Wednesday, December 26, 2018

PENAMPAKKAN DI GUNUNG KRAKATAU

OLEH: MUHAMMAD PLATO

Sejarah mencatat bahwa tahun 2010, gunung Merapi sebagai gunung teraktif di dunia memuntahkan isi perutnya ke bagian wilayah Jawa Tengah, dan Jogjakarta. Awan panas (wedhus gembel) membakar ladang-ladang dan rumah-rumah warga. Mereka tidak sempat menyelamatkan diri, takdir hidupnya berakhir oleh sengatan awan panas ribuan derajat celcius. Abu ledakan Gunung Merapi berterbangan menjangkau radius 500 KM ke bagian barat pula Jawa.

Baru saja lepas dari bencana gunung Merapi, di akhir penghujung tahun 2010, gunung Bromo di Jawa Timur menunjukkan aktivitasnya menyemburkan abu vulkanik. Walaupun letusannya tidak sedahsyat letusan gunung Merapi, abu vulaknik yang disemburkan gunung Bromo merubuhkan rumah dan menutupi tanaman-tanaman milik para petani hingga tidak bias produksi. Abu yang dihasilkan dari letusan gunung Bromo merugikan para petani karena gagal panen dan pasokan kebutuhan bahan pokok menjadi terhambat, harga-harga barang melambung tinggi.

GUNUNG KRAKATAU MELETUS KARENA TUHAN MENAMPAKKAN DIRI KEPADA GUNUNG
Sejarah telah mencatat, tahun 1883 telah terjadi letusan dahsyat gunung Krakatau, yang menyebabkan ribuan orang jatuh korban. Akibat bencana meletusnya gunung Kratakatau, masyarakat Banten sangat terkena dampakanya. Sawah-sawah mereka hilang menjadi gersang akibat letusan abu vulkanik gunung Krakatau. Hampir 200.000 nyawa melayang, wabah penyakit, dan hewan-hewan mati terserang penyakit. Kondisi ini membuat masyarakat Banten hidup dalam kesengsaraan. (Kartodirdjo, 2015).

Sejarah gunung krakatau berulang, akhir tahun 2018, anak gunung Krakatau meletus menyebabkan tsunami dan memakan korban ratusan orang. Tsunami terjadi tiba-tiba, disaat orang-orang sedang lengah. Tsunami akibat letusan gunung Krakatau bergerak tidak terdeteksi.

Dalam sejarah spiritual, gunung membawa  pesan untuk manusia. Pesan itu bisa kita tangkap dari fakta sejarah di dalam kitab suci Al-Qur’an, “Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan”. (Al A’raaf:143). Dari fakta ini, kita pahami bahwa letusan gunung disebabkan oleh penampakkan Tuhan kepada gunung, lalu gunung hancur (meletus) meluluhlantakkan segala apa yang ada di permukaan bumi. Manusia yang menyaksikan dan merasakan dahsyatnya letusan gunung, meratap memohon ampun kepada Tuhan. 

Lalu apa sebab Tuhan menampakkan diri kepada gunung? Dalam Al-Qur’an dijelaskan, “Dan sesungguhnya mereka telah membuat makar yang besar padahal di sisi Allah-lah (balasan) makar mereka itu. Dan sesungguhnya makar mereka itu (amat besar) sehingga gunung-gunung dapat lenyap karenanya”. (Ibrahim:46). Makar-makar manusia menyebabkan gunung hancur, dan memberi pesan kepada manusia agar kembali ke jalan benar dan tinggalkan segala perbuatan buruk.

Gunung punya ikatan kuat dengan kehidupan masyarakat. Dalam adat Jawa dan Sunda, gunung selalu dikaitkan dengan tempat-tempat suci. Pada kenyataannya banyak gunung yang dijadikan tempat suci. Di lingkungan masyarakat Jawa banyak dikenal tempat-tempat suci berkaitan dengan gunung seperti Gunung Kawi, Gunung Kemukus, dan Gunung Merapi. Walaupun berbau mitos dan kadang ada perbuatan syirik di dalamnya, dibalik penyucian gunung sebenarnya ada pesan spiritual yang sering tidak tersampaikan. Pesannya adalah gunung mewakili dari seluruh alam semesta yang harus kita rawat dan jaga kelestariannya untuk kelangsungan dan kesejahteraan hidup manusia. Gunung makhluk suci berfungsi sebagai pertanda, tempat atau media komunikasi antara manusia dengan Tuhan.

