Thursday, August 24, 2017

SEDEKAH TERHEBAT PARA PEMIMPIN


OLEH:
MUHAMMAD PLATO

“Kamu akan berebut pemerintahan, dan akan menjadi penyesalan pada hari kiamat”. (HR. Bukhari)

Banyak orang mengamini, saat ini untuk jadi seorang pemimpin harus memiliki kapital besar. Dengan kapital besar calon pemimpin bisa memengaruhi, atau membeli suara untuk kemenangan pemilihan pemimpin. Fakta ini benar, untuk tingkatkan elektabilitas, kampanye, sosialisasi program, dibutuhkan kapital, tetapi jika kapital dijadikan sebab terpilihnya seorang pemimpin, makan pikiran kita sebagai masyarakat sedang tersesat karena pengaruh keadaan. Dan kita sudah jadi penganut filsafat materialis.

Dalam syarat sebagai calon pemimpin tidak ada dijelaskan harus memiliki kekayaan melimpah. Syarat penting bagi seorang pemimpin adalah beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebebanrnya dari keimanan dan ketakwaan saja seorang pemimpin bisa mensejahterakan rakyat.

Setiap Hari Jembatan Cisomang Dilalui Ribuan Kendaraan. Sedekah Triliunan Pemimpin, Yang Akan Mengalir Sepanjang Masa.


Setelah menjadi pemimpin, seseorang tidak dituntut mengeluarkan dana pribadinya untuk mensejahterakan rakyat. Sebesar-besarnya dana pribadi yang dimiliki oleh seorang pemimpin, tidak akan melebihi harta kekayaan yang dimiliki oleh negara. Hal yang dituntut dari seorang pemimpin adalah belanjakan harta negara sebanyak-banyaknya dengan efektif dan efisien untuk kesejahteraan rakyat.

Untuk itu, modal yang dimiliki oleh seorang pemimpin bukan kekayaannya, tapi sikap dan karakternya yang bisa mensejahterakan rakyat, yaitu KEMAMPUAN mengelola harta negara untuk kepentingan RAKYAT BANYAK bukan untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompoknya.

Sebagaimana dijelaskan oleh KH. Abun Bunyamin Ruhiyat (Pimpinan Pondok Pesantren Cipasung), para pemimpin bisa bersedekah melalui berbagai kebijakan. Siapa yang bisa bersedekah sampai 2000 triliun per tahun? Tidak ada orang yang bisa melakukannya kecuali seorang pemimpin. Dari mulai kepala daerah sampai presiden mereka bersedekah dengan kebijakannya. Sedikitnya, seorang kepala desa bisa bersedekah satu miliar per tahun dengan mengelola dana amanahnya dari negara. Seorang kepala sekolah bisa bersedekah dengan kebijakannya dari satu sampai tujuh miliar per tahun.

Mengapa kebijakan pemimpin bisa jadi sedekah? Inilah dalil pahala sedekah bagi seorang pemimpin. Dijelaskan dalam hadis Rosulullah saw. “Bendahara muslim yang diberi amanah ketika memberi sesuai yang diperintahkan untukya secara sempurna dan berniat baik lalu ia menyerahkan harta tersebut pada orang yang ia tunjuk menyerahkannya, (pemilik harta dan bendahara yang amanat tadi) termasuk dalam orang yang bersedekah. (HR. Bukhari dan Muslim).

Sekali lagi saya ulang, kekayaan yang dimiliki pemimpin tidak akan sanggup mensejahterakan umat. Kekayaan negaralah yang akan mensejahterakan umat, jika dikelola pemimpin-pemimpin ahli sedekah. Pemimpin dengan karakter penyedekah, tidak lagi memiliki ambisi memiliki harta dengan cara mengambil, tapi dengan memperbanyak sedekah dari harta titipan rakyatnya dengan kebijakan-kebijkakan yang mensejahterakan rakyat banyak.

Maka karakter dasar seorang pemimpin yang harus dimiliki adalah penyedekah. Karakater ini dapat terwujud dalam diri seorang pemimpin jika pikiran dan hatinya dipandu, dikendalikan oleh kitab suci dari Tuhan (Al-Qur’an). Para pemimpin penyejahtera adalah mereka yang hati dan pikirannya selaras dengan tuntunan dari Tuhan.

Maka tidak penting seorang pemimpin memiliki harta atau tidak, karena faktor yang paling penting adalah pikiran dan jiwa pemimpin yang selalu berserah diri kepada Tuhan, dengan prinsip kekayaan terbesar yang akan dimilikinya adalah sedekah dengan harta milik negara melalui berbagai kebijakan untuk kebajikan.

