OLEH: MUHAMMAD PLATO
Sejarah
itu pasti dongeng, namun dongeng belum tentu sejarah. Sejarah itu bersumber
pada fakta, dan diceritakan dalam bentuk dongeng. Inilah dongeng fakta penderitaan
Nabi Muhammad saw semasa Beliau sebelum dan sesudah menjadi Nabi. Saya susun
dari sudut pandang sejarah.
Tujuan
tulisan ini adalah memberikan hiburan kepada orang-orang yang dilanda sedih
karena penderitaan yang dihadapinya. Bandingkanlah penderitaan mu dengan
penderitaan Nabi Muhammad saw. Semasa hidupnya Nabi Muhammad ternyata sama seperti
kita sebagai manusia biasa, merasa sedih dan gembira.
Biasanya
jika manusia dilanda derita, dia selalu melihat derita orang lain. Ketika
deritanya sama dengan derita orang lain, agak sedikit terobati deritanya karena
yang lain pun sama menderita. Itulah sifat manusia, apa yang dirasakannya harus
dirasakan orang lain. Derita batin Nabi Muhammad bisa jadi penghibur hati
manusia, karena sepangkat Nabi pun tidak lepas dari derita apa lagi kita.
Sebelum
menerima wahyu, pada usia 25 tahun Nabi Muhammad menikah dengan seorang janda
kaya raya dan terhormat, berusia 40 tahun. Dua puluh ekor unta betina menjadi
mas kawin. Dari pernikahannya dengan khadijah Nabi dikaruniai dua putra dan
empat putri.
DERITA BATIN KEMATIAN ANAK
“Putra
pertama adalah Al-Qasim. Kemudian lahir berturut turut Zainab, Ruqayyah, Ummu
Kaltsum, Fathimah, dan Abdullah yang diberi julukan at Thayyib dan at-Thahir.
Al-Qasim wafat dalam usia satu tahun, sudah bisa didudukkan di atas punggung
unta, dan sudah bisa bertatih-tatih. Sedangkan Abdullah wafat dalam keadaan
masih bayi. Semua putri beliau wafat semasa beliau masih hidup, kecuali Fatimah
ia wafat menyusul ayahandanya enam bulan kemudian.” (al-Ghazali, 2005:80-81).
“kehidupan
rumah tangga Nabi tidak ada yang meresahkan hati Siti Khadijah selain kematian
putra-putranya, apalagi mengingat kedudukan anak laki-laki dikalangan suatu
bangsa yang punya tradisi menanam hidup-hidup anak perempuan, dan para ayah
bermuka kecut bila mendengar anaknya yang baru lahir itu perempuan.
(al-Ghazali, 2005:81).
“Setelah
Nabi Muhammad diangkat Allah swt jadi nabi dan rasul, kaum Quraisy mengejek
Nabi karena putra-putra beliau semuanya meninggal dunia. Secara terang-terangan
mereka menyatakan, bagaimanapun juga Muhammad tidak mempunyai keturunan, dan
namanya pun tidak akan disebut orang lagi setelah wafat.” (al-Ghazali,
2005:81).
Kematian
anak-anak laki-laki Nabi Muhammad di usia anak-anak, jelas sangat membebani.
Rasa cinta kasih seorang ayah kepada anak, stigma rendah terhadap keluarga yang
tidak punya keturunan laki-laki, jelas bukan perkara mudah dalam menghadapinya.
Setelah menjadi Nabi pun, ejekan seorang ayah yang tidak punya keturunan anak
laki-laki pun masih menjadi objek ejekkan menyakitkan bagi orang-orang Arab
pada masa itu.
Kesedihan
Muhammad dan Khadijah dijelaskan dalam cerita-cerita sejarah hidup Nabi Muhammad.
Muhammad Husain Haekal (2003:72) menuturkan, al-Qasim dan Abdullah tidak banyak
diketahui, kecuali disebutkan mereka meninggal waktu kecil zaman jahiliyah dan
tak ada meninggalkan sesuatu yang patut dicatat. Tetapi yang pasti kematian itu meninggalkan
bekas yang dalam pada orang tua mereka. Demikian juga pada diri Khadijah terasa
sangat menyedihkan hatinya. Kematian dua anak laki-lakinya membuat khadijah
merasa sangat sedih karena ditimpa sedih berulang-ulang. Rasa sedih itu
dirsakan pula oleh suaminya (Muhammad). Rasa sedih ini selalu melecut hatinya,
yang hidup terbayang pada istrinya, terlihat setiap ia pulang ke rumah
duduk-duduk disampingnya.
Tidak
begitu sulit bagi kita menduga betapa mendalamnya rasa sedih yang diderita oleh
Muhammad dan istrinya Khadijah. Ditengah-tengah masyarakat yang sangat
mengagung-agungkan anak laki-laki, dan mengubur hidup-hidup anak perempuan,
mereka mendapati kedua anak laki-lakinya meninggal dalam usia anak-anak. Untuk mengobati rasa sedihnya Muhammad
membeli Zaid dan memerdekakannya hingga zaid dikenal sebagai Zaid bin Muhammad.
Sudah tentu malapetaka yang menimpa Muhammad dengan kematian kedua anaknya
berpengaruh juga dalam kehidupan dan pemikirannya. Sudah tentu pula pikiran dan
perhatiannya tertuju pada kemalangan yang datang satu demi satu menimpa.
Ibrahim pun putri Nabi bukan dari khadijah meninggal, setelah Islam
mengharamkan menguburkan anak-anak perempuan hidup-hidup, dan sesudah
menentukan bahwa surga berada di bawah telapak kaki ibu.
Muhammad
Sameh Said (2016:49), menggambarkan kesedihan mendalam Nabi Muhammad saat
meninggal dua anak laki-lakinya. “anak laki-laki beliau meninggal ketika masih
kecil. Tentunya kejadian ini meninggalkan kesedihan di hati Muhammad dan
Khadijah, sampai beliau mengangkat seorang anak laki-laki bernama Zaid bin
Muhammad.”
Seberapa
berat derita batin anda? bersyukurlah karena masih ada sahabat kita yang
sama-sama menderita dengan luka batin menganga, bahkan sahabat kita lebih
menderita. Sahabat kita adalah kekasih Allah yaitu Nabi Muhammad saw.
Sebagaimana Nabi adalah manusia biasa, maka bergembiralah karena derita batin anda sama
dengan luka batin kekasih Allah. Kini anda bisa merasakan bagaimana beratnya
penderitaan batin Nabi Muhammad saw dalam memperjuangkan kebenaran untuk umat
manusia. Keselamatn dan kesejahteraan untuk Anda! Wallahu ‘alam.
(Penulis Master Trainer Logika Tuhan)