Untuk kelangsungan hidup manusia, gunung memiliki fungsi sebagai rumah tempat berlindung, (Al Araaf:74); sumber penghidupan, (Ar ra’d:3); sumber air, (An naml:61), pertahanan kemanan, (Thaahaa:80); menahan goncangan dan tempat berkembang biaknya segala jenis binatang (Lukman:10).

Meletusnya Gunung dapat kita renungi sebagai tanda manusia telah melampaui batas, dan harus kembali memperbaiki diri. Meletusnya Gunung adalah tanda bahwa Tuhan itu ada, menyaksikan dan memiliki ketentuan pasti. Tuhan telah menampakkan diri kepada gunung, untuk menyampaikan pesan, kembalilah kepada Tuhan mu agar hidup mu sejahtera. 

Lalu mengapa Tuhan menampakkan diri kepada gunung? Budaya hedonis, gila kekuasaan, pergaulan bebas, peredaran narkoba, prostitusi kekuasaan, pencemaran dan kerusakan lingkungan, telah menjadi kebiasaan. Kita telah bertindak sekehendak hati dan telah mengabaikan eksistensi Tuhan. Prilaku ini telah membuat gunung bereaksi takut kepada Tuhan.

Para leluhur  menyucikan gunung, bukanlah akal-akalan agar manusia berlindung kepada gunung. Penyucian gunung adalah cara orang-orang terdahulu, agar manusia menghargai dan menjaga keseimbangan alam untuk kelangsungan hidup dan kesejahteraan umat manusia. Terpeliharanya gunung dapat menjadi pertanda terpeliharanya kesejahteraan hidup manusia. Memperbaiki diri, dengan berikap jujur, adil, amanah, adalah cara manusia memelihara gunung dari kehancuran.

Nabi Muhammad SAW, diutus untuk menyempurnakan agama, agar ajaran-ajaran yang dibawa turun temurun dari para leluhur tidak jadi sumber penyimpangan. Untuk itu, sesuai dengan kemampuan berpikir manusia, Nabi Muhammad SAW diberi mukjizat Al-Qur’an sebagai al-Furqon, untuk membedakan mana yang benar dan salah.

Mitos adalah cara orang-orang terdahulu menyampaikan pesan Tuhan kepada manusia. Kini, zaman sudah berubah, ajaran-ajaran berbau mitos telah digeser dengan ajaran-ajaran yang bisa dijangkau oleh akal. Untuk itu, kitab suci Al-Qur’an diturunkan supaya dibaca, dipahami dengan akal dan pikiran manusia. Jika tidak, akan banyak manusia berpaling dari ajaran-ajaran Tuhan terjebak di dunia mitos, berbuat makar dan mengabaikan eksistensi Tuhan.  Mari, bertobatlah seperti Nabi Musa as. dan akhiri perbuatan makar itu. Wallahu ‘alam.

Master Trainer logika tuhan

Saturday, December 22, 2018

ILMU NAFSIR

OLEH: MUHAMMAD PLATO

Salah satu bukti manusia berpikir adalah setiap hari manusia menafsir, setiap apa yang diindera. Ketika panca indera berfungsi, maka pengetahuan akan masuk ke memori dan diolah oleh otak untuk kemudian menghasilkan pengetahuan baru sebagai hasil sintesa. Proses sintesa pengetahuan adalah kegiatan otak berpikir, mengolah pengetahuan yang masuk ke memori.

Praktek pengolahan pengetahuan dalam otak, dilakukan oleh setiap orang. Praktek pengolahan pengetahuan (berpikir) ini ada yang disadari ada yang tidak. Hasil dari proses berpikir yang bisa diamati dari luar adalah penafsiran yang dikemukakan dalam bentuk lisan atau tulisan. Jika demikian, pembicaraan yang kita utarakan, setiap kali bicara adalah hasil berpikir berupa penafsiran. Tafsiran dalam bentuk obrolan sehari-hari adalah hasil pemikiran reflek yang tidak dalam kontrol kesadaran. Bisa ditarik kesimpulan bahwa obrolan sehari-hari manusia adalah tafsir tingkat rendah yang tidak mengeluarkan seluruh energi kesadaran sebagai bukti nyata manusia berpikir. 

