Monday, February 28, 2022

NABI MUHAMMAD PEMBAWA MISI PERDAMAIAN

OLEH: MUHAMMAD PLATO

Riset microhistory pada biografi kisah hidup Nabi Muhammad, ditemukan fakta bahwa misi Nabi Muhammad adalah perdamaian. Pada usia 40 tahun Nabi Muhammad menerima misi kenabian di Gua Hira, kisah ini menjadi awal kiprah Nabi Muhammad membawa misi kesejahteraan dan kedamaian hidup manusia di muka bumi. Berdasarkan kajian microhistory, Nabi Muhammad mengalami empat kisah dalam hidupnya. Pertama; Nabi Muhammad mendapat tugas suci sebagai pembawa ajaran untuk kesejahteraan dan kedamaian hidup manusia di dunia, dengan menyebarluaskan bahwa membaca menjadi satu fundamental bagi kesejahteraan dan kedamaian hidup manusia di dunia. Kata sederhana “bacalah!” sebagai awal perintah pada Nabi Muhammad, menjadi kata-kata sederhana, mudah dimengerti, mengandung makna yang dalam dan sangat luas. Salah satunya, membaca dapat dimaknai sebagai perintah Tuhan kepada manusia untuk mencintai pengetahuan, mau berpikir, dan kreatif.

Kisah kedua adalah berani menghadapi kegagalan. Nabi Muhammad ketika mendapat wahyu pertama di Gua Hira, Beliau seorang diri tanpa ada manusia yang menyaksikannya. Saksi bahwa Nabi Muhammad sebagai utusan hanya malaikat Jibril yang diutus Allah. Sebuah keberanian besar dimiliki Nabi Muhammad, di tengah-tengah masyarakat mapan beragama politheis mengaku diri sebagai utusan tanpa dukungan keluarga besar atau pasukan. Kisah perjuangan Nabi Muhammad menyampaikan kebenaran wahyu di tanah Mekah selama kurang lebih 13 tahun tidak membuahkan hasil. Nabi Muhammad gagal meyakinkan masyarakat Mekah bahwa dirinya Rasulullah dengan berita wahyu yang dibawanya. Kegagalan Nabi Muhammad meyakinkan masyarakat Mekah bahwa dirinya Rasullullah, direkam dalam sejarah hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah.

Periode Madinah dalam beberapa buku biografi Nabi Muhammad dijelaskan sebagai masa-masa penderitaan, dalam arti Nabi Muhammad dihadapkan pada posisi tidak menguntungkan secara jumlah namun sudah dihadapkan pada situasi perang. Selama di Madinah, Nabi Muhammad menghadapi perang-perang yang sangat menguji keimanan para pengikutnya. Diantara perang-perang heroik Nabi Muhammad dan pengikutnya adalah perang Badar, Uhud, dan Khandaq. Peperangan ini sangat menguras energi Nabi Muhammad dan pengikutnya, sebab peperangan ini dilakukan dalam jumlah pasukan yang tidak seimbang kurang lebih 1 banding 10. Perbandingan pasukan pada Perang Badar sekitar 300 orang melawan 1000 orang, Perang Uhud sekitar 7000 s.d 1000 pasukan  melawan 10.000 pasukan, dan Perang Khandaq (Ahzab) sekitar 3000 pasukan melawan 24.000 s.d 30.000 pasukan. Fakta-fakta historis ini dapat kita temukan pada biografi-biografi Nabi Muhammad karya dari beberapa penulis sejarah. Dengan melihat jumlah pasukan di atas, masa peperangan yang dialami Nabi Muhammad tidak layak dikatakan sebagai upaya-upaya agresi, tetapi sebagai tindakan pertahanan karena mendapat ancaman dan tekanan. Masa-masa ini bisa dikatakan sebagai masa-masa Nabi Muhammad mengalami penderitaan. Dalam situasi ini Nabi Muhammad mendapat tekanan pengkhianatan dari pengikutnya yang membelot, dan tekanan dari luar dengan persekutuan yang menghasilkan gabungan pasukan dalam jumlah besar.

