Monday, May 20, 2019

BUKAN SOAL MENANG KALAH


OLEH: MUHAMMAD PLATO

Aku sedikit tertawa melihat dunia. Setelah kehilangan anak ku karena terlalu gila kemenangan. Akhirnya aku sadar di dunia ini bukan soal menang atau kalah. Tapi jujur atau dusta? Menang dengan jujur tidak terlalu gembira karena masih ada tugas yang lebih berat. Menang karena dusta apalagi, setelah menang akan ada ajab.

Ketika aku bernafsu menang, jujur aku terlalu condong melihat dunia. Sehingga lupa berpikir bahwa selama-lamanya di dunia usia manusia sekarang hanya mencapai 125 tahun. Itupun sangat-sangat jarang, karena harus tinggal di puncak gunung, makanan makanan organik dan harus menghirup oksigen murni setiap hari.

Dan itu pun kondisi tubuh tidak akan segagah ketika aku usia 20 sampai 40 tahun. Saat Aku menginjak usia 40 tahun ke atas, kualitas tubuh ku mulai rentan sehingga harus mulai mengurangi takaran nasi dan memperbanyak sayuran dan buah.  Plus istirahat cukup dan jangan marah serta khawatir dengan dunia.

"Hidup ini bukan soal menang dan kalah, tapi jujur dan dusta". (Muhammad Plato)
Aku sedikit tertawa dan bangga melihat orang-orang usia di atas 40 masih semangat dan bahagia mendapat kemenangan. Namun harus ingat permainan belum usai. Peluit panjang belum dibunyikan.

Setelah menjaga keseimbangan dunia dan akhirat,  hatiku terasa tenang. Keseimbangan dunia dan akhirat bukan 50:50, melainkan 30:70. Arti dari 30:70 adalah bekerja sesuai jam kerja, jangan bolos, jangan banyak izin, gunakan waktu liburan untuk libur, dan banyak-banyak berdoa.

Berusaha jujur, tidak dusta, hati benar-benar berasa tenang. Kalau ditakdirkan mati masih ada harapan jadi pemenang karena niat jujur dan tidak dusta. Jikalau ketemu ujian berat, ikuti saja karena yakin apa yang diujikan Tuhan materinya pernah diajarkan. Tidak mungkin 
Tuhan menguji sedangkan materinya belum pernah diajarkan. Tuhan pasti professional.

Jikalau tidak sanggup hadapi ujian Tuhan, jangan takut! Resiko tertinggi hidup adalah mati. Kematian bukan hal buruk kalau kita berusaha menjawab soal ujian dari Tuhan dengan jujur dan tidak menjawab dengan dusta. Jika kita terpaksa dusta, minimal niatnya masih ingin jujur. Lumayan masih ada harapan jadi pemenang di akhirat.

Hidup ini bukan soal menang dan kalah, tapi jujur dan dusta. Menurut penglihatan, orang jujur bisa kalah sebaliknya, yang dusta menang. Tapi coba pikir apakah kita bisa bersembunyi dari penglihatan Tuhan. Jika kalah marah-marah sambil sebar fitnah, jika dusta pura-pura jujur supaya menang. Marah-marah, pura-pura jujur, sama-sama tidak disenangi Tuhan.

Sikap terbaik menyikapi segala kejadian adalah merasa bagian dari kesalahan dan berusaha menjaga hidup damai. Anak-anak Syiria dan Palestina, tidak pernah bosan mengingatkan kita hidup damai itu sejahtera.  Atouna…  toufouli… Atouna… Atouna… Atouna… salam…”

“Jika realitas adalah apa yang kamu pikirkan”, Imanuel Kant ingin mengatakan bahwa kehidupan yang nyata itu akhirat yang ada dalam imajinasi. Dunia, “laksana fatamorgana di tanah datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya dia tidak mendapati sesuatu apapun”. (An Nuur, 24:39). Itulah kemenangan dan kekalahan di dunia. Wallahu ‘alam.

(Penulis Head Master Trainer)   

Sunday, May 19, 2019

MEMBELA ALLAH

OLEH: MUHAMMAD PLATO

Dalam situasi politik terbelah dua saat ini dibutuhkan masyarakat cerdas. Apapun masalah yang menimpa elit politik saat ini, korban terbanyaknya pasti ada di masyarakat. Kecerdasan masyarakat harus dimulai, dari meluruskan tauhid dalam berpolitik dengan berniat membela Allah, bukan membela manusia, kepentingan, kekuasaan, keturunan, kelompok, suku, atau bangsa.

Allah memberi peluang kepada siapa saja untuk menegakkan kebenaran dengan tidak melampaui batas, yaitu dengan tidak mencampur adukkan kebenaran dengan fitnah. Kecurangan-kecurangan boleh diungkap berdasarkan fakta yang benar-benar terjadi dan bisa dipertanggung jawabkan dihadapan Tuhan.  

Jika masyarakat membela Allah, semua harus sepakat segala kecurangan harus diselesaikan melalui musyawarah, diperadilan resmi pemerintah. Hal ini sebagaimana Allah perintahkan, “bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (Ali Imran, 3:159).

"SEMUA MANUSIA BERPRILAKU CURANG DIHADAPAN ALLAH" (MUHAMMAD PLATO)

Jika masyarakat benar-benar membela Allah, akan menerima hasil keputusan musyawarah dengan bertawakal kepada Allah. Kepentingan kita sebagai anggota masyarakat bukan saya menang dia kalah, tetapi ingin hidup damai seperti ratapan anak-anak di Syiria dan Palestina yang hampir tidak didengar dunia. “apabila kamu telah membulatkan tekad (ada keputusan), maka bertawakallah kepada Allah.” (Ali Imran, 3:159).

Jika masyarakat benar-benar membela Allah, akan cenderung menciptakan situasi damai daripada konflik. Hanya orang-orang berjiwa damai yang akan jadi hamba-hamba Allah dan diperkenankan masuk surga. “jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya.” (Al Anfaal, 8:61).