Manusia adalah Makhluk Penafsir. Ilmu Dasar Manafsir adalah Berprasangka Baik.

Tafsir tingkat tinggi adalah hasil pemikiran yang direncanakan untuk mendapat pengetahuan bermanfaat bagi kehidupan. Pembicaraan berkualitas di bawah kontrol kesadaran dilandasi oleh ilmu pengetahuan didukung oleh data dan fakta yang benar. Plato menegaskan bahwa hasil pengamatan inderawi tidak dapat memberikan pengetahuan yang kokoh karena sifatnya berubah-ubah. Sesuatu yang berubah-ubah tidak dapat dipercaya kebenarannya. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan yang memberikan kebenaran kokoh, ia mesti bersumber pada hasil pengamatan yang tepat dan tidak berubah-ubah. Hasil pengamatan yang tidak berubah-ubah, hanya bisa datang dari alam yang tetap dan kekal. Alam inilah yang disebut oleh Aristoteles sebagai “alam ide” suatu alam di mana manusia sebelum lahir telah mendapatkan ide bawaan. Bagi Plato alam ide inilah alam realitas, sedangkan alam inderawi bukanlah alam sesungguhnya. (Siraj, 2012, hlm. 24).

Namun demikian tidak semua orang bisa jadi peneliti dan senang meneliti. Sebagaimana statistik masyarakat kita menunjukkan tidak suka membaca, dan minat terhadap ilmu pengetahuan rendah. Budaya ngobrol yang lebih diminati, masyarakat sangat rentan terjebak pada pembicaraan tidak produktif karena sumber pembicaraannya diambil dari data dan fakta yang rendah derajat kebenarannya.

Menghindari pembicaraan kurang produktif, berkaitan dengan memahami ilmu dasar menafsir. Sebagaimana dalam pembelajaran sejarah, menafsir adalah proses pemberian makna pada data atau fakta sejarah. Etika dalam menafsir sekalipun hasilnya bisa baik dan buruk tujuannya tetap harus positif. Kebenaran tafsir salah satunya ditentukan oleh kebenaran data atau fakta yang ditafsir. Jika tafsir dinilai kurang tepat tidak akan bermakna buruk karena kembali kepada data. Tafsir yang baik selain diukur dari kebenaran data atau fakta, juga bias diukur dari tujuan atau niat menafsir. 

Untuk menghindari hal-hal kontroversi dalam penafsiran, dibutuhkan kesepaktan bersama bahwa sebaik-baiknya tafsiran harus membawa kebaikan bagi kehidupan manusia, bagaimanapun kondisi data dan fakta yang kita miliki. Sebagaimana dalam etika agama, sebaik baik tafsir adalah tafsiran baik terhadap segala kejadian. Setiap tafsir tidak memiliki derajat mutlak sebagai kebenaran. Untuk itulah agar terhindar dari tafsir yang salah, setiap tafsir harus bertujuan dan diupayakan bernilai baik. Maka dari itu, tidak pernah ada tafsir yang salah, jika setiap tafsir selalu di jaga untuk kebaikan umat manusia.

Jika manusia adalah makhluk tukang tafsir, maka ilmu menafsir yang paling dasar, yang harus dipahami semua manusia adalah menafsir untuk tujuan baik. Ilmu dasar dalam menafsir adalah PRASANGKA BAIK, sebagai mana dijelaskan, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (Al Hujuraat, 49:12).

Jauhi prasangka karena sebagian prasangka adalah dosa. Jika sebagian prasangka adalah dosa, maka ada sebagian prasangka yang berpahala. Oleh karena itu, “Aku bersama dengan prasangka hamba-Ku kepada-Ku, maka hendaklah ia BERPRASANGKA dengan apa yang DIINGINKAN, bukan yang ia risaukan dan khawatirkan”. (Hadis Qudsi). 

Allah absolut pemilik kebaikan, maka Allah bersama orang-orang yang berprasangka baik. Dari dasar inilah lahir dasar ilmu tafsir yang bisa digunakan semua manusia sebagai makhluk tukang tafsir. Maka untuk menghindari kebinasaan, menciptakan kedamaian, tafsirlah semua kejadian menjadi baik, dengan tujuan baik, dan niat baik. Oleh karena kebaikan milik Allah, tidak ada tafsir manusia yang mutlak baik, kecuali setelah diadili oleh Allah di hari pengadilan. Wallahu “alam.