Kemenangan besar Nabi Muhammad dalam menunaikan misi kenabiannya yaitu ketika dilakukannya perjanjian Hudaibiyah pada tahun 628 M, saat itu kurang lebih usia Nabi Muhammad 58 tahun jika dihitung dari kelahiran Nabi Muhammad tahun 570 M. Perjanjian Hudaibiyah sekalipun pada faktanya oleh para sahabat dianggap merendahkan kedudukan Nabi, karena dalam perjanjian Hudaibiyah Nabi Muhammad dituliskan dengan Muhammad bin Abdullah. Dalam peristiwa perjanjian Hudaibiyah tercatat Nabi Muhammad tidak mempermasalahkan penulisan nama tersebut. Nabi Muhammad yag visioner membaca bahwa perjanjian damai merupakan upaya misi beliau dalam menjaga dan menyebarkan perdamaian. Dalam situasi damai, Nabi Muhammad dan pengikutnya bisa menyebarkan misi-misi Islam yang sesungguhnya membimbing manusia hidup damai sejahtera dengan berserah diri pada Tuhan Yang Gaib, Tuhan Yang Maha Esa.

Pada usia Nabi Muhammad kurang lebih 61 tahun, misi perdamaian Nabi Muhammad berhasil diwujudkan dengan menduduki Mekah tanpa pertumpahan darah. Terkenal ucapan Nabi Muhammad pada saat akan menduduki Mekah, “hari ini adalah hari kasih, kata Nabi. Hari dimana Tuhan memuliakan Quraisy".  Beliau kemudian berbicara kepada mereka (penduduk Mekah) dengan kata-kata memaafkan, sesuai dengan ayat saat Yusuf berkata kepada saudara-saudaranya ketika mereka menemuinya di Mesir, sesungguhnya, aku berkata seperti saudara ku Yusuf berkata: "pada hari ini tidak ada cercaan pada kalian, mudah-mudahan Allah mengampuni kalian. Dia Maha Pengasih di antara yang mengasihi”[Q. 12:92] (Lings, 2014, hlm. 466, 471).

Dalam kisah lain, dikatakan di depan pintu Ka’bah Nabi Muhammad membacakan firman Tuhan, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (Q. 49:13). Kemudian Nabi bertanya kepada mereka: “orang-orang quraisy, menurut pendapat kamu apa yang akan ku perbuat terhadap kamu sekarang?”  Mereka menjawab, “Yang baik-baik. Saudara yang pemurah, sepupu pemurah”. Lalu kata Nabi, “Pergilah kamu sekalian. Kamu sekarang sudah bebas!” (Haikal, 2003, hlm. 462-464). Setelah misi menyebarkan ajaran damai tercapai, pada usia 63 tahun Nabi Muhammad, sakit dan wafat dalam pangkuan istrinya Siti Aisyah ra. Salawat dan salam semoga terlimpah pada Nabi Muhammad SAW. Demikian sepenggal kisah misi perdamaian Nabi Muhammad di muka bumi semoga bermanfaat untuk seluruh umat manusia. Wallahu’alam. 

Saturday, February 26, 2022

PUASA MARAH

 OLEH: MUHAMMAD PLATO

Ide tulisan ini di dapat dari kegiatan kajian rutin Alumni SMAN 15 Kota Bandung yang diketuai Dadang Munajat menghadirkan Ustad Dudi Mutakin. Silaturahmi dan kekeluargaan Alumni dengan sekolah masih terpelihara dengan kepedulian dan kerelaan para pengurus alumni. Sebuah budaya positif yang harus terus dilestarikan. Kajian dihadiri kurang lebih 100 orang, jam 19.45 selesai shalat isya. Ustad Dudi sudah tidak asing, berlatarbelakang seorang pendidik, metode mengajarnya sangat kekinian karena materi disampaikan dengan bahasa ringan yang mudah dimengerti dalam kehidupan sehari-hari.