Untuk itu, regulasi negara harus mengatur agar para calon pemimpin tidak dibebani syarat kekayaan pribadi yang dimiliki. Negara harus menjamin melalui konstitusi, bagi semua calon pemimpin yang telah memenuhi syarat seleksi, segala kebutuhan sosialisasi dan kampanyenya harus dibiayai oleh negara. Dana ini diatur oleh konstitusi untuk memberi peluang kepada semua kalangan bisa mempromosikan dirinya sebagai calon pemimpin dengan adil. Regulasi ini bertujuan untuk kepentingan masyarakat supaya para pemimpin benar-benar terlahir dari kompetensi yang dimiliki bukan dari kekayaannya.

Regulasi ini juga terlahir untuk menciptakan keadilan bagi masyarakat, agar setiap warga negara terjamin haknya untuk dipilih dan memilih tanpa melihat kekayaan yang dimilikinya. Para pemimpin yang memiliki harta kekayaan tidak menjamin bisa mensejahterakan rakyat, jika karakternya bertentangan dengan kehendak Tuhan. Sebaliknya pemimpin-pemimpin dari rakyat biasa, bisa jadi mereka menjadi penyejahtera karena kecerdasan dan karakter penyedekah yang dimilikinya.

Sekalipun kekayaan para pemimpin melimpah, yang dibutuhkan adalah kebijakannya untuk mensejahterakan rakyat dari harta negara yang dikelolanya bukan dari sedekah harta pribadinya. Pemimpin-pemimpin penyedekah tidak lagi membutuhkan materi untuk kehidupan dunianya, tetapi harta negara yang dia belanjakan itulah untuk kepentingan akhiratnya. Inilah sedekah terhebat para pemimpin. Wallahu ‘alam.
 
(Penulis Master Trainer @logika_Tuhan).

Saturday, August 12, 2017

ADAB JADI RAKYAT


OLEH:
MUHAMMAD PLATO

Diskusi serius, forum diskusi, debat di televisi, sampai obrolan di warung kopi,  terlalu fokus menyoroti, mengomentari, menghujati, mencelai, pemimpin. Padahal pemimpin yang dihujati, adalah hasil pilihannya sendiri dari sistem demokrasi. Terlalu asyik rakyat kita melihat ke luar dirinya. Bangsa ini telah terjebak menjadi bangsa buruk sangka, pendengki, pemarah,  dan suka saling menyalahkan.

Oleh karena terlalu sibuk melihat ke luar, prilaku masyarakat menjadi sangat keterlaluan. Prilaku buruk diapresiasi buruk, prilaku baik diapresiasi buruk. Padahal Tuhan mengajarkan manusia untuk berprasangka baik tanpa tergantung pada kondisi dan keadaan. Masyarakat sudah bergerak menjadi masyarakat yang melampaui batas kepatutan karena pikirannya dominan bercara pandang buruk.

Terlalu banyak tulisan-tulisan mengomentari buruknya prilaku pemimpin, tetapi sedikit sekali komentar tentang buruknya prilaku kerakyatan. Dari dunia luar, kita dipandang sebagai negara kacau yang tidak pernah bubar-bubar. Kekacauan ini dilihat dari prilaku kacau rakyat sehari hari yang tidak taat pada aturan.

Prilaku rakyat tidak jauh dari pemimpin yang dihasilkan. Jika pemimpin dipilih langsung oleh rakyat, maka kualitas pemimpin menunjukkan kualitas rakyatnya. Maka dari itu, dalam demokrasi langsung, untuk memperbaiki kualitas pemimpin harus dimulai dari peningkatan kualitas rakyatnya, karena rakyatlah yang menentukan.
Nabi Musa tidak memberontak kepada Firaun, tetapi membawa hijrah penduduk ke tempat dan jalan yang benar
Ibn Rusyd membagi jiwa manusia dalam tiga daya, yaitu daya pikir, amarah, dan syahwat. Maka untuk memperbaiki kuliatas rakyat, harus dioptimalkan kemampuan daya pikirnya. Meningkatkan daya pikir tiada lain dengan cara menambah wawasan pengetahuan ilmu dan hikmah dari berbagai macam sumber untuk mengendalikan amarah dan syahwatnya.

Buang sampah sembarang, pasang iklan sembarang, jualan sembarang, parkir sembarang, mungut sumbangan sembarang, adalah prilaku rakyat tidak beradab di lapangan. Menyuap petugas, menggunakan fasilitas umum untuk pribadi, menyerobot tanah negara, menghambat percepatan pembangunan, penambangan liar, penebangan liar, dan pencemaran air. Menghina, menghujat, membuka aib, memfitnah, dan merencanakan jahat terhadap pemimpin, itulah gejala-gejala rendahnya peradaban masyarakat.