Jika masyarakat benar-benar membela Allah, kita sebagai masyarakat sesungguhnya tidak memiliki pengetahuan cukup tentang siapa yang benar dan salah. Jangan terjebak membela ego, kepentingan, kekuasaan, atau golongan. Tidak ada yang luput dari kecurangan dihadapan Allah. Semua manusia, berpangkat, berilmu, berketurunan, atau rakyat biasa, semua pelaku curang dihadapan Allah. “Semua anak Adam pembuat kesalahan, dan sebaik-baik pembuat kesalahan ialah mereka yang bertaubat”. (HR. Addarami)

Jika masyarakat benar-benar membela Allah, akan berpikir tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan damai. Hati manusia pembela Allah tidak takut dengan kecurangan-kecurangan yang dilakukan manusia, karena setiap pelaku kecurangan pasti menerima hukuman setimpal dari Allah. Cukup Allah yang akan menghakimi setiap kecurangan manusia, bukan kita. “Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya,” (An Nuur, 24:25).

Jika masyarakat benar-benar membela Allah, tidak membabi buta membela yang kamu anggap benar. “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al Baqarah, 2:216). Allahu Akbar! Fokus pada Allah, abaikan tuhan selain Allah. Wallahu ‘alam.

(Penulis Head Master Trainer)

Saturday, May 18, 2019

LOGIKA TUHAN DAN AL-GHAZALI

OLEH: MUHAMMAD PLATO

Jika Al-Ghazali sering digunakan oleh orang-orang untuk menyerang logika (akal), mari kita buktikan apakah Al-Ghazali begitu membenci logika? Dalam bukunya, “Kimiya As-Sa’adah” (Kimia Kebahagiaan), Al-Ghazali berbicara tentang siapa manusia?

Ketahuilah bahwa kunci mengenal Allah adalah mengenal diri sendiri sebagaimana firman Allah: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah benar”. (QS. Fushilat:53). Nabi Muhammad SAW, bersabda: “Barangsiapa mengenal diri sendiri makai a sungguh telah mengenal Tuhannya”.  Ruh adalah diri kita.

Ruh adalah esensi yang harus kita kenal agar kita bisa mengenal siapa diri kita. “dan mereka bertanya kepada mu tentang roh. Katakanlah: Roh itu termasuk urusan Tuhanku,” (QS. Al-Isra’:85). Karena ruh adalah urusan Allah, maka mari kita lihat apa saja urusan Allah? “Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah,” (QS. Al-A’raf: 54).

Jika diri kita adalah Ruh, dan ruh adalah urusan Allah, kita bisa memahami bahwa urusan Allah adalah menciptakan dan memerintah. Ruh juga ada kaitan dengan tentara Allah, “dan tidak ada yang mengetahui tantara Tuhan mu melainkan Dia sendiri.” (QS. Al-Muddatstsir, 31).

Menurut al-Ghazali ruh adalah hati yaitu sebuah wadah yang berasal dari substansi malaikat. Di dalam diri manusia ada dua pasukan: pertama pasukkan lahir berupa syahwat (nafsu, emosi) dan ghadhab (amarah, ambisi). Tempat pasukan itu adalah tangan, kaki, mata, telinga, dan anggota tubuh lainnya. Kedua, pasukan batin. Mereka bertempat di otak yang memiliki kemampuan imajinasi, merenung, menghafal, mengingat, dan menduga. Kedua pasukan tersebut di bawah kekuasaan hati. Semua anggota tubuh patuh kepada hati, sebagaimana malaikat patuh kepada Tuhannya.  (al-Ghazali, 2004, hlm. 24).

Jiwa (Nafs) ibarat sebuah kota, tangan dan kaki adalah rakyat, nafsu sebagai penguasa, amarah sebagai polisi, hati sebagai raja, sementara akal sebagai menterinya. Hati sebagai raja akan mengedalikan pemerintahan hingga kerajaan dan wilayah sekitarnya menjadi aman. Sang raja butuh bertukar pendapat dengan para menteri  dan menjadikan penguasa lokal (nafsu) berada di bawah kewenangan menteri. Seandainya akal (menteri) berada di bawah kekuasaan nafsu (polisi) niscaya jiwa akan binasa dan hati akan merugi dikehidupan akhirat. (al-Gazhali, 2004, hlm. 27-28).

Hati adalah pengontrol akal, akal pengontrol indera, indera pengontrol jiwa. Sebaliknya jiwa pelayan indera, indera pelayan akal, akal pelayan hati. Al-Ghazali tidak menafikan akal (logika) dalam mengelola jiwa. Menurut al-Ghazali sekalipun akal tunduk kepada hati, dalam posisinya sebagai raja, hati perlu sering bertukar pendapat dengan akal, dan raja memberikan wewenang kepada akal untuk mengendalikan indera.

Al-Ghazali melarang berlogika murni mengandalkan indera, sementara hati memiliki kehendak dan punya logika. Laranga berlogiak dari Al-Ghazali tidak mematikan logika tetapi lebih membela logika hati sebagai bentuk ketundukkan akal kepada hati sebagai raja. Pernyataan al-Gazhali yang melarang berlogika indera, dalam rangka menjaga kedudukan hati sebagai raja. Akal diberi wewenang untuk mengontrol indera sebagai perintah hati, sementara indera melayani akal yang bekerja di bawah kendali hati.

Hati sebagai substansi malaikat mewakili malaikat Jibril sebagai penyampai wahyu. Hati adalah segala ketetapan yang terdapat dalam wahyu kitab suci Al-Qur’an. Memahami logika hati sama dengan memahami seluk beluk karakteristik Al-Qur’an dengan menggunakan akal (logika).

Akal bekerja dengan ketentuan berfikir sebab akibat. Pola pikir sebab akibat kemudian dikenal dengan ilmu logika. Sejak saat itu logika memahami hati (Al-Qur’an) dan logika memahami alam menjadi dua hal berbeda kadang bersebarangan kadang saling menguatkan. Al-Ghazali ingin menjaga keteraturan sebagaimana struktur ruh dalam jiwa bahwa hati adalah raja, maka tidak mungkin raja tunduk kepada logika indera, sudah seharusnya indera tunduk kepada logika hati dan indera harus melayaninya.