Kajian difokuskan pada materi dengan tema, “memantaskan diri untuk masuk bulan Ramadhan”. Ada beberapa hal menarik yang disajikan ustad Dudi dalam kajiannya. Pertama; masalah puasa marah. Beliau telah membuktikan puluhan tahun hidup dalam keluarga dengan melakukan puasa marah. Ketika audien bertanya apa rahasia bisa melakukan puasa marah berpuluh tahun dalam keluarga? Beliau menjawab, “ketika marah dia buka rekening dan share beberapa rupiah”. Ini metode yang patut dicoba, karena dalam hadis Rasulullah, sedekah dapat menolak keburukan. Setelah punya kebiasaan share dana dari rekening ketika marah, ketika tidak ada dana dalam rekening Allah memberi kemampuan untuk mengendalikan amarah. Teknik ini jangan diamini saja dalam tataran kognitif sebagai kepercayaan, tetapi harus berani mencoba dan melakukannnya dengan konsisten.

Kedua; masalah kesombongan iblis yang dikabarkan di dalam Al-Qur’an. Kesombongan iblis adalah menentang atau menolak ketentuan Allah. Kesombongan iblis menolak perintah Allah untuk sujud kepada Adam. Keberanian menentang pada perintah Allah adalah bentuk kesombongan Iblis karena merasa diri lebih baik dari yang lain berdasar sudut pandangnya.

Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Menjawab iblis: "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah". (Al ‘Araaf, 7:12)

Karakter iblis ini menjadi contoh karakter manusia-manusia sombong karena merasa lebih baik dari orang lain sehingga berani menolak perintah Allah. Ustad Dudi mengatakan karakter ini ada pada kecenderungan wanita yang kebanyakan menolak ketentuan Allah.

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim, maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (An Nisaa, 4:3).

Ustad Dudi menjelaskan bahwa kunci keadilan itu ada pada kaum wanita yang taat, dan keteladanan ketaatan laki-laki pada Allah yang mengagumkan dihadapan wanita. Jelas keadilan itu bukan usaha sepihak tetapi usaha dari kedua belah pihak untuk sama-sama taat kepada Allah sesuai dengan posisinya masing-masing. Untuk itu, dibutuhkan keilmuan dan pemahaman ajaran agama yang komprehensif agar ajaran agama tidak di salah pahami sebagai ajaran yang diskriminatif.

Ketiga; perihal kunci keberhasilah dalam pendidikan. Sebagaimana penulis jelaskan dalam tulisan terdahulu, kunci dari keberhasilan pendidikan adalah bagaimana menghadirkan Allah pada setiap mata pelajaran sehingga para siswa dapat mensyukuri hidupnya sebagai kesadaran untuk selalu berterimakasih pada Allah atas segala fasilitas hidup yang telah dinikmatinya. Selain itu biaya pendidikan tidak boleh menjadi beban bagi orang tua siswa. Terlaksananya pendidikan harus dinaungi dengan rasa ikhlas ketiga belah pihak yaitu guru, siswa, dan orang tua.

Demikian sedikit ringkasan pembelajaran di meetingzoom bersama IKA alumni 15 dan Ustad Dudi, semoga bermanfaat. Pesan terpenting dari kajian malam itu adalah mari kita sambut Ramadhan dengan niat untuk membiasakan puasa marah agar kehidupan berjalan damai dan sejahtera. Marah, sekalipun dalam kontek kebenaran, secara psikologis masih terselip kesombongan karena merasa diri benar. Kebenaran hanya milik Allah, kita hanya menjadi penyampai saja tanpa niat sedikitpun untuk menjadi pemilik kebenaran karena itu hak Allah. Taatlah pada ajaran-ajaran Allah dan Rasulnya jangan pada siapa penyampainya saat ini. Wallahu’alam.

Monday, February 7, 2022

AL-QUR’AN KITAB PENDIDIKAN

Oleh: Muhammad Plato

Al-Qur’an jika kita renungkan adalah kitabnya para pandidik. Sejarawan memendang Al-Qur’an adalah sumber primer dalam bentuk fakta mental (mentifact). Seluruh isi Al-Qur’an mengandung pelajaran untuk manusia yang mau memikirkanya. Konsep pendidikan di dalam Al-Qur’an adalah mengajarkan kepada manusia untuk melakukan refleksi diri karena karena seluruh kejadian yang diterima secara individu maupun kelompok adalah hasil dari perbuatannya.