Prilaku masyarakat seperti ini harus dikendalikan, karena termasuk faktor yang membuat negara semakin kacau. Hak rakyat mengeluarkan pendapat harus dijaga, tetapi tidak melanggar adab-adab sebagai rakyat. Dalam negara demokrasi, untuk membangun bangsa yang kuat, harus diawali dari rakyat yang sehat dan cerdas, karena kualitas pemimpin akan dilahirkan dari rakyat yang berkualitas.

Adab menjadi rakyat sangat minim diajarkan, padahal ilmunya tersebar dalam berita kitab suci dan dunia riset ilmu pengetahuan. Adab sebagai rakyat harus diajarkan agar kesalahan-kesalahan dalam organisasi, lembaga, atau negara, tidak terdistribusi ke seluruh sudut kehidupan.

Adab terpenting yang harus diajarkan kepada rakyat adalah adab terhadap pemimpin. Adab mentaati, menghormati, dan menghargai pemimpin. Di dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa taat kepada pemimpin disamakan dengan taat kepada Allah.

“Barangsiapa menaatiku, maka ia berarti menaati Allah. Barang siapa yang tidak mentaatiku berarti ia tidak mentaati Allah. Barang siapa yang taat pada pemimpin berarti ia mentaatiku. Barang siapa yang tidak mentaatiku berarti ia tidak mentaatiku. (HR. Bukhari dan Muslim).

Ketaatan pada pimpinan tidak memiliki syarat keadaan. Ketaatan kepada pemimpin tidak dilihat dari usia, keturunan, kekayaan, dan agama. Ketaatan kepada pemimpin juga tidak melihat kebaikan dan keburukan prilaku pemimpin. Ketaatan kepada pemimpin adalah kemutlakkan dari Tuhan.

Rasulullah saw bersabda; “Nanti setelah aku akan ada seorang pemimpin yang tidak mendapat petunjuk Ku, dan tidak pula melaksanakan sunnah Ku. Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia. Aku Berkata wahai Rasulullah apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu? Beliau bersabda, dengarlah dan taatlah kepada pemimpin mu, walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan taat kepada mereka. (HR. Muslim, No. 1847).

Ibnu Abil ‘Izz mengatakan, “hukum mentaati pemimpin adalah wajib, walaupun mereka berbuat dzalim. Jika kita keluar dari mentaati mereka maka akan timbul kerusakan yang lebih besar dari kedzaliman yang mereka perbuat. Bersabar pada kedzaliman mereka dapat melebur dosa-dosa dan akan melipat gandakan pahala. Allah tidak membuat dzalim pemimpin selain karena kerusakan yang ada pada diri kita sendiri juga. (htttps/rumaysho.com).

Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, ada seseorang yang bertanya kepada Beliau, “kenapa pada zaman kamu ini banyak terjadi pertengkaran dan fitnah (musibah), sedangkan pada zaman Nabi Muhammad saw tidak? Ali ra menjawab, “karena pada zaman Nabi Muhammad saw yang menjadi rakyatnya adalah aku dan sahabat lainnya. Sedangkan pada zamanku yang menjadi rakyatnya adalah kalian. (htttps/rumaysho.com).

Oleh karena itu Allah menetapkan untuk mengubah keadaan kaum menjadi lebih baik, hendaklah mengubah diri sendiri bukan mengubah penguasa yang ada di luar dirinya. Sesuai dengan firman Allah, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. (Ar ra’d, 13:11).

Namun demikian, Rasulullah bersabda, “tidak ada ketaatan dalam rangka maksiat. Kataatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf. (HR. Bukhari, No. 7257). Jadi jelas, ketidaktaatan hanya boleh kepada kemaksiatan bukan pada pemimpin. Maka, pemimpin yang berprilaku buruk, dzalim, selama tidak memerintahkan kepada kemaksiatan, sebagai rakyat terikat ketentuan taat kepada pemimpin.

Ketaatan kepada pemimpin sangat penting dipahami sebagai adab jadi rakyat agar kesalahan tertumpu pada satu titik yaitu pemimpin. Jika kesalahan tertumpu pada pemimpin, maka untuk memperbaikinya sangat mudah yaitu dengan mengganti pemimpin pada periode berikutnya. Itulah adab sebagai rakyat yang hampir terlupakan karena ajaran demokrasi yang tidak berpengetahuan. Wallahu ‘alam.