Logika Tuhan adalah logika yang digali dari Al-Qur’an sebagai sumber logika hati. Bertujuan seperti Al-Ghazali menjadikan hati sebagai raja dan indera harus taat kepada raja dengan melayani akal (logika) untuk melayani raja. (Muhammad Plato)
Logika tuhan adalah logika yang digali dari Al-Qur’an sebagai sumber logika hati. Bertujuan seperti Al-Ghazali menjadikan hati sebagai raja dan indera harus taat kepada raja dengan melayani akal (logika) untuk melayani raja. Logika tuhan memperkuat pemikiran Al-Ghazali, yaitu menjadikan hati sebagai raja dengan memberikan wewenang kepada akal untuk mengendalikan indera. Sebagai mana pemerintahan dalam kota, raja tidak aktif mengatur penguasa lokal dan mengawasi polisi. Raja cukup memberi wewenang kepada perdana menteri (akal) yang taat kepada logika hati untuk mengendalikan penguasa-penguasa lokal dan polisi. Akal bekerja dengan logika tuhan yang menyuarakan suara-suara hati sebagai raja. Sesungguhnya hati sebagai raja, dan akal sebagai perdana menteri, keduanya pembawa kebenaran dari Tuhan yang mengajarkan logika-logika Tuhan kepada manusia dalam kitab suci. Wallahu’alam.

(Penulis Head Master Trainer) 

Tuesday, May 14, 2019

AGAMA MENCERDASKAN SEMUA

OLEH: MUHAMMAD PLATO

Brahmana adalah kasta tertinggi dalam agama Hindu. Fungsi Brahmana adalah membaca dan mengajarkan kitab suci. Selain kasta Brahmana dalam agama Hindu tidak boleh membaca atau mempelajari kitab suci. Paus adalah pemimpin organisasi tertinggi dalam agama Kristen. Paus punya otoritas dalam manfasir kitab suci.

Di dalam agama Islam, ulama, ustad, kiayi, tidak menempati struktur kasta dan organisasi kaku seperti pada agama Hindu dan Kristen. Untuk itu, ulama, ustad, kiyai, tidak memiliki otoritas mutlak dalam memelajari dan menafsir kitab suci. Namun mereka mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai pengungkap, dan penyingkap tabir kebenaran. Tetapi mereka tetap manusia yang tidak mutlak sebagai pemegang kebenaran karena Allah pemilik kebenaran.

Di dalam ajaran Islam tidak ada kultus individu, semua manusia diperlakukan dengan wajar. Kadang salah dan kadang benar. Keyakinan mutlak dan ketergantungan umat hanya kepada Allah swt. Gelar ustad, kiyai, habib, bukan dilihat pada kedudukan dalam strata atau organisasi, tetapi karena nilai keulamaannya yang sangat takut kepada Allah. 

Menerima dan menolak kebenaran atas dasar pemikiran seseorang di dalam Islam tidak dibenarkan. Pertimbangan untuk menerima dan menolak kebenaran mengacu kepada sumber kebenaran yang dijadikan rujukan dalam berpikir. Rujukan berpikir orang Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Islam tidak menempatkan orang sebagai sumber kebenaran, melainkan pembawa kebenaran. Sumber kebenaran ajaran Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah, dan semua umat Islam harus menjadi pembawa kebenaran.

Mengikuti kelompok-kelompok dalam beragama hanyalah realitas empiris usaha manusia dalam mencari kebenaran, esensinya semua kelompok manusia harus beribadah, taat, dan tidak mempersekutukan Allah. Orang-orang yang benar taat kepada Allah, menjaga peperpecahan dan cenderung damai sebagai wujud kepasrahan dirinya bahwa segala kebenaran milik Allah.    

Zaman telah mengalami perubahan. Kepemilikan pengetahuan bukan lagi otoritas segelintir orang. Tugas menyampaikan kebenaran tidak dibebankan pada satu dua orang. Berbeda dengan zaman dahulu sebelum teknologi informasi berkembang, otoritas kepemilikan pengetahuan hanya ada di kelompok-kelompok tertentu. Brahmana, Paus, Pendeta, Wali, Kiyai, ilmuwan, dosen, guru, memiliki pengetahuan lebih dari manusia lainnya. Mereka menjadi satu-satunya rujukan dalam menggali ilmu pengetahuan.

Di abad informasi, posisi brahmana, paus, pendeta, wali, kiyai, ilmuwan, dosen, guru, tidak memiliki fungsi sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Status mereka di abad informasi menjadi pembimbing umat, sebagai pemberi alternatif pengetahuan. Seperti di pasar, mereka hanya menyajikan berbagai macam pengetahuan tentang pemahaman dan penfsiran dan pilihannya ada pada masyarakat yang memahami berdasarkan kemampuan pemikiran dan kepemilikan pengetahuan masing-masing.

“tidak ada paksaan dan kultus individu dalam kebenaran”. Inilah kata-kata yang mendorong semua manusia untuk saling menginspirasi dan menjadi manusia cerdas. Kecerdasan manusia terletak pada kemampuan menganalisis, dan memverifikasi pengetahuan bukan hanya kepada siapa pembawanya tetapi sampai kepada substansinya. Untuk memverifikasi kebenaran, tidak melihat siapa orang yang mengemukakannya tetapi dari mana sumber kebenarannya.

Hal yang harus diperhatikan dari pendapat atau pemikiran seseorang adalah dari mana sumber rujukannya. Jika rujukannya adalah penfsiran-penafsiran orang, maka tetap harus dilihat orang itu sumber pemikirannya dari mana. Jika ditemukan orang itu sudah merujuk kepada sumber kebenaran yang dipercaya semua orang (kitab suci), maka ada kewajiban untuk saling menghormati perbedaan pemikiran.

TIDAK ADA PAKSAAN DAN KULTUS INDIVIDU DALAM AGAMA (MUHAMMAD PLATO)
Setelah itu, manusia tidak akan diam. Zaman akan berubah, variasi hidup juga akan berubah. Pemikiran pun akan mengalami perubahan dan kembali saling menguji dan menyesuaikan. Sumber kebenarannya tetap sama dari kitab suci Al-Qur’an, namun penafsiran untuk menjawab variasi hidup akan mengalami perubahan.

Di zaman banjir pengetahuan saat ini, semua orang diajak cerdas memahami setiap pengetahuan yang diterima untuk dipahami dan dimaknai oleh akalnya sendiri. Kitab suci menyediakan pengetahuan dengan 700 lapis penafsiran. Agama mengajak cerdas umat, untuk itu Allah memerintahkan manusia berpikir. Pengetahuan sudah tersebar luas di media informasi dan menjadi milik pribadi-pribadi, tinggal kita memilih bedakan mana yang dicintai dan mana yang dibenci Allah. Berpikir tidak akan pernah berakhir kecuali setelah kematian menjemput.