#Master logika tuhan

Friday, December 21, 2018

BATAS BERPIKIR

OLEH: MUHAMMAD PLATO

Kebebasan adalah kata fantasi dengan abstraksi tinggi, yang sering dikemukakan kepada semua orang tanpa memperhatikan tingkat pendidikan. Padahal kata kebebasan, hanya bisa dipahami oleh mereka yang sudah memiliki kedewasaan dalam berpikir. Kebebasan harus diajarkan kepada anak-anak mengikuti level kemampuan berpikirnya.

Kata kebebasan tidak memiliki arti sebenarnya bebas tanpa batas, kebebasan memiliki arti dalam batasan tanggung jawab seorang individu. Batasan kebebasan Individu memiliki perbedaan, tergantung kepada nilai yang disepakati. Setiap latar belakang suku, bangsa, budaya, agama, memiliki nilai-nilai yang membatasi kebebasan manusia. 

KEBEBASAN BERPIKIR ADALAH MITOS, KARENA MANUSIA TERBATAS
Dewasa ini dominasi nilai-nilai budaya dunia dibatasi oleh budaya rasional, ilmiah, yang bersumber dari pengetahuan alam. Dominasi budaya rasional yang bersumber pada alam disebarkan ke seluruh dunia melalui gelombang teknologi informasi. Kebebasan pemahamannya dimonopoli oleh budaya rasional empiris, dan arti kebebasan adalah kehendak manusia dalam melakukan apa saja di muka bumi ini.

Al-Gazhali menggolongkan manusia menjadi tiga dalam memahami arti nur, yaitu kalangan umum, kalangan khusus, dan kalangan lebih khusus. Nur bagi kalangan awam adalah indera penglihatan, sehingga pengetahuan tidak bisa diketahui oleh orang buta. Namun demikian, tanpa indera penglihatan orang masih bisa mengetahui dengan bantuan akal, sehingga akal lebih pantas untuk disebut nur. Ini adalah definisi nur untuk kalangan khusus. Mata memiliki keterbatasan, tidak bisa melihat dibalik tirai, yang besar terlihat kecil, yang jauh terlihat dekat, yang diam terlihat bergerak, yang bergerak terlihat diam. Oleh karena itu akal lebih layak disebut sebagai nur. Akal tidak memiliki kekurangan seperti mata. Al-Ghazali mengakui bahwa pengakuan akal sebagai sesuatu yang dapat dipercaya dalam mencari kebenaran.

Namun Al-Ghazali mempertanyakan kembali dimana datangnya kepercayaan terhadap akal sebagai sesuatu yang dapat dipercaya. Jika ada dasarnya sesungguhnya itulah yang sesungguhnya yang harus dipercaya, dan Al-Ghazali tidak menemukan dasar itu secara faktual. Ternyata akal bisa keliru. Kekeliruan akal karena ada penutup. Penutup itu adalah khayalan, praduga, dan keyakinan. Manusia sangat sulit keluar dari penutup itu, kecuali setelah mati.

Al-Gazhali tetapi mempercayai akal, akan tetapi kebenaran akal bukan melalui kata-kata dialektis dan logis melainkan melalui nur yang diberikan oleh Allah. Nur itu adalah kunci pengetahuan yang didapat dengan mengosongkan jiwa dari selain Tuhan dan mengisi jiwa dengan ingatan totalitas kepada Allah. Hal inilah yang akan mengantarkan manusia kepada kesadaran totalitas kepada Allah. Pada tahap inilah kemampuan jiwa meningkat kepada menangkap gambar-gambar dan tanda-tanda pemisalan-pemisalan sampai ke tingkat yang sama sekali tidak dapat digambarkan oleh kata-kata.

