Diskusi
serius tapi santai terjadi ketika menjelang shalat Isya. Kawan-kawan yang
mengelola yayasan berlatar belakang Islam selalu menjadi teman diskusi. Saat
itu tema diskusi seputar memahami agama dengan rasio. Sudah ditebak, jawaban
mereka adalah tidak semua ajaran agama dapat dirasionalkan. Betulkah seperti
itu?
Salah
seorang kawan yang mengelola yayasan Islam berpendapat tidak semua ajaran agama
dapat dipahami dengan rasio, memahami agama harus dengan keimanan. Sebagai
contoh, peristiwa Isra Mi’raj adalah peristiwa yang tidak bisa dipahami dengan
rasio (logika). Sehingga ketika kabar Isra Mi’raj di zaman Nabi Muhammad saw
beredar, banyak orang-orang yang tidak beriman menjadi murtad.
Dalam
hal ini saya berbeda pendapat dengan kawan saya tentang peristiwa Isra Mi’raj. Menurut
pendapat saya peristiwa Isra Mi’raj adalah peristiwa yang rasional. Mengapa
demikian? Simak penjelasan saya di bawah ini. Perbedaannya terletak dari sudut
mana memahami rasionalitas.
Menurut
pendapat saya, dalam memahami sebuah penomena ada tiga tipe rasinalitas.
Perbedaan tiga tipe terletak pada perbedaan sumber pengetahuan. Hemat saya
sumber pengetahuan terbagi menjadi tiga yaitu pengetahuan yang bersumber dari
nalar, pengamatan (alam), dan Tuhan Sang Pencipta.
RASIONALITAS GENERASI 1
“Pengetahuan
adalah hasil nalar dan nalar adalah pengantar menuju kepadanya”. (Hassan
Hanafi, 2010:279). Bernalar bisa menghasilkan pengetahuan baru. Bernalar adalah
bentuk aktivitas otak dalam berpikir. Aktivitas otak yang paling dasar dalam
bernalar adalah menghubungkan konsep dengan konsep lain, sampai menghasilkan
konsep baru. Jadi nalar adalah sumber pengetahuan.
Sebagai
contoh sederhana dalam kehidupan sehari-hari kita selalu hidup dengan nalar.
Telepon genggam, televisi, camera, internet, jika digabung akan terwujud benda
baru bernama smart phone. Itulah
bukti bahwa nalar dapat menghasilkan pengetahuan baru.
Kebenaran
rasional dalam nalar adalah hubungan sebab akibat langsung. Berikut adalah
contoh kebenaran-kebenaran rasional berdasarkan nalar, “Banjir terjadi karena
hujan lebat. Udara terasa panas karena jumlah pohon semakin berkurang. Nilai
ujian nasionalnya hanya dapat empat karena jarang sekolah”.
Pernyataan-pernyataan
di atas dapat dikatakan rasional karena dapat dipahami melalui hubungan sebab
akibat langsung. Dengan pola ini, orang tidak perlu repot-repot membuktikannya
karena sudah pasti kejadiannya seperti itu.
Inilah
pola rasionalitas generasi pertama. Rasionalitas yang bersumber dari nalar
dengan pola hubungan sebab akibat langsung. Mereka yang menganut pemikiran ini
secara membabi buta disebut aliran rasionalisme. Berpikirnya melulu deduktif.
Bagi
kelompok ini sesuatu yang tidak bisa dipahami dengan nalar maka disebut fiktif.
Kelompok ini tidak menerima kebenaran-kebenaran yang bersifat mukjizat.
RASIONALITAS GENERASI 2
Faktanya
rasionalitas berdasarkan nalar tidak selamanya dapat dipahami. Kadang sesuatu
yang rasional menurut nalar ternyata menyimpang dari kenyataan. Nalar
mengatakan rasional jika ada orang mencuri karena miskin. Faktanya, ada
orang-orang kaya yang mencuri dengan mengkorupsi uang negara, atau menyunat
dana bantuan sosial. Nalar mengatakan orang yang bekerja di lingkungan
departemen agama memiliki tingkat kejujuran tinggi, faktanya departemen agama
termasuk departemen yang tingkat korupsinya tinggi.