Allah sudah memberi petunjuk jalan yang lurus dalam berpikir, yaitu berpikir hanya untuk selalu menyembah dan meminta pertolongan Allah, “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”, (Alfatihan, 1:5).


Berpikir adalah ibadah, karena berpikir adalah perintah Allah kepada manusia. “Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir. (Al Hasyr, 59:21). Agama mencerdaskan semua bukan segelintir orang. Wallahu’alam.

(Penulis Head Master Trainer)

Sunday, May 12, 2019

ILMU KITAB

OLEH: MUHAMMAD PLATO

Konsep ilmu sudah dikenal di dalam Al-Qur’an. “Musa berkata kepada Khidhr: ‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ILMU yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?’" (Al Kahfi, 18:66). Bahkan secara khusus Al-Qur’an mengatakan ada konsep ilmu al kitab. “Berkatalah orang-orang kafir: "Kamu bukan seorang yang dijadikan Rasul". Katakanlah: "Cukuplah Allah menjadi saksi antaraku dan kamu dan antara orang yang mempunyai ILMU AL KITAB ". (Ar ra’ad, 13;43).

Dalam pandangan sekuler, ilmu memiliki definisi tersendiri. Dalam tulisan ini, saya tidak merendahkan pemikiran sekuler, tetapi hanya ingin membandingkan sebuah perbedaan berpikir antara sekuler dan integralis. Pandangan integralis diwakili oleh Kuntowijoyo (2006) dalam bukunya Islam sebagai Ilmu.

Salah satu perbedaan konsep dalam pendekatan sekuler dan integralis terjadi pada pengertian ilmu. Menurut pandangan sekuler, ilmu adalah pengetahuan yang telah digali melalui metode penelitian. Pengetahuan yang belum diverifikasi melalui metode penelitian, tidak layak dikatakan ilmu. Jika konsep ilmu semacam ini diterapkan pada kitab suci maka isi pengetahuan yang ada dalam kitab suci harus diverifikasi untuk layak dikatakan ilmu.

Dapat dipahami, tindakan memverifikasi kitab suci seolah-olah meragukan kebenaran kitab suci, maka memverifikasi pengetahuan yang ada dalam kitab suci dapat dianggap sebagai salah satu tindakan merendahkan kitab suci.

Di dalam penelitian ada dua kemungkinan terjadi yaitu hipotesis diterima atau hipotesis ditolak. Jika hipotesis dari kitab suci di tolak, maka kitab suci salah. Jika kitab suci salah, maka sangat tidak mungkin kitab suci salah.  Jika kasus ini terjadi, maka status kitab suci menjadi rendah dan tidak suci.

Inilah dasar pemikiran yang mengatakan bahwa kitab suci adalah kitab suci tidak perlu masuk pada ranah ilmu. Jika dipaksakan masuk pada ranah ilmu, khawatir kitab suci akan jadi bahan lecehan dan direndahkan karena ada kemungkinan apa yang dikatakan dalam kitab suci tidak sesuai kenyataan atau salah.  

Namun demikian, pengertian ilmu dari kitab suci sangat berbeda dengan padangan sekuler. Jika kita telusuri, di dalam Al-Qur’an kita bisa temui beberapa definisi. “Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya (‘ilman).” (Thaahaa, 20:110). Berdasarkan keterangan ini, ilmu adalah pengetahuan masa lalu dan masa yang akan datang.

“Dan orang-orang yang diberi (uutul’ilma) ilmu (Ahli Kitab) berpendapat bahwa wahyu yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itulah yang benar dan menunjuki (manusia) kepada jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.”. (Saba, 34:6). Ilmu adalah pengetahuan yang diturunkan Allah kepada manusia sebagai petunjuk jalan menuju kembali kepada Tuhan. Jadi seluruh pengetahuan yang terdapat dalam kitab suci adalah ilmu.

Prof. Fahmi Basya mengatakan ilmu adalah segala ketentuan yang berlaku pasti dan tidak mengalami perubahan. Di dalam Al-Qur’an kita bisa menemukan ketentuan-ketentuan yang berlaku pasti. Maka dari itu, kitab suci Al-Qur’an adalah kitab ilmu pengetahuan.

Jika seluruh isi Al-Qur’an adalah ilmu, maka tugas para ilmuwan adalah melakukan penelitian bagaimana aplikasi seluruh ketentuan yang ada di dalam Al-Qur’an dalam kehidupan. Penelitian dilakukan bukan untuk memverifikasi kebenaran seperti konsep penelitian positivistik pada penelitian ilmu sekuler, tetapi untuk menemukan penerapan yang tepat dalam kehidupan. Pola berpikir penelitian deduktif.

Atau sebaliknya penelitian dilakukan untuk memverifikasi temuan-temuan ilmiah sekuler di lapangan untuk diketahui kesesuain atau keterkaitannya dengan ketentuan yang ada dalam Al-Qur’an. Pola berpikir penelitian induktif. 

"Seluruh pengetahuan yang terdapat dalam kitab suci adalah ilmu" (Muhammad Plato)
Paradigma ini sesuai dengan fungsi kitab suci, yaitu “Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (Al-Baqarah, 2:2). Lalu bagaimana dengan pengakuan dunia luar tentang paradigma ini? Hal terpenting dalam ilmu pengetahuan bukan pengakuan, tetapi bagaimana dampak bagi kesejahteraan masyarakat. Lain ladang lain belalang. Hidup orang Amerika, China, Jepang, berbeda, tetapi semua manusia diciptakan Tuhan dengan ketentuan yang sama. Meminjam istilah Imanuel Kant, perbedaan hanya  terjadi pada fenomena, sementara noumenanya pasti sama.

Sepengetahuan penulis kita sudah memiliki para ahli ilmu kitab. Prof. Fahmi Basya menemukan Matematika Islam, Dr. Nataatmadja menemukan Intelegensi Spiritual, Ary Ginanjar dengan ESQ, dan Aa Gym dengan konsep Manajemen Qolbu,  logika tuhan adalah pola berpikir sebab akibat yang dikembangkan merujuk pada Al-Qur’an. Dikembangkan melalui metode hubungan konsep, dan dikembangkan untuk tujuan menjadi panduan dalam berpikir sehari-hari, untuk selalu menghasilkan cara pandang berbeda dari biasanya dan selalu membawa ke arah optimis tanpa batas. Logika tuhan adalah ilmu kitab, dikembangkan untuk memandu kita menjadi manusia dengan intelegensi spiritual, punya kemampuan fleksibel intelegent, bisa hidup damai, sejahtera dunia dan akhirat.