Mata menurut Al-Gazhali adalah sarana untuk dapat mengetahui sesuatu. Mata terbagi menjadi dua, yaitu mata inderawi dan mata batin. Mata inderawi melihat zahir yang jangkauannya adalah alam fisik, sedangkan mata batin melihat alam metafisik. Kedua alam ini memiliki hubungan erat seperti kulit dan daging. Untuk melihat alam fisik dibutuhkan cahaya, dan untuk memperoleh cahaya yang lebih tajam harus melakukan berbagai macam usaha atau latihan. Al Gazhali menyimpulkan cahaya adalah sumber pengetahuan, dimana pengetahuan diperoleh melalui indera, akal, dan kalbu. (Siraj, 2012, hlm. 26-27).

Penulis menyimpulkan, cahaya yang dimaksud sebagai sumber pengetahuan adalah kitab suci Al-Qur’an. Sebagaimana kita ketahui pengetahuan yang terdapat dalam Al-Qur’an menyangkut alam fisik dan metafisik. Fakta-fakta dalam Al-Qur’an bisa ditangkap oleh mata, akal, dan kalbu. Sampai saat ini, belum ada persamaan persepsi bahwa Al-Qur’an sebagai cahaya, sumber pengetahuan bagi manusia. Al-Qur’an terlalu disakralkan sehingga manusia terjebak oleh penutup yaitu khayalan, praduga dan keyakinan. Inilah pembatas pikiran manusia, sehingga manusia tidak mampu memahami hakikat kebenaran.

Bagi Calne (2004, hlm. 16), menjelaskan bahwa kekuatan nalar betul-betul merupakan kemampuan manusia yang nyata, jelas, dan tidak boleh tidak bekerja dalam setiap hampir bidang kehidupannya, tetapi nalar tidak bisa memberi tujuan-tujuan yang terkait dengannya. Nalar harus dibela sekuat tenaga terhadap serangan-serangan yang makin keras dewasa ini dari pihak tak nalar, dan sikap mengadalkan nalar untuk menentukan motivasi dan tujuan hidup manusia harus dihindari.

Al-Gazhali dan Calne sama-sama mengakui bahwa nalar ada batasnya. Al-Ghazali mengatakan batas nalar, karena danya penutup berupa khayalan, praduga, dan keyakinan. Sedangkan Calne batasan dari nalar adalah ketidak mampuan menemukan motivasi dan tujuan hidup manusia. Sekalipun pemikir ini berlatar belakang berbeda, tetapi jika kita cermati, sama-sama mengakui bahwa akal punya keterbatasan. Maka dari itu, kebebasan berpikir adalah mitos yang menyihir golongan awam, yang membuat mereka bersikap mengandalkan nalar tanpa batasan. WALLAHU 'ALAM

Master @logika_Tuhan

Thursday, December 6, 2018

PENGETAHUAN ADALAH EKSISTENSI


OLEH: MUHAMMAD PLATO

            Kawan-kawan saya coba jelaskan pemikiran Plato, yang dijelaskan oleh Bertrand Russell. Sebenarnya apa yang dikatakan mereka tentang eksistensi Tuhan, dalam bentuk particular. Filsafat Barat kalau kita pahami bersumber pada Tuhan yang absolut, hanya saja mereka jarang menyebutkan kata Tuhan, karena lebih senang bermain dalam tataran partikular (duniawi). Itu opini saya. Coba kita lihat saja penjelasannya di bawah. Insya Allah tidak akan musyrik, justru kita akan belajar untuk lebih mengenal Tuhan.

Plato berpendapat, “Mereka yang bisa melihat yang absolut, abadi, dan tak berubah bisa dikatakan mengetahui”. Orang yang memiliki pengetahuan berarti memiliki pengetahuan tentang sesuatu yang eksis, sebab sesuatu yang tidak eksis berarti tidak ada. Jadi pengetahuan tak mungkin salah, sebab secara logis tidak mungkin keliru. Sedangkan opini bisa keliru. Opini tidak mungkin tentang yang tak eksis, sebab itu mustahil; tidak mungkin pula tentang apa yang eksis, sebab ini adalah pengetahuan. (Russell, 2016, hlm.164).

Mungkin sedikit pusing juga memahami makna filosofis penejelasan di atas. Baik saya akan sedikit memberi pemahaman tentang apa beda pengetahuan dengan opini. Eksistensi alam semesta hakikatnya adalah pengetahuan. Muasal dari semua pengetahuan adalah Tuhan. Pengetahuan bersama pemeliharanya yaitu Tuhan. Manusia bukan pemilik pengetahuan, tetapi dia pencari pengetahuan. Manusia-manusia pencinta pengetahuan pada akhirnya akan bermuara kepada Tuhan.