Rasionlaitas
generasi kedua berpendapat bahwa sesuatu dapat dipahami dengan jelas jika
sesuai dengan kenyataan. Pengetahuan tentang sesuatu bisa kita pahami dari
keyataan alam. Untuk itu
kebenaran-kebenaran tentang sesuatu hanya bisa dipahami dengan mengamati apa
yang terjadi di dalam kenyataan (alam). Penganut rasionalitas semacam ini
dikenal dengan golongan empirisme, atau materialis. Orang semacam ini
berpikirnya induktif.
Bagi
kelompok ini, sesuatu tidak dapat diterima jika tidak sesuai dengan kenyataan.
Bagi kelompok ini segala sesuatu yang benar harus bisa dibuktikan secara nyata.
Sesuatu yang tidak nyata harus diabaikan, untuk itu Tuhan dianggap tidak ada
karena tidak dapat dibuktikan wujudnya ada.
RASIONALITAS GENERASI 3
Rasionalitas
generasi ketiga adalah mereka yang berpikir dengan menggunakan pengetahuan dari
Tuhan. Panduan mereka adalah pengetahuan dari kitab suci yang diyakini
bersumber langsung dari Tuhan sang pencipta. Ukuran kebenarannya bukan fokus
pada nalar atau kenyataan, tetapi mengikuti pengetahuan yang telah ditetapkan
oleh Tuhan.
Ciri
khas dari kelompok ini adalah menjadikan Tuhan sebagai sebab dari segala
kejadian. Setiap fenomena dipahami sebab-akibatnya dengan memahami penjelasan
(pengetahuan) dari kitab suci. Sekalipun menggunakan pengetahuan dari sumber
kitab suci, kelompok ini tidak menafikan nalar dan kenyataan.
Bagi
kelompok ini semua fenomena yang terjadi di alam ini rasional karena
penyebabnya Tuhan. Dibakar masih hidup, membelah laut, melempar tongkat jadi
ular, menghidupkan orang mati, membelah bulan, semuanya rasional jika sebabnya
Tuhan.
Sekalipun
Tuhan sebagai sebab dari segala sebab, bukan berarti tidak mengakui adanya
kebenaran nalar (rasional) dan kenyataan. Mengobati sakit dengan sedekah
sebagai ajaran Tuhan, ternyata dapat dipahami dengan nalar (rasional), dan
dapat dibuktikan secara nyata. Menjadi orang kaya dengan banyak sedekah,
ternyata dibenarkan oleh mereka yang memiliki kapital melimpah.
Menurut
kelompok ini manusia diberi kesempatan untuk berusaha menggunakan kebenaran
nalar dan kenyataan. Namun jika memiliki keterbatasan dalam memahami sesuatu
hendaknya mengembalikan bahwa semua fenomena sebabnya adalah Tuhan. Itulah rasionalitas
generasi ketiga.
Peristiwa
Isra Mi’raj jika dipahami secara rasional oleh generasi satu dan dua, tidak
akan masuk akal. Namun bagi penganut rasionalitas generasi tiga, peristiwa Isra
Mi’raj bukan hal aneh karena Tuhan sebagai penyebab bisa berbuat apa saja sesuai
kehendaknya.
Rupanya
kawan-kawan saya yang mengelola yayasan Islam salah menggunakan rasionalitas.
Seharusnya orang-orang beragama menganut rasionalitas generasi ketiga. Dengan
demikian kita akan sepakat bahwa memahami agama harus dengan rasio, dengan
rasionalitas generasi ketiga.
Penganut
rasionalitas ketiga tidak berarti menafikan rasionalitas generasi kesatu dan
kedua. Manusia dituntut untuk mengkaji berbagai kemungkinan dengan menggunakan
nalar dan kenyataan. Faktanya perjalanan Isra Mi’raj sedikit-demi sedikit dapat
dipahami dengan nalar dan menjadi kenyataan. Sebab kemurahan Tuhan lah, manusia
diberi sedikit kemampuan untuk mengungkap rahasia alam, itu pun jika manusia
mau berpikir. Wallahu ‘alam.
(Muhammad
Plato, @logika_Tuhan).