Utusan-utusan itu berkata: "Kemalangan kamu itu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu mengancam kami)? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampaui batas". (Yasin, 36:19).

Konsep dasar ini banyak dijelaskan di dalam Al-Quran dalam berbagai kasus. Pada intinya manusia punya kebiasaan menyalahkan orang lain, dan bagi orang-orang yang diberi petunjuk setiap kejadian yang menimpa dirinya akan menjadi bahan refleksi diri. Inilah konsep berpikir yang harus diajarkan para pendidikan pada siswa. Konsep dasar ini menjadi pola berpikir baku dan sudah menjadi takdir atau ketetapan dari Allah. Manusia-manusia yang terlalu fokus pada kesalahan orang lain adalah manusia tidak terdidik dan melampaui batas yang sudah ditetapkan oleh Allah.

Jika kita mengacu kepada Al-Qur’an sedikitnya ada tiga dasar pendidikan yang harus diajarkan yaitu, membaca, keyakinan pada Tuhan, dan bersedekah atau berbuat baik pada sesama. Gagasan ini dimulai dari perintah membaca (Al ‘Alaq, 96:1), keyakinan pada Tuhan, dan bersedekah (Al Baqarah, 2:3). Tiga gagasan ini menjadi konsep dasar pendidikan yang harus diajarkan dalam berbagai macam materi ajar, media dan pendekatan pembelajaran.

Pertama; Mengapa membaca (literasi) menjadi dasar pendidikan? Secara filosofis segala yang dapat dilakukan dan diciptakan oleh manusia sumbernya adalah pengetahuan. Abas & Wekke (2019) mengatakan bahwa agama sebenarnya bersumber dari pengetahuan. Keyakinan pada Allah sumbernya pengetahuan, dan teknologi yang diciptakan sumbernya pengetahuan. Arwani (2012) menjelaskan bahwa Tuhan sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran, dan manusia sebagai aktor pencari pengetahuan. Dalam teori fenomenologi, pengetahuan diketahui berdasarkan kesadaran orang yang mengalaminya, karena itu penngetahuan hanya dapat diamati oleh orang yang mengalaminya (Asih, 2005). Dari sudut pandang fenomenologi, kesadaran seseorang tentang sebuah pengetahuan menjadi tanggung jawab seseorang. Ide ini berkaitan dengan pengajaran Al-Qur’an, bahwa segala sesuatu pada akhirnya menjadi tanggung jawab pribadi.

Dasar pendidikan kedua; keyakinan pada Tuhan yang ghaib. Keyakinan pada Tuhan yang ghaib implementasinya adalah percaya pada pengetahuan yang diturunkan dari Tuhan yaitu kitab suci yang substansinya tentang adanya kehidupan setelah kematian yaitu akhirat. (baca: Al Baqarah, 2:4). Berkeyakinan pada Allah pemilik pengetahuan dan alam akhirat, pada prakteknya harus  menjadi ide ajaran etika dan moral dalam kehidupan sehari-hari manusia. Alam akhirat yang dijelaskan Allah sebagai alam kekal menjadi pembangun harapan dan optimisme manusia untuk berbuat kebajikan atas nama Tuhan. Allah mengatakan orang-orang yang hidup dengan keyakinan pada Tuhan, alam akhirat, dan berbuat baik pada sesama, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang beruntung. “Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung”. (Al Baqarah, 2:5).

Eksistensi Tuhan harus dijadikan sebagai wujud segala pengharapan manusia. Segala sesuatu yang dikerjakan manusia di muka bumi harus bersandar pada pengharapan baik yang digantungkan pada Tuhan. “dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap” (Alam Nasyrah, 94:8). Erich Fromm (1968) dalam bukunya “Revousi Harapan” menjelaskan harapan adalah hasrat atau keinginan. Harapan kepada rumah, mobil, perkakas, bahkan ke masa depan sejarah adalah berhala. Harapan ini harapan-harapan palsu yang diciptakan manusia yang dimulai pada masa Revolusi Perancis. Harapan bersifat paradoksional. Bukan pekerjaan pasif, tetapi keadaan yang siap setiap saat menunggu kedatangan yang akan datang, dan sekalipun tidak datang tidak putus asa. Psikologi harapan ini hanya bisa diwujudkan ketika manusia berharap kepada Tuhan sebagai pemberi harapan.