  Setiap opini manusia adalah pasti didasari pengetahuan, tetapi manusia tidak mungkin memahami pengetahuan itu sendiri. Pengetahuan tidak mungkin keliru, maka yang keliru adalah opini manusia. Pengetahuan dalam opini manusia menjadi objek partikular, karena manusia hidup dalam ruang dan waktu. Sesuatu yang partikular senantiasa mengandung sifat berlawanan.

Analogi lain yang menjelaskan pengetahuan adalah eksitensi, dijelaskan dalam kisah gua dan liang. Mereka yang tidak memiliki pengetahuan diibartakan seorang narapidana (manusia terbatas) berada dalma liang gua. Mereka melihat ke dalam gua, samping kiri kanan dinding gua. Sementara di belakang mereka ada api yang menyala. Mereka hanya bisa melihat bayang bayang dirinya sendiri, serta bayangan benda-benda di belakang mereka, yang dipantulkan pada dinding gua oleh cahaya api.  Mereka menganggap bayang-bayang itu adalah kenyataan, dan dan tak punya pengertian benda-benda yang menjadi sumber bayang-bayang. Pada akhirnya dia akan lolos keluar dari gua menuju dunia terang, dan untuk pertama kalinya dia melihat yang nyata dan sadar bahwa sebelumnya dia tertipu oleh bayang-bayang. Ketika kembali kepada teman-temannya yang masih terjebak dalam gua, kemudian menjelaskan tentang kebenaran, di mata teman-temannya ia akan tampak menjadi lebih bodoh dari sebelum ia bebas. (Russell, 2016, hlm, 170).

Manusia yang hidup di muka bumi, seperti narapidana yang ada dalam gua. Mereka hidup diliang sempit yang gelap gulita. Atas cahaya-Nya mereka bisa melihat benda-benda. Mereka tidak sadar bahwa benda-benda yang dilihat adalah bayang-bayang Nya. Mereka tidak bisa mengenali cahaya dan siapa pemilik bayang-bayang. Mereka akan keluar dari gua ketika mengenali cahaya dan pemilik-Nya. Orang-orang yang sudah mendapat pencerahan (Pemimpin) akan berusaha memperkenalkan siapa pemilik cahaya sebenarnya  kepada mereka yang masih tinggal di dalam gua, tapi yang di dalam gua, mereka kesulitan untuk memahaminya karena pandangan mereka yang kaku. Mereka hanya bisa melihat ke depan akibat rantai yang membelenggunya. Rantai yang membelenggu itu adalah pandangan keduniawian akibat terlalu lama dirantai dalam gua.

Inti dari pemikiran Plato adalah manusia harus cinta pengetahuan. Artinya, Tuhan yang absolut bisa eksis dalam jiwa manusia yang berpengetahuan. Plato ingin menyampaikan kepada manusia bahwa mengetahui yang absolut adalah visi tertinggi bagi perjalanan hidup manusia. Tuhan sebagai pemilik pengetahuan absolut bisa ditemukan oleh manusia yang bisa keluar dari liang gua, dan menyadarinya bahwa manusia tidak bisa menemukan kebenaran tanpa bantuan dari Sang Pemilik Pengetahuan. Untuk itulah, Tuhan menurunkan manusia yang telah memiliki pencerahan, berjiwa pemimpin, untuk membimbing manusia ke pada cahaya Tuhan.

Sayang manusia-manusia sudah banyak terjebak di lubang gua dan lehernya sudah terbelenggu oleh rantai sehingga pandangannya tidak fleksibel dan hanya melihat satu arah ke arah bayang-bayang mereka sendiri dan benda-benda yang ada di belakangnya. Para pemimpin (yaitu Nabi), yang membawa pengetahuan (pencerahan) dari Tuhan, dianggap orang-orang bodoh dan lebih bodoh dari mereka. Maka dari itu pesan dari Tuhan, Para Nabi, dan Plato, manusia harus bisa melihat yang absolut dan abadi dengan terus menggali pengetahuan. Wallahu’alam.  
(Penulis Master Trainer @logika_Tuhan)