OLEH: MUHAMMAD PLATO
Agama tidak lepas dari cara manusia mempersepsinya. Salah satu persepsi terhadap agama selalu dilihat dari penampilan penganutnya. Penganut agama Islam sering dipersepsi sebagai agama orang miskin. Persepsi ini dibangun karena sebagian besar penganut agama Islam ada di negara-negara miskin. Padahal semua penganut agama dari kelas ekonomi miskin sampai dengan kelas ekonomi kaya, mereka akan menampilkan dirinya sebagaimana mereka berada di kelasnya. Manusia kodratnya sangat terikat dengan geografi dan budaya dimana mereka tinggal. Ajaran agama digunakan sebagai cara manusia bertahan hidup berdasarkan kondisi geografi, sosial, dan budaya di mana mereka berada.
Masyarakat Afrika dengan kondisi geografi di tanah gurun, dengan kondisi ekonomi terbatas, mereka akan tampil sesuai dengan kondisi realitas mereka. Orang Afganistan yang tinggal di tengah gurun, mereka tampil dengan kesederhanaan infrastruktur dan kesederhanaan gaya hidup. Apapun agama yang dianut sebuah masyarakat akan tampil dipengaruhi oleh kondisi geografi, sosial, dan ekonomi mereka.
Sebaliknya masyarakat yang menganut agama Islam di Selandia Baru, Australia, Jerman, Amerika Serikat, dan negara-negara maju lainnya, mereka akan tampil dengan pola hidup tertib, teratur, bersih, dan disiplin sesuai dengan geografi, sosial, dan budaya dimana mereka tinggal. Agama menjadi pedoman bagaimana mereka harus tinggal dengan kondisi geografi, sosial, dan budaya di mana mereka berada.
Dengan kemajuan teknologi informasi, pengetahuan tentang kondisi geografi, ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat bisa kita saksikan dengan latar belakang agama berbeda-beda. Semua penganut agama mereka tampil sesuai dengan kondisi mereka masing-masing. Jadi cap penganut agama Islam cenderung miskin hanya sebatas persepsi manusia terhadap sekelompok penganut agama yang mereka saksikan secara kasat mata berada di daerah-daerah miskin.
Persepsi agama Islam sebagai agama orang miskin adalah murni persepsi berdasar pandangan manusia berdasarkan fakta empiris. Hal ini disebabkan penganut agama Islam berada di daerah-daerah yang tergolong kondisi geografi, sosial, ekonomi dan budayanya miskin secara materi. Persepsi ini secara tidak sadar telah membentuk pola pikir mayoritas penganut agama Islam, persepsinya dibentuk dari sudut pandang orang-orang kalangan ekonomi lemah. Agama dipersepsi dari kalangan ekonomi lemah, lebih cenderung pada ilmu kebatinan, karena agama dijadikan alat untuk mempertahankan hidup dalam keterbatasan dan penderitaan hidup yang dialaminya.
Sebaliknya jika agama Islam dipandang dari sudut orang-orang dengan kecukupan fasilitas hidup, mereka akan memandang agama sebagai cara mereka hidup bermanfaat bagi orang lain, disiplin, teratur, berpendidikan, dan berperadaban tinggi. Jadi, keberadaan agama bukan penghambat kemajuan, tapi agama sebagai alat bagi seseorang untuk survive dan beradaftasi dengan situasi dan kondisi di mana mereka tinggal.
Persepsi seseorang sangat dipengaruhi oleh budaya dimana mereka tinggal. Penganut agama Islam di Arab, India, China, Israel, Indonesia, Singapura, Autralia, Amerika Serikat, Jepang, sescara sosiologis akan menampilkan budaya yang berbeda-beda. Orang Islam di Indonesia yang ada di ekonomi kelas atas, akan tampil dengan kelas ekonomi mereka sekalipun budaya-budayanya masih dipengaruhi oleh kebanyakan budaya masyarakat Indonesia yang dari kalangan ekonomi lemah.
Sebaliknya, penganut agama Islam di Jepang, Selandia Baru, Amerika Serikat, mereka tampil menjadi orang-orang intelek dengan disiplin tinggi karena pengaruh dari geografi dan dimana mereka tinggal. Muslim di Jepang mereka hidup dengan jujur, tertib, teratur, dan bersih. Muslim Jepang tampil sebagaimana budaya-budaya orang Jepang yang jujur, disiplin, dan dengan kualitas intelektual tinggi.
Namun jika kita kaji ajaran agama Islam dari sumber teks tertulis dari Al Quran sesungguhnya ajaran agama Islam sangat berkualitas tinggi. Karakter orang Islam sebagaimana digambarkan di dalam Al Quran adalah manusia-manusia berintelektual tinggi dan pembawa berkah bagi kehidupan dunia. Pemikiran-pemikiran yang dihasilkan oleh orang Islam jika berpedoman pada Al Quran, mereka dapat digolongkan manusia-manusia berkualitas tinggi, tanpa melihat geografi, sosial, ekonomi, dan budaya dimana mereka tinggal.
Pandangan-pandangan orang Islam yang berpedoman pada Al Quran selalu mengandung kebenaran, meyakinkan, dan argumentatif. Pemaksaan, penjajahan, tidak dibenarkan di dalam ajaran Islam. Penganut agama Islam dituntut untuk memberi penjelasan, pengajaran, dengan pendekatan-pendekatan argumentatif bersumber pada Al Quran.
"Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Jika mereka berpaling, maka katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki Arasy yang agung" (At Taubah, 9:128-129).
Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas. (Al Baqarah:212).
Orang-orang kafir adalah mereka yang menganggap ayat-ayat Al Quran sebagai cerita nenek moyang belaka. Sudah jelas bahwa pandangan-pandangan yang merendahkan agama Islam sebagai agama orang miskin, adalah pandangan dari kelas bawah yang menghina, tidak objektif, dan bersifat material. Wallaahu'alam.***