Dasar pendidikan ketiga; menngeluarkan sebagai harta atau sedekah. Konsep sedekah bermakna luas yaitu hidup bermanfaat bagi sesama. Sedekah adalah karakter yang dapat membentuk manusia-manusia penyejahtera yang akan menjadi khalifah di muka bumi. Karakter sedekah harus menjadi pola pikir (mindset) yang dipraktekkan dalam kebiasan-kebiasan memberi diajarkan dalam bentuk pendidikan karakter atau pembiasaan. Murakami (2013, hlm. xix) menjelaskan manusia tersusun dari banyak sel. Di dalam sel tertulis kode rahasia yang luar biasa banyaknya. Salah satu cara untuk mengaktifkan DNA yang baik yaitu hidup dengan memikirkan kepentingan orang lain dan untuk kebaikan dunia, berpikir optimis dan bersyukur. Hidup memikirkan orang lain, berpikir optimis, dan bersyukur adalah bawaan yang terdapat dalam kode DNA.

Mengeluarkan sebagian harta yang diajarkan dalam kitab suci Al-Qur’an, berkaitan dengan mengaktifkan DNA baik, untuk membentuk karakter manusia-manusia penyejahtera yang sudah terdapat dalam kode DNA-nya manusia. Memberi akan membawa efek positif pada pikiran dan perasaan, serta mendatangkan sikap-sikap bersyukur dalam arti menerima dan mengoptimalkan sesuatu yang telah dimilikinya menjadi lebih bermanfaat untuk orang lain.

Itulah tiga konsep dasar pendidikan yang dapat dijadikan rujukan dalam pengembangan manusia-manusia berkualitas di dunia pendidikan. Saatnya untuk mengkaji lebih dalam lagi konsep dan teori pendidikan yang bersumber dari kitab suci Al-Qur’an sebagai kitab pendidikan untuk melahirkan manusia-manusia unggul penyejahtera kehidupan dunia. Direkomendasikan adanya riset-riset pengembangan lebih lanjut. Wallahu’alam.

Wednesday, February 2, 2022

MANUSIA BERHALA

 Oleh: Muhammad Plato

Syekh Abdul Kadir Jailani berkata, “sesungguhnya berhala itu adalah diri mu sendiri”. Pemikiran mendalam ini dapat dipahami karena manusia diberi akal dan nafsu sehingga manusia diberi potensi oleh Allah untuk berkehendak. Fakta ini sering dipahami oleh kita sebagai kebebasan manusia dalam menentukan kehendaknya. Sekalipun segala kehendak yang ada di muka bumi ini adalah kehendak Allah. Namun manusia kadang melupakan Tuhannya dengan mengatakan bahwa manusia punya kehendak. Padahal sesungguhnya ketika manusia mengatakan bahwa dirinya berkehendak atas kemampuan dirinya sesungguhnya dia telah menjadi berhala bagi dirinya sendiri.

Akal dan nafsu adalah berhala yang ada dalam diri manusia. Kedua berhala ini akan menyesatkan manusia jika kesadaran eksistensi Tuhan dilupakan dalam setiap kehendaknya. Manusia itu pada dasarnya pelupa, makhluk tersesat, dikarenakan akal dan nafsunya kerap lupa kepada Tuhannya. Dalam waktu 24 jam berapa persen manusia bisa mengingat kepada Tuhan? Orang-orang terbaik adalah mereka yang bisa menjaga ingatan akal dan nafsunya selalu bersama kehendak Tuhan. Ibadah rutin yang dilakukan umat Islam 5 kali dalam sehari, ditambah dengan ibadah-ibadah tambahan adalah kegiatan rutin agar akal dan nafsunya senantiasa berada dekat dengan Allah.