(Penulis Master Trainer @logika_Tuhan)

Tuesday, August 1, 2017

KEUTAMAAN ILMU LOGIKA


OLEH:
MUHAMMAD PLATO

Membaca buku terjemahan karya Ibn Rusyd dalam mengkritisi buku Republik karya Plato, terdapat kesimpulan dari Ibn Rusyd bahwa ilmu yang harus diajarkan pertama kali adalah logika (al-Manthiq), sebab logika adalah “ilmu yang dapat meluruskan cara berpikir (akal) dari kesalahan”. Kesalahan-kesalahan beramal lahir dari kesalahan-kesalahan berpikir.

Mempelajari filsafat (logika) adalah mempelajari ilmu yang mendasari amal. Seorang pemimpin membutuhkan sekali terhadap ilmu yang menjaga aktivitas berpikirnya dari kesalahan, yang merupakan ilmu yang mendasari amal utamanya, bukan kontemplasi mengenai “kebenaran-kebenaran yang abstrak”. (Ibn Rusyd, 2016).

Pandangan Ibn Rusyd tidak bertentangan dengan keterangan hadis yang mengatakan, “Manusia dibangkitkan kembali kelak sesuai dengan niat-niat mereka”. (HR.-Muslim). Hadis ini bisa jadi dalil yang mendasari pendapat Ibn Rusyd. Niat ada pada tataran ilmu yang bersifat teoritis, dan amal saleh berdiri di atas niat-niat (pandangan-pandangan) baik. 


Untuk itulah Ibn Rusyd mendudukan ilmu logika sebagai ilmu yang pertama-tama harus diajarkan dalam lingkungan pendidikan.  Pentingnya kedudukan ilmu logika sebagai mana keterangan dalam hadis, “niat seorang mukmin lebih baik dari amalnya”. (HR. Al-Baihaqi dan Ar-Rabii'). Ini juga yang mendasari Ibn Rusyd bahwa ilmu lebih priotitas dari pada amal, karena ilmu menerangi amal. Dan amal sudah jadi kemestian menjadi teman sejawat ilmu. Untuk itulah ilmu logika lebih prioritas.

Pendapat ini didasari pula oleh tujuan pendidikan yang menurut Ibn Rusyd, adalah melahirkan pemimpin kota (negara). Pemimpin kota adalah manusia utama yang memiliki kekuatan intelektual dalam mengendalikan hawa nafsu dari amarahnya, dan menundukkan penyimpangan-penyimpangan yang muncul dari syahwatnya, serta menjaga keseimbangan antar keduanya.

Untuk itu pula Ibn Rusyd menyetujui pendapat Plato, untuk mendirikan negara kuat harus mengangkat pemimpin dari kalangan filosof. Para filosof adalah mereka yang mencari pengetahuan mengenai wujud, menyelami tentang hakikatnya, dengan membebaskan diri dari materi. Filosof adalah kaum intelektual yang terbebas dari kebutuhan materi.

Sementara itu, sebab utama terjadinya pertikaian dan permusuhan adalah kepemilikan yang bersifat materi. Para filosof memiliki loyalitas tinggi bukan pada kepentingan pribadi, tetapi pada tugas-tugas mulia yang diembannya. Maka di tangan para filosof moralitas bangsa, pembangunan infrastruktur dan kesejahteraan rakyat bisa diwujudkan. Rakyat pun dituntut untuk loyal bukan pada penguasa tetapi pada pekerjaan sesuai dengan keahliannya masing-masing dengan penuh penghormatan kepada pemimpin yang mengatur negara.

Pelajaran ilmu logika yang mengarahkan manusia terbebas dari materi harus bersumber pada pengetahuan suprarasional. Kitab suci Al-Qur’an yang 1000 persen berisi pengetahuan suprarasional dari Tuhan, belum digali secara maksimal.

Logika berpikir sebab akibat adalah ilmu paling dasar yang harus diajarkan. Disiplin berpikir sebab akibat akan membantu membangun mindset dan karakter manusia calon pemimpin. Berpikir sebab akibat bisa diajarkan dari tingkat usia dini sampai pasca sarjana, disesuaikan dengan tingkat kecerdasan.

Pelajaran logika berpikir sebab akibat bisa diajarkan dengan bentuk permainan angka, huruf, kata, dan kalimat. Objek ilmu logika adalah menghubungkan kejadian  dengan kejadian, objek dengan objek. Dengan menghubungkan kejadian dengan kejadian, kita bisa menemukan pola-pola baku dalam berpikir, dibuktikan dalam kehidupan, kemudian kita sebut pola tersebut sebagai hukum atau ketetapan. Hukum dan ketetapan yang tidak berubah inilah yang kemudian disebut dengan ilmu. Dengan ilmu ini manusia dapat menemukan kesejahteraan hidupnya. Wallahu’alam.

(Penulis Master Trainer @logika_Tuhan)