Saturday, December 22, 2018

ILMU NAFSIR

OLEH: MUHAMMAD PLATO

Salah satu bukti manusia berpikir adalah setiap hari manusia menafsir, setiap apa yang diindera. Ketika panca indera berfungsi, maka pengetahuan akan masuk ke memori dan diolah oleh otak untuk kemudian menghasilkan pengetahuan baru sebagai hasil sintesa. Proses sintesa pengetahuan adalah kegiatan otak berpikir, mengolah pengetahuan yang masuk ke memori.

Praktek pengolahan pengetahuan dalam otak, dilakukan oleh setiap orang. Praktek pengolahan pengetahuan (berpikir) ini ada yang disadari ada yang tidak. Hasil dari proses berpikir yang bisa diamati dari luar adalah penafsiran yang dikemukakan dalam bentuk lisan atau tulisan. Jika demikian, pembicaraan yang kita utarakan, setiap kali bicara adalah hasil berpikir berupa penafsiran. Tafsiran dalam bentuk obrolan sehari-hari adalah hasil pemikiran reflek yang tidak dalam kontrol kesadaran. Bisa ditarik kesimpulan bahwa obrolan sehari-hari manusia adalah tafsir tingkat rendah yang tidak mengeluarkan seluruh energi kesadaran sebagai bukti nyata manusia berpikir. 

Manusia adalah Makhluk Penafsir. Ilmu Dasar Manafsir adalah Berprasangka Baik.

Tafsir tingkat tinggi adalah hasil pemikiran yang direncanakan untuk mendapat pengetahuan bermanfaat bagi kehidupan. Pembicaraan berkualitas di bawah kontrol kesadaran dilandasi oleh ilmu pengetahuan didukung oleh data dan fakta yang benar. Plato menegaskan bahwa hasil pengamatan inderawi tidak dapat memberikan pengetahuan yang kokoh karena sifatnya berubah-ubah. Sesuatu yang berubah-ubah tidak dapat dipercaya kebenarannya. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan yang memberikan kebenaran kokoh, ia mesti bersumber pada hasil pengamatan yang tepat dan tidak berubah-ubah. Hasil pengamatan yang tidak berubah-ubah, hanya bisa datang dari alam yang tetap dan kekal. Alam inilah yang disebut oleh Aristoteles sebagai “alam ide” suatu alam di mana manusia sebelum lahir telah mendapatkan ide bawaan. Bagi Plato alam ide inilah alam realitas, sedangkan alam inderawi bukanlah alam sesungguhnya. (Siraj, 2012, hlm. 24).

Namun demikian tidak semua orang bisa jadi peneliti dan senang meneliti. Sebagaimana statistik masyarakat kita menunjukkan tidak suka membaca, dan minat terhadap ilmu pengetahuan rendah. Budaya ngobrol yang lebih diminati, masyarakat sangat rentan terjebak pada pembicaraan tidak produktif karena sumber pembicaraannya diambil dari data dan fakta yang rendah derajat kebenarannya.

Menghindari pembicaraan kurang produktif, berkaitan dengan memahami ilmu dasar menafsir. Sebagaimana dalam pembelajaran sejarah, menafsir adalah proses pemberian makna pada data atau fakta sejarah. Etika dalam menafsir sekalipun hasilnya bisa baik dan buruk tujuannya tetap harus positif. Kebenaran tafsir salah satunya ditentukan oleh kebenaran data atau fakta yang ditafsir. Jika tafsir dinilai kurang tepat tidak akan bermakna buruk karena kembali kepada data. Tafsir yang baik selain diukur dari kebenaran data atau fakta, juga bias diukur dari tujuan atau niat menafsir. 

Untuk menghindari hal-hal kontroversi dalam penafsiran, dibutuhkan kesepaktan bersama bahwa sebaik-baiknya tafsiran harus membawa kebaikan bagi kehidupan manusia, bagaimanapun kondisi data dan fakta yang kita miliki. Sebagaimana dalam etika agama, sebaik baik tafsir adalah tafsiran baik terhadap segala kejadian. Setiap tafsir tidak memiliki derajat mutlak sebagai kebenaran. Untuk itulah agar terhindar dari tafsir yang salah, setiap tafsir harus bertujuan dan diupayakan bernilai baik. Maka dari itu, tidak pernah ada tafsir yang salah, jika setiap tafsir selalu di jaga untuk kebaikan umat manusia.

Jika manusia adalah makhluk tukang tafsir, maka ilmu menafsir yang paling dasar, yang harus dipahami semua manusia adalah menafsir untuk tujuan baik. Ilmu dasar dalam menafsir adalah PRASANGKA BAIK, sebagai mana dijelaskan, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (Al Hujuraat, 49:12).

Jauhi prasangka karena sebagian prasangka adalah dosa. Jika sebagian prasangka adalah dosa, maka ada sebagian prasangka yang berpahala. Oleh karena itu, “Aku bersama dengan prasangka hamba-Ku kepada-Ku, maka hendaklah ia BERPRASANGKA dengan apa yang DIINGINKAN, bukan yang ia risaukan dan khawatirkan”. (Hadis Qudsi). 

Allah absolut pemilik kebaikan, maka Allah bersama orang-orang yang berprasangka baik. Dari dasar inilah lahir dasar ilmu tafsir yang bisa digunakan semua manusia sebagai makhluk tukang tafsir. Maka untuk menghindari kebinasaan, menciptakan kedamaian, tafsirlah semua kejadian menjadi baik, dengan tujuan baik, dan niat baik. Oleh karena kebaikan milik Allah, tidak ada tafsir manusia yang mutlak baik, kecuali setelah diadili oleh Allah di hari pengadilan. Wallahu “alam.

#Master logika tuhan

No comments:

Post a Comment