Sebagai ilmu kitab, logika tuhan harus diajarkan kepada anak-anak, dewasa, dan tua. Baik di lingkungan pendidikan, keluarga, dan masyarakat. Wallahu’alam.

(Penulis Head Master Trainer) 

MEMPERKECIL MASALAH?

OLEH: MUHAMMAD PLATO

Masalah adalah takdir Allah yang tidak bisa kita hindari. Tapi masalah adalah bagian kecil dari takdir Allah. Ada takdir Allah lain yaitu manusia cenderung ingin damai dan sejahtera. Dari dua takdir ini, silahkan memilih, mau bermasalah atau  damai sejahtera?

Jika ingin memilih damai, kita harus belajar dari Al-Qur’an, apa sebenarnya masalah? Sebab terjadinya masalah berasal dari persepsi manusia tentang kejadian. Persepsi manusia tentang kejadian selalu terjebak dimensi ruang dan waktu. Pengaruh ruang dan waktu yang terbatas, menimbulkan persepsi manusia kadang buruk dan kadang baik.

Seharusnya setiap persepsi selalu baik. Setiap kejadian bisa kita persepsi baik, jika kita ketahui sebabnya baik, atau akibatnya baik. Sebaliknya, kejadian buruk terjadi jika kita ketahui sebabnya buruk, atau akibatnya buruk. Keterjebakan manusia melihat kejadian karena melakukan persepsi langsung berdasar apa yang dilihat tanpa pikir panjang. (short time thingking).

Contoh, Nabi Musa menganggap perbuatan Nabi Khidr keji, ketika membunuh anak kecil yang suci. Persepsi Nabi Musa terbatas ruang dan waktu, hanya melihat kejadian pada saat itu. Nabi Khidr sebagai orang berilmu, persepsinya sudah mampu membuka ruang dan waktunya sampai 18 tahun ke depan (anak dewasa), sehingga berkesimpulan anak itu harus diselamatkan (long time thingking). Kejadian antara Nabi Musa dan Nabi Khidr dalam Al-Qur’an, bukan sebagai kejadian faktual belaka, tetapi sebagai kejadian yang penuh dengan hikmah dan ilmu.

PERKECIL MASALAH DENGAN MENGAKUI BAHWA SEMUA MASALAH BERSUMBER DARI DIRI SENDIRI (MUHAMMAD PLATO)
Belajar dari kisah Nabi Musa dan Nabi Khidr, manusia akan selalu bermasalah karena kesalahan persepsi. Kesalahan persepsi terjadi karena terlalu cepat mengambil kesimpulan, dan tidak sempat membuka ruang dan waktu yang lebih luas dan panjang. Membuka ruang artinya mencari dan menambah wawasan ilmu, dan membuka waktu artinya berpikir melakukan penelitian terhadap kejadian masa lalu dan akibatnya sampai masa yang akan datang.

Hakikatnya, masalah bukan apa yang dilakukan orang, tetapi apa yang kita katakan terhadap kelakuan orang. Bila kita mengatakan kelakuan orang itu buruk, persepsi kelakuan buruk sebenarnya ada dalam pikiran kita. Maka menyalahkan orang lain adalah perbuatan salah, kenapa? Karena mengaku diri benar, sementara kebenaran mutlak milik Allah. Untuk itu, masalah ada dalam hati, pikiran, dan perkataan diri kita masing-masing, bukan ada di luar sana.

Dapat dipahami mengapa Allah tetapkan, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa (prilaku buruk). (QS, Al-Hujurat, 49:12). Ini dali perintah untuk selalu berpositif thingking, agar kita menjadi orang-orang yang konsisten berprilaku baik.

Setiap manusia tidak akan lepas dari masalah. Lalu bagaimana prilaku kita? Perkecil masalah, dengan mengakui bahwa segala masalah di dunia ini datang dari diri sendiri dan haram menyalahkan orang lain”. Masalah menjadi besar karena kita memperbanyak keterlibatan orang dengan menyalahkan orang lain.

Ini sumber pola pikirnya, “Utusan-utusan itu berkata: "Kemalangan kamu itu adalah karena kamu sendiri". (Yasin, 36:19). Ini ketetapan Allah bahwa apapun kejadiannya, bagaimanapun kejadiannya, tahu sebab atau tidak tahu sebabnya, masalah pasti sumbernya dari diri sendiri.

Demikianlah, “Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas". (Yasin, 36:17). Pola pikir ini harus diajarkan kepada anak-anak didik kita, agar mereka bisa menjadi pemimpin-pemimpin besar yang membawa kedamaian dan kesejahteraan rakyat.  Semoga hidayah untuk kita semua! Wallahu ‘alam.

(Penulis Head Master Trainer)

Monday, May 6, 2019

FLEKSIBEL INTELEGENT

OLEH: MUHAMMAD PLATO


Inilah masa “triump of  the  Individual”, (Nasibitt & Aburdene, 1990, hlm. 13). Setiap orang memilih dan memiliki kebenaran berdasarkan pengetahuan yang ada dalam memorinya. Tidak ada lagi yang bisa melarang, kecuali mereka melanggar batas-batas kepatutan yang jelas dilarang berdasarkan kesepakatan bersama di dalam undang-undang. Setiap individu harus bisa saling menghargai, hidup damai berdampingan dalam perbedaan pendapat tentang kebenaran. Dirinya sendirilah yang akan memutuskan sesuatu itu benar, atau salah, sama atau berbeda.

Banyaknya sudut pandang tentang kejadian pada abad ini, kita butuh kemampuan fleksibel dalam memahami sebuah kejadian. Kemampuan ini dibutuhkan untuk menjaga bumi tetap damai dan sejahtera. Tujuan-tujuan berkuasa tidak lagi bisa dilakukan dengan kekerasan atau pemaksaan tetapi dengan kekuatan saling mempengaruhi dengan menguasai dan memanfaatkan teknologi informasi untuk mengendalikan opini. Kepemilikan media informasi menjadi alat utama untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan.

