Oleh:
Muhammad Plato
Jika
perintah berhaji berlaku hanya bagi orang-orang kaya saja, maka Allah tidak
adil kepada manusia. Mengapa? Karena kalau mengukur material tidak semua
manusia diberi kekayaan material untuk beribadah haji. Dan buktinya ada
orang-orang yang tidak punya kekayaan bisa menempuh jalan haji.
Saya
sependapat dengan Mas Wantik (2016) dalam ebooknya bejudul Yang Tertulis Yang Terucap, Beliau berpendapat bahwa semua orang
dipanggil untuk melaksanakan haji. Sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur’an, “Dan berserulah kepada manusia untuk
mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan
mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh”, (Al
Hajj, 22:27).
Sebagaimana
biasa, jika kita dipanggil oleh pimpinan ada yang merespon ada yang tidak. Respon
kita semua tergantung pada kemampuan.
Allah
berseru kepada seluruh manusia untuk berhaji, mengapa tidak ke orang-orang
beriman? Karena kemampuan haji bukan hanya makna lahiriah saja berangkat ke
tanah suci.
Ahmad
Chodjim (2017) menjelaskan bahwa kemampuan berhaji bukan kemampuan secara
material, tetapi kemampuan immaterial. Rumah Allah yang hakiki, bukan ada di
bangunan Kabah, tetapi di dalam hati kita sendiri.
Menempuh
haji adalah perjalanan menuju maqam Ibrahim. Menurut Ahmad Chodjim, maqam Ibrahim adalah kedudukan
spiritualitas Nabi Ibrahim sebagai seorang hanif (total berserah diri kepada
Tuhan). Inilah kedudukan yang harus dicapai oleh orang-orang yang hendak berhaji.
syumma auhaina, ilaika anittabi’ millati
ibroohiima haniifa, wamaa kaana minal musyrikin.
Kemudian Kami wahyukan kepadamu
(Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif." dan bukanlah
dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (An nahl, 16:123).
Nabi
Ibrahim dijadikan imam seluruh manusia, dan bapak para Nabi. Nabi Ibrahim adalah peletak dasar
spiritulitas yang meletakkan kebenaran dengan menggunakan akal-pikiran yang
sehat sehingga Nabi Ibrahim menjadi manusia yang secara total mejadi pengabdi
dan berserah diri kepada Tuhan.
Selanjutnya
Chodjim menjelaskan, dasar keimanan Nabi Ibrahim adalah pemeberdayaan
akal-pikiran secara benar sebelum melangkah ke pijakan berikutnya. Ia menimbang
segala sesuatu berdasarkan akal-pikiran, dan bukan dengan keimanan buta. Ia
berpegang pada kaidah logika “ya” dan “tidak” terlebih dahulu. Setelah
mengamatinya dengan seksama berulang-ulang, secara cermat, dan melakukan kajian
objektif terhadap sesuatu yang diamatinya. Nabi Ibrahim kemudian bisa menarik
kesimpulan bahwa bintang-bintang di langit, rembulan, matahari, bukan Tuhannya.
Sistem
spiritualitas inilah yang disebut dengan bait
(rumah) yang aman, yang kemudian dilanjurkan oleh Nabi Muhammad saw. Siapa
yang mendatangi sistem spiritual Nabi Ibrahim ini, maka dia akan aman.
Sesungguhnya orang yang paling dekat
kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad),
serta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah Pelindung semua orang-orang yang beriman.
(Ali Imrah, 3:68).
Saya
sependapat dengan Ahmad Chodjim, bahwa hakikat berhaji adalah tantangan untuk
mencapai suatu kedudukan spiritual yang pernah dilakukan oleh Ibrahim. Nabi
Muhammad saw diseru untuk menuju maqam terpuji mengikuti jalan Nabi Ibrahim
yaitu menjadi orang-orang yang ikhlas dan muhsin.
Orang
yang muhsin adalah orang yang amal salehnya murni, dan bukan disebabkan oleh
pengaruh orang lain, atau karena pamer, ikut-ikutan, atau demi kepentingan
pribadi, keluarga dan golongan. Inilah hakikat haji yang harus dimiliki para
haji yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. mengikuti apa yang telah
dilakukan Nabi Ibrahim.
Sebagai
wujud nyata para haji di dalam kehidupan adalah mereka adalah orang-orang yang bermanfaat
bagi orang banyak. Hati dan pikiran mereka telah berubah total menjadi para
pengabdi pada Tuhan dengan tugas mensejahterakan, memakmurkan (‘umrah), seluruh
umat manusia.
Logikanya,
semakin banyak haji, maka harus semakin makmur bangsa ini. Kemakmurannya, bukan
hanya dapat dinikmati oleh orang-orang beriman saja, tetapi termasuk orang-orang
yang kafir kepada Allah, sekalipun orang-orang kafir menikmatinya hanya
sementara saja.
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa:
Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah
rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada
Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafir pun
Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan
itulah seburuk-buruk tempat kembali". (Al baqarah, 2:126)
Dengan
demikian, para haji adalah pemakmur alam semesta. Melalui para haji, syiar dan
kemuliaan Islam akan memancar kemana-mana. Para haji adalah manusia muhsin, pewaris
agama Ibrahim, dan pengikut Rasulullah saw. Dengan demikian semua kaum muslimin
dipanggil untuk mendapat kedudukan dan bergelar haji dalam arti pemakmur semesta alam. Wallahu
‘alam.
(Master Trainer @logika_Tuhan)