Jika standar orang Islam setiap hari 5 kali melakukan ibadah untuk mengingat Allah, maka dalam 24 jam jika saja setiap ibadah memakan waktu 10 menit, artinya setiap hari orang Islam bersama dengan Allah hanya 50 menit, sisanya 23,1 jam akal dan nafsunya lupa kepada Allah. Manusia berhala ingatannya banyak lupa kepada Allah.

Jika kita gali informasi dari Al-Qur’an, keberadaan nafsu dan akal tidak dikotomi baik dan buruk, karena nafsu dan akal hanya perangkat hidup yang diberikan Allah. Perangkat ini tergantung pada pemanfaatannya. Pemanfaatan perangkat sangat tergantung pada tujuan. Pemanfaatan akal dan nafsu akan bermanfaat jika tujuannya untuk kebaikan bersumber pada informasi dari Tuhan. Kebaikan yang tidak atas nama Allah, berarti kebaikan tersebut tidak akan kembali pada Allah, tetapi kembali kepada dari mana sumber kebaikan itu di dapat.

Allah menurunkan wahyu Al-Qur’an dalam bentuk pengetahuan-pengetahuan yang terkandung di dalamnya. Hal yang membedakan antara buku dan Al-Qur’an adalah buku yang ditulis oleh manusia tentang alam kadang mengkondisikan kita lupa pada Tuhan, namun kitab suci Al-Qur’an yang isinya tentang alam, kejadian, dan manusia, telah terkondisikan di dalam ingatan bahwa informasi Al-Qur’an dari Tuhan. Artinya membaca informasi-informasi dari Al-Qur’an akan membimbing pikiran kita untuk ingat, berkomunikasi dengan Tuhan setiap saat.

Manusia berhala mengendalikan akal dan nafsunya dengan hanya memanfaatkan informasi dari apa yang dilihat, didengar, dan dipikirkannya, tanpa memikirkan sumber informasi yang didapatkannya mengandung kebenaran atau hanya sekedar pengetahuan alam tanpa ada hubungan dengan Tuhan. Fungsi pengetahuan dari Al-Qur’an adalah menjaga ingatan agar selalu berhubungan dengan Tuhan. Jika ingatannya selalu terhubung dengan Tuhan, maka akal dan nafsu akan mengevaluasi setiap kejadian dengan melibatkan pertimbangan-pertimbangan untung dan rugi berdasarkan infromasi dari Tuhan.

Aktivitas ritual shalat dapat menjaga ingatan akal dan nafsu ingat kepada Tuhan. Sebagai ritual shalat adalah benteng terakhir pertahanan akal dan nafsu untuk selalu ingat Tuhan. Kekuatan ingatan akal dan nafsu kepada Tuhan, selayaknya dibangun dengan memperbanyak perbendaharaan pengetahuan tentang alam, hewan, manusia, dan kejadian yang sumbernya dikombinasikan antara pengetahuan Al-Qur’an, dan fakta-fakta di alam.

Siapa manusia berhala? ukurannya adalah antara lupa dan ingat kepada Tuhan. Lupa terjadi karena semua pengetahuan yang diterima akal dan nafsunya bersumber dari alam, sementara ingat kepada Tuhan terjadi karena pengetahuan yang diterima selalu dikaitkan dengan Tuhan dengan bantuan informasi dari Al-Qur’an. Membaca Al-Qur’an sesungguhnya mengevaluasi segala kejadian di alam dengan informasi-informasi yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan alam.

Budaya menghafal Al-Qur’an dengan patokan tajwij, perlu ditingkatkan dengan membaca, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi dan menciptakan ide-ide Al-Qur’an menjadi prilaku pikiran (akal), hati (nafsu), tindakan (akhlak), dan produk (teknologi). Sebagai sumber pengetahuan, Al-Qur’an harus bisa memenuhi seluruh sudut ruang akal dan nafsu, agar Allah selalu ada dalam ingatan, tindakan, dan benda-benda yang bisa kita ciptakan. Wallahu’alam