Kemampuan berpikir fleksibel adalah kemampuan memahami dan menerima pendapat orang lain berdasarkan kepemilikan pengetahuan yang ada dalam memorinya, dan mengembalikan segala kebenaran kepada pemiliknya yang mutlak yaitu Tuhan. Pengetahuan kita sebagai manusia terbatas, tidak bisa memahami segala kejadian secara komprehensif. Karakter manusia fleksibel intelegent cenderung berdialog saling menguji pola pikir dengan pendekatan logika, dan menghindari untuk saling mengklaim kebenaran yang mengarah pada permusuhan. Kebenaran di bumi bersifat sementara dan kebenaran mutlak ada di kehidupan setelah mati. Berpikir fleksibel akan membawa setiap orang kepada sikap-sikap sabar, santun, dan rendah hati. Sekalipun mengklaim kebenaran, upayanya akan dilakukan dengan cara-cara yang tidak menyakiti dan menghindari konflik melalui curah pendapat dengan memanfaatkan media informasi.

Teori Mnemohistory membenarkan siapa saja untuk memahami kejadian dari pengetahuan yang dimilikinya termasuk dari latar belakang agama yang dianut. Di dalam memahami agama pun, kemampuan fleksibel intelegen sangat dibutuhkan karena kemampuan ini akan membawa para pemeluk agama bisa hidup berdampingan dengan damai. Tuhan menciptakan alam semesta dengan takdir-takdirnya yang tak hingga.

Wahyu yang diturunkan sebagai maha karya Tuhan, memiliki variasi pengetahuan tak hingga (beyond). Ueberweg mengatakan bahwa, menurut para mistik, setiap teks dari Al-Qur’an mempunyai tujuh atau 70 atau 700 lapis penafsiran, arti harfiahnya hanya untuk kaum awam. Dari sana maka bisa dikatakan bahwa ajaran filosofis tidak mungkin bertentangan dengan Al-Qur’an, karena dari 700 penafsiran paling tidak pasti ada satu yang cocok dengan apa yang dikatakan oleh filosof. Namun demikian, di dalam dunia Islam, kaum awam nampaknya keberatan dengan semua ajaran yang keluar dari pengetahuan kitab suci. Pngetahuan semacam ini berbahaya, sekalipun tidak bisa ditunjukkan mana pengetahuan yang dianggap menyimpang. Pandangan kaum mistik, bahwa orang awam seharusnya memahami al-Qur’an secara harfiah tetapi orang-orang bijaksana (dalam pengetahuannya) mestinya tidak melakukan hal yang sama, nampaknya kurang bisa diterima oleh kaum muslim pada umumnya. Al-Ghazali termasuk salah satu tokoh yang menolak semua filsafat yang menulis buku berjudul kerancuan para filosof, yang mengatakan bahwa semua kebenaran yang dicari ada dalam Al-Qur’an, maka pemikiran spekulatif yang terlepas dari wahyu tidak diperlukan.  Filsafat Muslim di Spanyol berakhir dengan Ibnu Rushd; dan di wilayah lain dunia Islam ortodoksi yang kaku mengkahiri pemikiran spekulatif. (Russell, 2016, hlm. 566).

Fleksibel intelegent adalah kemampuan memahami suatu kejadian dari berbagai sudut pandang. (Muhammad Plato)
Fleksibel intelegent dibutuhkan oleh umat beragama khususnya Islam, mengingat kata Al-Qur’an memiliki makna katerkaitan, sebagai tanda bahwa  kebermaknaan lahir dari keterkaitan antar objek atau kejadian. Bencana dari sudut pandang invidivu berkultur memori agama Islam dapat menghasilkan berbagai macam mnemohistory.

TABEL. 1
FLEKSIBEL INTELEGENT MEMAHAMI BENCANA

PERISTIWA
SUDUT PANDANG (MEMORI)
PEMAHAMAN
BENCANA
"Kemalangan kamu itu adalah karena kamu sendiri”. (Yasin, 36:19).
Bencana dari kesalahan diri sendiri
“Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. (Ali Imran, 3:146)
Bencana melatih sabar
Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. (Ali Imran, 3: 174)
Bencana adalah nikmat dan karunia Allah.
Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. (An Nisaa, 3;79)
Keburukan dari Bencana adalah persepsi manusia terhadap kejadian
Katakanlah: "Allah menyelamatkan kamu daripada bencana itu dan dari segala macam kesusahan, kemudian kamu kembali mempersekutukan-Nya." (Al An ’aam, 6:64)
Bencana adalah cara Allah menyelamatkan manusia dari kesulitan
“Dan orang-orang yang kafir senantiasa ditimpa bencana disebabkan perbuatan mereka sendiri, (Ar Ra’ad, 13:31).
Bencana adalah akibat dari perbuatan kafir
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? (Al-Ankabuut, 92:2)
Bencana adalah ujian keimanan

Tabel di atas hanya sebagian contoh kecil bagaimana memori kita memahami sebuah kejadian. Memori (ingatan) kita akan mengemukakan pemahaman berdasarkan pengetahuan yang berhasil kita ingat. Jika pengetahuan-pengetahun dari kitab suci di atas tidak ada dalam memori, tidak mungkin manusia dapat memahami sebuah kejadian dengan banyak sudut pandang seperti pada table di atas. Persepsi kita tergantung pada pengetahuan yang diingat oleh memori kita.

Fleksibel intelegent adalah kemampuan memahami suatu kejadian dari berbagai sudut pandang. Fleksibel intelgent adalah keterampilan berpikir yang harus diajarkan kepada peserta didik. Kemampuan berpikir fleksibel akan membawa dampak kepada siswa selalu siap menerima perbedaan dan siap hidup damai saling menghargai dalam perbedaan.

Allah telah mengajarkan kepada manusia agar memiliki kemampuan berpikir fleksibel. Tujuannya agar manusia tetap optimis, selalu punya alternatif pemecahan masalah, kreatif, dan tetap dalam sabar. Kemudian dalam segala kondisi tetap mengingat dan menyembah Allah. Ilmu-ilmu alam, sosial, tujuannya tidak lain adalah melatih manusia untuk memiliki banyak sudut pandang terhadap kejadian, agar manusia bisa bertahan hidup dan tetap optimis menjalani kehidupan.

