Friday, December 21, 2018

BATAS BERPIKIR

OLEH: MUHAMMAD PLATO

Kebebasan adalah kata fantasi dengan abstraksi tinggi, yang sering dikemukakan kepada semua orang tanpa memperhatikan tingkat pendidikan. Padahal kata kebebasan, hanya bisa dipahami oleh mereka yang sudah memiliki kedewasaan dalam berpikir. Kebebasan harus diajarkan kepada anak-anak mengikuti level kemampuan berpikirnya.

Kata kebebasan tidak memiliki arti sebenarnya bebas tanpa batas, kebebasan memiliki arti dalam batasan tanggung jawab seorang individu. Batasan kebebasan Individu memiliki perbedaan, tergantung kepada nilai yang disepakati. Setiap latar belakang suku, bangsa, budaya, agama, memiliki nilai-nilai yang membatasi kebebasan manusia. 

KEBEBASAN BERPIKIR ADALAH MITOS, KARENA MANUSIA TERBATAS
Dewasa ini dominasi nilai-nilai budaya dunia dibatasi oleh budaya rasional, ilmiah, yang bersumber dari pengetahuan alam. Dominasi budaya rasional yang bersumber pada alam disebarkan ke seluruh dunia melalui gelombang teknologi informasi. Kebebasan pemahamannya dimonopoli oleh budaya rasional empiris, dan arti kebebasan adalah kehendak manusia dalam melakukan apa saja di muka bumi ini.

Al-Gazhali menggolongkan manusia menjadi tiga dalam memahami arti nur, yaitu kalangan umum, kalangan khusus, dan kalangan lebih khusus. Nur bagi kalangan awam adalah indera penglihatan, sehingga pengetahuan tidak bisa diketahui oleh orang buta. Namun demikian, tanpa indera penglihatan orang masih bisa mengetahui dengan bantuan akal, sehingga akal lebih pantas untuk disebut nur. Ini adalah definisi nur untuk kalangan khusus. Mata memiliki keterbatasan, tidak bisa melihat dibalik tirai, yang besar terlihat kecil, yang jauh terlihat dekat, yang diam terlihat bergerak, yang bergerak terlihat diam. Oleh karena itu akal lebih layak disebut sebagai nur. Akal tidak memiliki kekurangan seperti mata. Al-Ghazali mengakui bahwa pengakuan akal sebagai sesuatu yang dapat dipercaya dalam mencari kebenaran.

Namun Al-Ghazali mempertanyakan kembali dimana datangnya kepercayaan terhadap akal sebagai sesuatu yang dapat dipercaya. Jika ada dasarnya sesungguhnya itulah yang sesungguhnya yang harus dipercaya, dan Al-Ghazali tidak menemukan dasar itu secara faktual. Ternyata akal bisa keliru. Kekeliruan akal karena ada penutup. Penutup itu adalah khayalan, praduga, dan keyakinan. Manusia sangat sulit keluar dari penutup itu, kecuali setelah mati.

Al-Gazhali tetapi mempercayai akal, akan tetapi kebenaran akal bukan melalui kata-kata dialektis dan logis melainkan melalui nur yang diberikan oleh Allah. Nur itu adalah kunci pengetahuan yang didapat dengan mengosongkan jiwa dari selain Tuhan dan mengisi jiwa dengan ingatan totalitas kepada Allah. Hal inilah yang akan mengantarkan manusia kepada kesadaran totalitas kepada Allah. Pada tahap inilah kemampuan jiwa meningkat kepada menangkap gambar-gambar dan tanda-tanda pemisalan-pemisalan sampai ke tingkat yang sama sekali tidak dapat digambarkan oleh kata-kata.

Mata menurut Al-Gazhali adalah sarana untuk dapat mengetahui sesuatu. Mata terbagi menjadi dua, yaitu mata inderawi dan mata batin. Mata inderawi melihat zahir yang jangkauannya adalah alam fisik, sedangkan mata batin melihat alam metafisik. Kedua alam ini memiliki hubungan erat seperti kulit dan daging. Untuk melihat alam fisik dibutuhkan cahaya, dan untuk memperoleh cahaya yang lebih tajam harus melakukan berbagai macam usaha atau latihan. Al Gazhali menyimpulkan cahaya adalah sumber pengetahuan, dimana pengetahuan diperoleh melalui indera, akal, dan kalbu. (Siraj, 2012, hlm. 26-27).

Penulis menyimpulkan, cahaya yang dimaksud sebagai sumber pengetahuan adalah kitab suci Al-Qur’an. Sebagaimana kita ketahui pengetahuan yang terdapat dalam Al-Qur’an menyangkut alam fisik dan metafisik. Fakta-fakta dalam Al-Qur’an bisa ditangkap oleh mata, akal, dan kalbu. Sampai saat ini, belum ada persamaan persepsi bahwa Al-Qur’an sebagai cahaya, sumber pengetahuan bagi manusia. Al-Qur’an terlalu disakralkan sehingga manusia terjebak oleh penutup yaitu khayalan, praduga dan keyakinan. Inilah pembatas pikiran manusia, sehingga manusia tidak mampu memahami hakikat kebenaran.

Bagi Calne (2004, hlm. 16), menjelaskan bahwa kekuatan nalar betul-betul merupakan kemampuan manusia yang nyata, jelas, dan tidak boleh tidak bekerja dalam setiap hampir bidang kehidupannya, tetapi nalar tidak bisa memberi tujuan-tujuan yang terkait dengannya. Nalar harus dibela sekuat tenaga terhadap serangan-serangan yang makin keras dewasa ini dari pihak tak nalar, dan sikap mengadalkan nalar untuk menentukan motivasi dan tujuan hidup manusia harus dihindari.

Al-Gazhali dan Calne sama-sama mengakui bahwa nalar ada batasnya. Al-Ghazali mengatakan batas nalar, karena danya penutup berupa khayalan, praduga, dan keyakinan. Sedangkan Calne batasan dari nalar adalah ketidak mampuan menemukan motivasi dan tujuan hidup manusia. Sekalipun pemikir ini berlatar belakang berbeda, tetapi jika kita cermati, sama-sama mengakui bahwa akal punya keterbatasan. Maka dari itu, kebebasan berpikir adalah mitos yang menyihir golongan awam, yang membuat mereka bersikap mengandalkan nalar tanpa batasan. WALLAHU 'ALAM

Master @logika_Tuhan

No comments:

Post a Comment