik, mereka selalu membawa pesan dari Tuhan untuk hidup damai, sejahtera, di dunia dan akhirat. Manusia adalah makhluk yang diberi amanah oleh Tuhan, untuk menyampaikan pesan-pesan dari Tuhan merujuk kepada sumber-sumber yang benar yaitu kitab suci yang diturunkan pada para nabi. 

Manusia-manusia yang mengembangkan logika, pola pikir, ucapan, dan tindakannya berdasar petunjuk Tuhan, dialah orang yang akan selalu menjaga kehidupan damai dan sejahtera di muka bumi untuk mencapai kedamaian dan kesejahteraan hidupnya di akhirat.***




SIAPAKAH ORANG JUJUR

Oleh: Muhammad Plato

Menimbang, mengingat begitu banyaknya praktek-praktek ketidakjujuran di negeri ini, memutuskan secara operasional kita harus memahami kembali makna kejujuran. Tanpa pemahaman operasional, tidak mungkin suatu  nilai dapat kita laksanakan dengan baik (Hasan, 1996).

Nilai kejujuran sangat penting untuk kita tanamkan sedini mungkin. “Kejujuran adalah sikap menunjukkan adanya kecocokkan antara perkataan dan perbuatan. Ciri orang jujur ditandai dengan selalu berkata berterus terang”. Begitulah makna kejujuran yang ditulis dalam salah satu buku teks pelajaran PKn SD.

Berangkat dari pengertian di atas, selama ini ada pemahaman kurang pas dalam memahami kejujuran. Kita cenderung mengartikan kejujuran sebagai “perkataan terus terang“. Konsep ini tidak salah, namun telah menggiring makna esensi kejujuran menjadi “perkataan” bukan “perbuatan”.

Indikator kejujuran berkata terus terang  dinilai kurang tepat sebab dalam situasi tertentu ada aturan, orang boleh tidak terus terang. Misalnya, tidak boleh terus terang jika perkataan bisa mengancam nyawa seseorang atau menjadi sebab konflik. Dalam hal menjaga perasaan seseorang, kita tidak boleh mengatakan kekurangan fisik dan keburukan seseorang, walaupun pada faktanya demikian.

Secara psikologis, orang yang memahami “berkata terus terang” sebagai indikator kejujuran, pribadinya bisa kurang produktif”. Kejujuran menjadi fokus hanya sebatas perkataan bukan pada perbuatan. Kejujuran dalam arti berterus terang, sulit diajarkan di dunia pendidikan. 

Hemat penulis, jujur dipahami sebagai “prilaku” bukan perkataan. Dalam kamus bahasa Indonesia salah satu pengertian yang cocok untuk konsep jujur adalah "berprilaku tidak curang". Jadi, jujur artinya kemampuan seseorang untuk berprilaku baik, sesuai nilai, moral dan norma, yang berlaku di masyarakat. 

Pemahaman konsep kejujuran sebagai perbuatan taat aturan harus lebih dikedepankan. Korupsi adalah prilaku tidak jujur, karena masuk pada kategori prilaku curang, yaitu perbuatan yang tidak sesuai dengan nilai, moral, dan norma yang berlaku di masyarakat baik tertulis maupun tidak tertulis.

Dengan demikian, kejujuran menjadi sesuatu yang mungkin untuk diukur dan dilakukan oleh setiap orang, kapan saja dan di mana saja. Ini berarti, setiap orang akan bersikap preventif, saling mengontrol, mana kala ada orang tidak jujur karena perbuatannya tidak sesuai aturan. 

Menanamkan pemahaman konsep kejujuran sebagai perilaku sejak dini, bisa mendidik seseorang menjadi kritis, cerdas dan dinamis. Dengan pemahaman ini, sebelum bertindak setiap orang akan berpikir nilai dan norma apa yang akan jadi landasaan setiap tindakannya.

Maka dari itu, “jujur adalah berprilaku sesuai dengan nilai, moral, dan norma yang berlaku di masyarakat”. Dengan memahami kejujuran sebagai perbuatan, secara alamiah masyarakat dapat berpartisifasi dan melakukan fungsi kontrol terhadap dirinya. Dalam kehidupan sehari-hari, setiap anggota masyarakat akan terus mendapat ujian kejujuran, dengan ukuran sesuaikah perbuatannya dengan nilai, moral, dan norma, yang berlaku di masyarakat atau tidak? Siapa yang jujur dan siapa yang tidak jujur bisa dilihat dari perbuatannya bukan dari kata-katanya.

Memahami nilai kejujuran sebagai perbuatan, etikanya dapat kita temukan  dalam sebuah ayat Al-Qur’an berikut, “amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan” (Ash-Shaff:3). 

Artinya, perbuatan baik harus menjadi dasar setiap kata-kata yang akan kita keluarkan. Perbuatan adalah hal yang paling utama bukan perkataan, karena perbuatan harus menjadi dasar dari setiap perkataan yang kita ucapkan. 

Secara psikologis kemungkinan besar orang tidak akan berterus terang (bohong) jika perbuatan sehari-harinya menyimpang dari aturan. Jadi, penyebab seseorang berkata bohong adalah karena perbuatan-perbuatannya yang melanggar aturan dan tidak ingin diketahui orang. 

Maka, Allah memerintahkan untuk berbuat baik. Berbuat baik diukur dari nilai, moral dan norma yang berlaku di masyarakat baik tertulis maupun tidak tertulis. Setelah itu berkatalah sesuai dengan apa yang telah kamu kerjakan. 

Berbuat baik lebih penting dari pada berkata terus terang. Bangsa ini akan berubah kalau orang-orang di dalamnya banyak berbuat kebaikan, bukan banyak berkata baik. Inilah prinsip sesungguhnya yang harus dipegang jika mau jadi orang jujur.  Jika setiap orang sudah biasa taat aturan, kemungkinan besar setiap perkataannya jujur karena sesuai dengan yang telah dia kerjakan. Potensi ketidakjujuran itu sebabnya adalah perbuatan melanggar aturan. Inilah menurut saya, logika kejujuran dari Tuhan. Wallahu'alam.***