Bencana adalah noumena atau kehendak Allah yang transenden. Jika Kant mengatakan neoumena atau kehendak (menurut Schopenhauer) tidak dapat kita ketahui realitasnya, tidak salah karena kehendak Allah tidak mungkin kita ketahui sesungguhnya, Namun jika Schopenhauer mengatakan bahwa neoumena atau kehendak dapat kita ketahui dengan menangkap fenomena, dapat dipahami karena setiap fenomena adalah bagian dari kehendak Allah. “Dunia adalah kehendak dan bayangan (imaginasi); kehendak adalah realitas noumenal sebagai dasar, bayangan-bayangan adalah penjabarannya di alam fenomenal. (Suseno, 2003, hlm. 163). Allah Maha Tahu dan kita tidak tahu apa apa. Jangan menjadi tuhan pemecah belah, serahkan semuanya kepada Allah. Kita boleh memiliki kebenaran, tetapi Allah melarang memaksakannya. Wallahu’alam.

(PENULIS HEAD MASTER TRAINER)

Sunday, May 5, 2019

TADARUSNYA ILMUWAN

OLEH: MUHAMMAD PLATO

Guru Besar bilang, “Al-Qur’an itu kitab suci”. Jawab saya, “setuju 1000 persen”. Lalu saya bilang, “isi Al-Qur’an itu 1000 persen pengetahuan”. Guru Besar jawab, “saya setuju”. Jika setuju isinya 1000 persen pengetahuan, lalu fungsi Al-Qur’an bagi manusia apa? Petunjuk hidup bagi orang-orang yang yakin bahwa kitab suci Al-Qur’an diturunkan dari Tuhan. Petunjuk dari Tuhan itu berupa pengetahuan tentang alam material dan non material.

Ilmu pengetahuan dikembangkan melalui metode penelitian, objeknya adalah pemikiran, prilaku, teknologi dan gejala alam. Jadi selama ini, ilmu dikembangkan berdasarkan pada pengetahuan yang bersumber pada budaya dan gejala alam. Jika demikian, Al-Qur’an sebagai pengetahuan belum dikaji, diteliti, sebagai sumber ilmu pengetahuan, padahal Guru Besar setuju isi Al-Qur’an adalah 1000 persen adalah pengetahuan.

Manusia bertindak berdasarkan isi pikirannya. Isi pikiran manusia tergantung isi pengetahuannya. Isi pikiran manusia sangat tergantung pada pengetahuan yang diingatnya (mnemohistory). Pengetahuan yang diingatnnya akan jadi pola pikir (culture memory) dan berwujud kebiasaan.

Berdasarkan jumlah jam belajar pada tingkat sekolah dasar, dari 30-35 jam belajar per minggu, anak-anak input pengetahuan agama hanya 4 jam, kurang lebih  11,11% sd 14,70%jam anak-anak ingat Tuhan. Jumlah jam belajar pada sekolah menengah pertama, dari 38 jam input pengetahuan hanya 3 jam belajar agama, artinya siswa hanya 9,89%  jam ingat Allah.  Pada level pendidikan menengah, jumlah jam belajar per minggu dari 48 jam hanya 3 jam belajar agama, artinya hanya 6,25% ingat Allah. Semakin tinggi pendidikan semakin sedikit ingat Allah.

Dengan konsep pendidikan seperti ini, anak-anak di sekolah-sekolah umum mengalami “alienasi”. Jam belajar anak-anak lama, tetapi sesungguhnya mereka terasing dari Allah.  Sebanyak 74,3 s.d. 94,75%  jam input pengetahuan anak-anak dari tingkat sekolah dasar sampai sekolah menengah tidak berkaitan dengan Tuhan. Mata pelajaran itu berdiri sendiri, dan pelajaran agama seperti makhluk asing yang kadang tidak mendapat perhatian khusus karena kalah menarik dengan pelajaran praktis yang menjanjikan kehidupan duniawi.

Tadarus berasal dari kata darosa-yadrusu artinya mempelajari, meneliti, menelaah, mengkaji, mengambil pelajaran. Banyak cara tadarus Al-Qur’an. Setiap orang bisa mengkaji berdasar latar belakang keilmuan masing-masing. Para ustad membimbing membaca Al-Qur’an sampai khatam adalah salah satu cara mempelajari Al-Qur’an dari latar belakang ilmu tajwid.

ILMUWAN  TADARUS AL-QUR'AN DARI SUDUT PANDANG MASING-MASING KEILMUAN
Seorang ilmuwan bisa TADARUS Al-Qur’an dari sudut pandang ilmu sejarah, sosial, budaya, politik, ekonomi, teknologi, dan perbandingan agama sesuai latar belakang keilmuan. Jika ada kekhawatiran Al-Qur’an akan turun kesuciannya gara-gara dijadikan sebagai sumber ilmu pengetahuan, pendapat ini prasangka buruk, tidak berdalil, dan kurang relevan. Kini saatnya membumikan Al-Qur’an dengan menjadikannya sebagai sumber pengetahuan dalam pengembangan konsep, teori, ilmu dan teknologi. Ilmuwan-ilmuwan yang terinspirasi dari Al-Qur’an justru menjadi percaya Tuhan karena isi kandungan Al-Qur’an teruji secara rasional dan empiris sebagai wahyu dari Tuhan.

Lalu bagaimana dengan non muslim? Kita tidak sedang mengancam mereka, kita sedang mencoba mendamaikan dan mensejahterakan bumi berdasarkan potensi-potensi yang sudah diberikan Tuhan kepada manusia. Umat Islam diberi amanah Al-Qur’an untuk disosialisasikan ke seluruh umat manusia sebagai petunjuk dan teladan bagi manusia dalam menjalani hidup di muka bumi. Al-Qur’an bukan hanya mengurusi moral, tetapi menjelaskan seluruh kejadian alam yang terjadi di muka bumi. Al-Qur’an adalah ayat dalam bentuk perkataan direkam dalam tulisan (qauliyah), dan alam adalah Al-Qur’an dalam kejadian-kejadian tampak yang bisa kita saksikan (kauniyah).

