Sejarah mencatat bahwa tahun 2010, gunung
Merapi sebagai gunung teraktif di dunia memuntahkan isi perutnya ke bagian
wilayah Jawa Tengah, dan Jogjakarta. Awan panas (wedhus gembel) membakar
ladang-ladang dan rumah-rumah warga. Mereka tidak sempat menyelamatkan
diri, takdir hidupnya berakhir oleh sengatan awan panas ribuan derajat celcius.
Abu ledakan Gunung Merapi berterbangan menjangkau radius 500 KM ke bagian barat
pula Jawa.
Baru saja lepas dari bencana gunung
Merapi, di akhir penghujung tahun 2010, gunung Bromo di Jawa Timur menunjukkan
aktivitasnya menyemburkan abu vulkanik. Walaupun letusannya tidak
sedahsyat letusan gunung Merapi, abu vulaknik yang disemburkan gunung
Bromo merubuhkan rumah dan menutupi tanaman-tanaman milik para petani
hingga tidak bias produksi. Abu yang dihasilkan dari letusan gunung Bromo merugikan para petani karena gagal panen dan pasokan kebutuhan bahan
pokok menjadi terhambat, harga-harga barang melambung tinggi.
Sejarah telah mencatat, tahun 1883 telah
terjadi letusan dahsyat gunung Krakatau, yang menyebabkan ribuan orang jatuh
korban. Akibat
bencana meletusnya gunung Kratakatau, masyarakat Banten sangat terkena
dampakanya. Sawah-sawah mereka hilang menjadi gersang akibat letusan abu
vulkanik gunung Krakatau. Hampir 200.000 nyawa melayang, wabah penyakit, dan
hewan-hewan mati terserang penyakit. Kondisi ini membuat masyarakat Banten
hidup dalam kesengsaraan. (Kartodirdjo, 2015).
Sejarah gunung krakatau berulang, akhir tahun 2018, anak gunung Krakatau meletus menyebabkan tsunami dan memakan
korban ratusan orang. Tsunami terjadi tiba-tiba, disaat orang-orang
sedang lengah. Tsunami akibat letusan gunung Krakatau bergerak tidak terdeteksi.
Dalam sejarah spiritual, gunung
membawa pesan untuk manusia. Pesan itu
bisa kita tangkap dari fakta sejarah di dalam kitab suci Al-Qur’an, “Tatkala Tuhannya
menampakkan diri kepada gunung
itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan”. (Al
A’raaf:143). Dari fakta ini, kita pahami bahwa letusan gunung disebabkan oleh
penampakkan Tuhan kepada gunung, lalu gunung hancur (meletus) meluluhlantakkan segala
apa yang ada di permukaan bumi. Manusia yang menyaksikan dan merasakan
dahsyatnya letusan gunung, meratap memohon ampun kepada Tuhan.
Lalu
apa sebab Tuhan menampakkan diri kepada gunung? Dalam Al-Qur’an dijelaskan, “Dan
sesungguhnya mereka telah membuat makar
yang besar padahal di sisi Allah-lah (balasan) makar mereka itu. Dan
sesungguhnya makar mereka itu (amat besar) sehingga gunung-gunung dapat lenyap karenanya”. (Ibrahim:46). Makar-makar
manusia menyebabkan gunung hancur, dan memberi pesan kepada manusia agar kembali
ke jalan benar dan tinggalkan segala perbuatan buruk.
Gunung punya ikatan kuat dengan kehidupan
masyarakat. Dalam adat Jawa dan Sunda, gunung selalu dikaitkan dengan
tempat-tempat suci. Pada kenyataannya banyak gunung yang dijadikan tempat suci.
Di lingkungan masyarakat Jawa banyak dikenal tempat-tempat suci berkaitan
dengan gunung seperti Gunung Kawi, Gunung Kemukus, dan Gunung Merapi. Walaupun
berbau mitos dan kadang ada perbuatan syirik di dalamnya, dibalik penyucian gunung sebenarnya
ada pesan spiritual yang sering tidak tersampaikan. Pesannya adalah gunung mewakili
dari seluruh alam semesta yang harus kita rawat dan jaga kelestariannya untuk
kelangsungan dan kesejahteraan hidup manusia. Gunung makhluk suci berfungsi sebagai
pertanda, tempat atau media komunikasi antara manusia dengan Tuhan.
Untuk kelangsungan hidup manusia, gunung
memiliki fungsi sebagai rumah tempat berlindung, (Al Araaf:74); sumber
penghidupan, (Ar ra’d:3); sumber air, (An naml:61), pertahanan kemanan, (Thaahaa:80);
menahan goncangan dan tempat berkembang biaknya segala jenis binatang (Lukman:10).
Meletusnya Gunung dapat kita renungi sebagai tanda manusia telah melampaui batas, dan harus kembali memperbaiki diri. Meletusnya Gunung adalah tanda
bahwa Tuhan itu ada, menyaksikan dan memiliki ketentuan pasti. Tuhan telah menampakkan diri kepada gunung, untuk menyampaikan pesan, kembalilah kepada Tuhan mu agar hidup mu sejahtera.
Lalu mengapa Tuhan menampakkan
diri kepada gunung? Budaya
hedonis, gila kekuasaan, pergaulan bebas, peredaran narkoba, prostitusi kekuasaan, pencemaran dan kerusakan lingkungan, telah menjadi kebiasaan. Kita telah
bertindak sekehendak hati dan telah mengabaikan eksistensi Tuhan. Prilaku
ini telah membuat gunung bereaksi takut kepada Tuhan.
Para leluhur menyucikan gunung, bukanlah akal-akalan agar
manusia berlindung kepada gunung. Penyucian gunung adalah cara orang-orang terdahulu, agar manusia menghargai dan menjaga keseimbangan alam untuk kelangsungan hidup dan
kesejahteraan umat manusia. Terpeliharanya gunung dapat menjadi pertanda terpeliharanya
kesejahteraan hidup manusia. Memperbaiki diri, dengan berikap jujur, adil,
amanah, adalah cara manusia memelihara gunung dari kehancuran.
Nabi Muhammad SAW, diutus untuk
menyempurnakan agama, agar ajaran-ajaran yang dibawa turun temurun dari para
leluhur tidak jadi sumber penyimpangan. Untuk itu, sesuai dengan kemampuan berpikir
manusia, Nabi Muhammad SAW diberi mukjizat Al-Qur’an sebagai al-Furqon, untuk membedakan
mana yang benar dan salah.
Mitos adalah cara orang-orang terdahulu menyampaikan pesan Tuhan kepada manusia. Kini, zaman sudah berubah,
ajaran-ajaran berbau mitos telah digeser dengan ajaran-ajaran yang bisa
dijangkau oleh akal. Untuk itu, kitab suci Al-Qur’an diturunkan supaya dibaca,
dipahami dengan akal dan pikiran manusia. Jika tidak, akan banyak manusia berpaling
dari ajaran-ajaran Tuhan terjebak di dunia mitos, berbuat makar dan mengabaikan eksistensi Tuhan. Mari, bertobatlah
seperti Nabi Musa as. dan akhiri perbuatan makar itu. Wallahu ‘alam.
Master Trainer logika tuhan