Saturday, September 15, 2018

KEGAGALAN SANG JENDERAL

OLEH: MUHAMMAD PLATO

Nasehat dalam tulisan ini, saya dapatkan dari Motivator Terbaik di bumi ini, Beliau adalah Khattab ‘Aliyy Suharya. Dia adalah anak saya sendiri, yang meninggal karena penyakit meningitis. Dalam menjelang sekarat beliau mengajari bapaknya (Sang Jenderal di rumah tangga) bagaimana menjadi seorang pemimpin.

Hari Kamis dan Jum’at, saya masih mengantar beliau sekolah. Selama diperjalanan dia bercerita bahwa di sekolah dia dengan seorang temannya setiap hari melaksanakan shalat dhuha. Dia juga melihat ada satu orang guru yang sering shalat dhuha di pagi hari sebelum Istirahat pertama. Saya katakan, itu prilaku yang baik sekali, membanggakan, dan seorang calon pewirausaha harus rajin shalat dhuha. Kemudian permintaan terakhirnya, dia hendak membaca buku Jack Ma, untuk belajar bagaimana menjadi pengusaha. Pada saat akhir khayatnya, buku Jack Ma masih terselip di tas sekolahnya.

Beliau juga cerita, bahwa dirinya di sekolah kerap mendapat ejekan karena badannya gemuk. Namun khawatir saya hilang, karena dia sendiri mengatakan aku tidak peduli dengan ejekan, karena ejekan telah memotivasi dirinya untuk menjadi pengusaha sukses. Dia tahu bahwa kisah-kisah pengusaha sukses lahir karena ejekan-ejekan yang kerap diterimanya. Kedua kalinya bangga saya mendengar ceita anak tersebut. Harapan saya semakin kuat bahwa kelak anak saya akan jadi pengusaha sukses. Cita-citanya ingin jadi pengusaha bis, seperti Pak Haryanto idolanya, pemilik perusahaan bis PO Haryanto.

Menjelang ajal, Beliau menderita sakit panas. Dimulailah pelajaran pertama dari sang Inspirator. Saya menganggap sakit panas adalah sakit biasa yang diderita anak-anak yang dalam waktu satu atau dua hari bisa kembali normal. Saya nasehatkan dia untuk banyak minum dan makan, makan obat maag, dan minum madu, lalu istirahat yang cukup.

MOTIVATOR: KHATTAB 'ALIYY SUHARYA, CITA-CITA PENGUSAHA. SEMOGA HIDUP DAMAI DI SYURGANYA ALLAH swt. 
Panasnya menurun, tapi nafsu makan dan minum hilang. Saya nasehatin supaya mau makan dan minum agar kesehatan cepat pulih. Lalu anak makan nasi lontong beberapa suap dan minum. Inilah awal yang sangat mengenasnya terjadi. Dalam kondisi ini, anak masih disepelekan, kurang diperhatikan,  dengan candaan yang tidak pantas bagi seorang Jenderal di rumah tangga.

Saya tidak mengetahui jika gejala tidak mau makan dan minum adalah tanda bahwa tentara pencabut nyawa sudah bergelombang-gelombang melakukan serangan mematikan ke organ-organ vital. Rupanya saya sebagai jenderal masih belum menyadari kehadiran para pencabut nyawa yang sudah mengincar seluruh organ vital.

Pagi itu saya masih tetap beraktivitas dengan tenang, mengantar istri berdagang di tempat terbuka yang banyak orang berolahraga setiap hari minggu. Setelah memasang tenda, saya lanjutkan berolah raga seperti biasa. Tanpa diketahui, anak saya sedang berjuang melawan berpuluh-puluh ribu pasukan pencabut nyawa. Dia bertempur sendiri, tanpa komando, bantuan, petunjuk dan instruksi dari Jenderal.

Setelah berolah raga saya pulang ke rumah, dan langsung membuka laptop lalu belajar toefl dari youtube. Sementara anak saya masih belum masuk makanan dan minuman. Saya masih belum sadar bahwa gelombang pasukan pencabut nyawa telah berhasil membuat badan anak saya kaku duduk sulit bergerak.

Saya beranjak dari laptop dan mulai membujuk anak saya untuk makan dan minum. Tanpa sadar anak sudah mulai tidak berdaya terhadap pasukan pencabut nyawa, saya mencoba memberi minum satu gelas air madu dengan bantuan sendok. Setengah gelas air madu masuk ke perutnya dengan susah payah.

Setelah itu saya papah anak saya ke meja makan. Begitu sulit badan anak saya digerakkan. Untuk bangun saja perlu perjuangan dengan bantuan tiga orang. Saya belum sadar pasukan pencabut nyawa sudah menyerang bagian perut. Ketika masuk ruang makan, anak saya sudah sulit sekali bergerak. Memorinya masih memerintahkan untuk pergi ke wc dan membuka celana. Tetapi pasukan pencabut nyawa sudah mengeluarkan seluruh kotoran sebelum masuk wc. Kotoran tersebar di mana-mana memenuhi ruang makan dan dapur.

Disinilah kegagalan saya sebagai Jenderal, dalam situasi darurat, dengan hati kasar melemparkan omelan kepada anak saya dan dua kali sentuhan tidak bersahabat. Masih terlihat lirikan anak saya saat itu penuh dengan arti.  Seolah-olah dia ingin mengatakan,  “Ade lagi sekarat papi! Tolong Ade!