Al-Qur’an perkataan (qauliyah) dan Al-Qur’an kejadian alam (kauniyah) adalah sama-sama sumber pengetahuan. Sebagaimana kondisi jam pelajaran anak-anak di sekolah umum, kita terlalu banyak tadarus alam hingga sering lupa Tuhan, sementara tadarus Al-Qur’an qauliyah baru sukses pada tahap menghafal. Tadarus pada tahap penerapan, analisis, sintesis, mencipta, dan evaluasi belum menjadi budaya.

Padahal Allah mengabarkan akan ada manusia-manusia supercerdas dengan teknologi super canggih jika kita menggali ilmu dari Al-Qur’an. “Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab: "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip". (An Naml, 27:40). Semoga Allah memberi hidayah kepada kita semua. Wallahu ‘alam.

(Penulis Head master Trainer)

Wednesday, May 1, 2019

TUHAN PEMECAH BELAH

OLEH: MUHAMMAD PLATO

“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa”. (al-Anbiyaa, 21: 22).
Kedudukan apapun, baik besar atau kecil, sedikit atau banyak, ketaatan dari pada pengikut adalah satu-satunya pilihan. Menentang adalah kebinasaan. (al-Andalusi & al Ghurab, 2016, hlm. 94). Kepatuhan kita kepada imam (pemimpin) adalah kepada ketentuan Allah dalam kitab suci Al-Qur’an.
Al-Qur’an menjadi sumber dasar petunjuk untuk menjalankan kepemimpinan. Al-Qur’an akan menjelma kepada seseorang sebagai pemberi peringatan, yang tidak meminta upah dari kepemimpinannya. “tidak ada suatu umatpun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan.” (Fathir, 35:24).  
Keberadaan seorang pemimpin yang dipatuhi adalah keniscayaan (kepastian). Rendahnya kualitas kepemimpinan ditandai dengan lahirnya tuhan-tuhan selain Allah. Kualitas pemimpin dilihat dari pada ketaatannya kepada pemimpin yang Mutlak. Kehancuran sebuah lembaga, bangsa, ditandai dengan lahirnya pemimmpin-pemimpin yang menghadirkan tuhan-tuhan menyesatkan ketaatan manusia kepada Allah.

"Tuhan-tuhan pemecah belah adalah ketaatan kepada kepemimpinan diri sendiri, yang cenderung mengingkari ketaatan kepada pemimpin dalam jamaah" (Muhammad Plato) 
Seakan-akan Allah berfirman, jika ada sekutu bagi Allah dalam hal kekuasaan, maka akan berakibat pada kehancuran. Otomatis satu kekuasaan adalah sebuah keniscayaan di satu lembaga atau negara. Tidak ada jalan lain untuk memberontak, tidak ada peluang untuk menentang, kecuali pemimpin itu tidak memenuhi syarat-syarat kepemimpinan. Seperti halnya imam dalam shalat. Jika sang imam sedang sujud, maka sujudlah bersamanya. Barang siapa mengangkat kepalanya sebelum sang imam melakukannya, maka sama halnya ubun-ubun orang itu berada dalam gengaman setan. (al-Andalusi & al Ghurab, 2016, hlm. 96-97).
Seorang hakim dia adalah imam dalam bidang yang digelutinya. presiden, menteri, gubernur, bupati, camat, kepala sekolah, sampai ke pemerintahan terendah kepala keluarga bahkan individu adalah imam. Dan masing-masing imam akan diminta pertanggungjawabannya atas kepemimpinnya.
Tidak ada shalat berjamaah jika ma’mum tidak taat kepada imam. Seseorang yang tidak taat kepada imam akan kehilangan pahala berjamaah. Sebuah lembaga atau negara akan menandakan gejala  kehancuran, jika warga-warga negaranya sudah  kehilangan pahala berjamaah. Pahala berjamaah adalah ketaatan pada pemimpin, dan berwujud pada kedamaian dan kesejahteraan hidup, dan diaktualisasikan dalam akhlak saling memberi dan saling menutupi kekurangan dalam mencapai tujuan bersama.
Tuhan-tuhan pemecah belah adalah ketaatan kepada kepemimpinan diri sendiri, yang cenderung mengingkari ketaatan kepada pemimpin dalam jamaah. Diri-diri kita sendiri adalah tuhan-tuhan pemecah belah. Jika Allah sebagai pusat kekuasaan dan pemersatu, maka diri-diri kita sendiri yang tidak memerintahkan taat kepada Allah adalah tuhan-tuhan pemecah belah. Dalam kepemimpinan, diri-diri pemersatu adalah pemimpin-pemimpin yang tunduk, mengembalikan segala urusan sesuai perintah Allah. Maka ciri kepemimpinan dalam jamaah, lembaga, atau negara adalah para pemimpin yang selalu memberi peringatan untuk selalu taat kepada Allah sebagai pusat kekuasaan, untuk membimbing manusia menuju hidup damai dan sejahtera bersama.
Untuk itulah Allah memutlakkan berkhidmat kepada para pemimpin dalam lembaga-lembaga, untuk menjaga persatuan, perdamaian dan kesejahteraan dunia. Ketidakpuasan kepada pemimpin bisa diadukan kepada pemimpin lebih tinggi, sampai kembali kepada pemimimpin Mutlak yaitu Allah, yang memerintahkan untuk taat kepada pimpinan dan bersabar tanpa batas dalam menjaga ketaatan sampai Allah menentukan kebaikan dan keberuntungan yang besar bagi orang-orang sabar.
Dapat dipahami dengan akal sehat jika hadis Nabi sangat menekankan pentingnya ketaatan pada pemimpin karena sebagai wujud ketaatan pada perintah Allah dan Rasul. Selama manusia taat pada perintah Allah dan Rasulnya, akan selalu ada kabar gembira dibalik ketaatan itu.
“Barangsiapa menaatiku, maka ia berarti menaati Allah. Barang siapa yang tidak mentaatiku berarti ia tidak mentaati Allah. Barang siapa yang taat pada pemimpin berarti ia mentaatiku. Barang siapa yang tidak mentaatiku berarti ia tidak mentaatiku. (HR. Bukhari dan Muslim).
Demikianlah pentingnya umat manusia menjaga ketaatan kepada pemimpin, yaitu untuk menjaga pahala berjamaah dalam sebuah lembaga atau negara tetap terjaga. Semoga Allah memberi hidayah kepada kita untuk tetap berada dalam jamaah dan sejahtera lahir batin. Wallahu ‘alam.

(Penulis Head Master Trainer)