Bodohnya sang Jenderal masih dengan hati kasar membawa anak ke kamar mandi. Membersihkan kotoran dengan air hangat dengan hati tidak bersahabat. Anak masih mengeluarkan sisa-sisa kotoran sambil berdiri. Saya perintahkan untuk duduk di kloset supaya nyaman buang air besarnya, dengan tidak bersahabat pula. Untuk kesekian kalinya sang Jenderal tidak sadar bahwa pasukan pencabut nyawa sudah semakin massif menyerang organ-organ vitalnya. Anak saya sudah terlihat limbung dan kehilangan daya ingat.

Sekalipun terlambat, sang Jenderal baru sadar bahwa anaknya (pelabuhannya) sudah mendapat serangan-serangan mematikan dibagian vital yaitu otak. Anak saya sudah terkena serangan kaku duduk, kehilangan daya ingat, sulit komunikasi, dan seluruh kontrol kesadaran hampir lumpuh. Perutnya sudah dikuasai penuh oleh pasukan pencabut nyawa. Sang Jenderal memeluknya dan mulai khawatir. Romannya berubah seperti pecundang.

Evakuasi dilakukan segera  ke rumah sakit terdekat, hitungan nyawanya ternyata hanya tinggal hitungan jam. Sesampainya di klinik, pasukan pencabut nyawa sudah menyerang paru-paru dan hampir ke Jantung. Napasnya sudah tersengal-sengal. Mulutnya kejang dan giginya beradu menimbulkan bunyi menyakitkan. Tiba-tiba semburan darah kotor menyebur keluar dari mulut dan hidungnya. Sang Jenderal belum sadar bahwa itu adalah pertanda pelabuhannya akan musnah dari permukaan bumi.

Evakuasi dilanjutkan ke rumah sakit besar yang terbaik dekat kota. Di tengah jalan rencana berubah tanpa sepengetahuan. Anak dievakuasi ke rumah sakit terbesar tetapi dengan kualitas layanan buruk. Jenderal menyerah karena kondisi daraurat.

Di rumah sakit tersebut, anak sudah masuk ruangan darurat dengan penanganan sesuai prosedur tanpa menjamin bisa sembuh atau tidak. Para penjaga ruang gawat darurat bekerja benar-benar sesuai prosedur tanpa memperhatikan faktor lain. Prosedur sudah dilaksanakan, pekerjaan selesai dan mereka kembali beraktivitas seperti tidak sedang menghadapi situasi darurat.

Napas buatan, selang udara, selang penarik cairan dari lambung masuk melalui mulut dan hidung. Anak saya bernafas dengan tersengal-sengal. Sang Jenderal masih berinisiatif, membacakan ayat-ayat suci Al-Qur’an untuk memotivati dan memberi energi. Terlihat tenang dan detak jantungnya masih bisa dipertahankan. Kondisi detak jantungnya mulai menurun setelah dipindahkan ke ruang rawat sementara. Sang Jenderal tidak bisa mendampingi dalam jarak dekat karena ruangan sumpek dan sempit sehingga tidak punya keleluasaan untuk mendekati telinganya untuk membisikan energi-energi ilahi. Itulah kegagalan Jenderal yang terus menerus diperlihatkan oleh Tuhan. Hingga, kondisi kesadaran anak terus menurun dan berakhirlah sudah harapan hidupnya di dunia fana, jiwanya bangkit hidup di alam baka dengan tenang dan bahagia.

Sang Jenderal baru sadar bahwa pelabuhannya telah mendapat serangan mendadak. Serangan pasukan pencabut nyawa seperti serangan pasukan Jepang menyerang pelabuhan Pearl Harbour di Hawai pada hari minggu pagi 7 Desember 1941. Jenderal Franklin D. Roosevelt baru sadar setelah pelabuhannya bumi hangus oleh pasukan berani mati Jepang.

Peristiwa serangan pasukan pencabut nyawa juga terjadi hari minggu, 9 September 2018. Dalam hitungan jam, serangan-serangan dari kurang lebih 30.000 (data lekosit dari lab) pasukan pencabut nyawa, mematikan organ-organ vital di pelabuhan. Semua sirna, 12 tahun pelabuhan dikembangkan dan dipelihara, punah seketika karena kelalaian sang Jenderal dalam mendeteksi dan memahami adanya serangan pasukan pencabut nyawa.

Maka bukan hancurnya kapal induk yang membuat hati Jenderal terluka, tetapi kegagalannya sebagai seorang Jenderal dalam melaksanakan tugasnya memelihara dan menjaga pelabuhan. Kegagalan ini menjadi motivator sang Jenderal untuk hidup lebih cerdas, waspada, bijaksana, dan selalu siaga. Kegagalan ini menjadi motivator untuk menjadi seorang Jenderal yang selalu penuh perhatian, penuh kasih dan pemelihara tanpa melihat situasi dan kondisi. Kegagalan ini menjadi motivator untuk  menjadi seorang jenderal yang pandai merasa dan selalu terbuka terhadap segala nasihat dari manapun dan dimanapun berada.

Terimakasih Khattab ‘Aliyy Suharya, terimakah Allah swt, saya bangga diajari oleh orang-orang hebat dan dikirim langsung oleh sang Pencipta. Sang Jenderal belajar dan memahami, keluarga dan anggotanya adalah pelabuhan yang harus selalu dijaga, karena keluarga adalah pelabuhan sebagai suplai energi untuk kita bisa bekerja dengan semangat mengabdi untuk negara, dengan gagah perkasa. Itulah energi dari Allah yang disimpan di keluarga. Wallahu ‘alam.

(Master Trainer Logika Tuhan)    

No comments:

Post a Comment