Monday, March 29, 2021

MAU SUKSES? PENUHI JANJI!

OLEH: MUHAMMAD PLATO

“Jangan terlalu banyak berjanji, karena kebanyakan manusia berdusta”. (Muhammad Plato). Quote ini berangkat dari kenyataan bahwa janji adalah sesuatu yang berat. Mengapa demikian? Janji biasanya dinyatakan atas sesuatu yang akan kita lakukan di masa yang akan datang. Sedangkan masa yang akan datang kendalinya di luar kemampuan kita. Nabi Muhammad saw dalam hadis mengatakan bahwa dirinya tidak mengetahui apa yang akan terjadi besok. Ini artinya janji yang kita ucapkan sesungguhnya sesuatu yang tidak mampu kita lakukan. Untuk itu berjanji adalah tindakan yang sangat berisiko.

Janji pun termasuk sesuatu yang harus dipenuhi, tidak memenuhi janji termasuk perbuatan dosa dalam arti akan berdampak buruk pada pribadi seseorang. Orang-orang yang tidak punya komitmen pada janji cenderung kurang dipercaya, sehingga berdampak pada aspek kesejahteraan seseorang. Jabatan, pekerjaan, harta kekayaan, dititipkan kepada orang-orang terpercaya.

Menepati janji termasuk bagian dari shalatnya seseorang. Di dalam A-Qur’an (Al Maidah, 05:106) dijelaskan bahwa makna shalat adalah komitmen seseorang terhadap sesuatu yang akan dia tunaikan. Untuk itu, janji yang tidak ditunaikan sama dengan tidak menunaikan shalat.

Nabi Muhammad saw menyampaikan ajaran dari Allah apa bila hendak mengerjakan sesuatu di masa yang akan datang, hendaklan memohon pertolongan kepada Allah, dengan mengucapkan insya Allah. “dan mereka tidak mengucapkan: "Insyaa Allah", (Al-Qalam, 68:18). Kata insya Allah adalah sebuah bentuk penyerahan diri, kerendahan diri, atau permohonan, agar Allah memberi kemampuan untuk menunaikan janji yang hendak dilakukan.

Ketika manusia berjanji ada kewajiban untuk memenuhinya. “Hai Bani Israel, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu, dan penuhilah janjimu kepada-Ku niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu; dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk). (Al Baqarah, 2:40).

Sebenarnya peringatan untuk memenuhi janji bukan untuk kepentingan Allah. Sebagaimana Allah mengabarkan bahwa Allah punya ketetapan khusus, hanya kepada orang-orang yang memenuhi janji Allah akan memenuhi janjinya. Oleh karena itu, ketika manusia tidak memenuhi janjinya sebenarnya manusia telah menahan rezekinya, keberkahannya, dan kesuksesannya sendiri. Jadi bagi manusia-manusia berpikir, sebenarnya memenuhi janji bukan untuk kepentingan orang lain, tetapi untuk kepentingan dirinya sendiri. Allah tidak memaksa hanya memberi rambu-rambu kepada manusia untuk memenuhi janjinya. Bagi orang-orang berpikir tentu dapat memahaminya mengapa Allah menetapkan untuk memenuhi janji.  

Allah tidak akan menghukum orang yang tidak menepati janji, hanya konsekuensi logis orang-orang yang tidak menepati janji akan mendapat kesulitan demi kesulitan dalam hidup. Namun demikian bagi orang-orang yang berserah diri, memohon pertolongan, meminta kekuatan kepada Allah dengan ‘Insya Allah” agar bisa memenuhi janjinya, bagi dia tidak ada keburukan karena sebelumnya telah menetapkan diri sebagai makhuk lemah, tidak ada daya upaya dan mengakui semua atas kekuasaan Allah, maka orang-orang tersebut rezekinya sudah ada dalam tanggungan Allah.

 Sumpah jabatan, ikrar, fakta integritas, perjanjian, MOU, adalah janji-janji kita kepada Tuhan. Penuhilah janji-janji mu niscaya Aku memenuhi janji Ku kepadamu. Janji-janji Allah kepada orang yang taat kepada Nya adalah kesejahteran, karir, kesuksesan, kekayaan, kedamaian, ketenangan, ketentraman, kematian yang mudah, mati dalam kebaikan, alam kubur yang menyenangkan dan surga di sisi Tuhan. Bagi orang-orang berpikir, memenuhi janji bukan lagi menjadi beban tetapi menjadi target yang harus dicapai demi untuk mendapat kesejahteraan dari Tuhan YME. Semoga Allah memberi kemampuan kepada siapa saja untuk memenuhi janji-janjinya. Wallahu’alam.

Friday, March 26, 2021

BUMI TEMPAT IBADAH

OLEH: MUHAMMAD PLATO

Ketika orang menyebut bangunan masjid sebagai tempat ibadah, maka ajaran reduksionisme telah menjadi sudut pandang orang dalam beragama. Ketika bentuk ibadah hanya dikategorikan dengan shalat maka reduksionisme telah digunakan kembali oleh orang beragama dalam memahami kata ibadah.

Pandangan-pandangan reduksionisme ini telah menyempitkan konsep-konsep dalam ajaran agama yang hakikatnya bersifat menyeluruh karena ajaran agama datang dari Tuhan Yang Maha Luas Pengetahuannya tidak sama dengan cara pandang manusia. Ketika manusia sudah memosisikan diri menjadi pemiik-pemilik konsep maka agama menjadi ajaran kerdil yang kadang tidak disukai sesama manusia.  

Konsep ibadah dijelaskan Allah dalam Al-Qur’an, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada Ku (liya’budun).” (Adz Dzaariyat, 51:56). Konsep ibadah sangat general tidak terbatas pada satu kegiatan tertentu. Kata ibadah menaungi seluruh perbuatan manusia yang dialamatkan sebagai bentuk ketaatan, ketundukan manusia atau jin kepada Tuhan.

Setiap shalat kita selalu membaca, “Katakanlah: "Sesungguhnya shalat, ibadah (wanusuki), hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam,” (Al An’aam, 6:162). Beribadah menjadi tujuan Tuhan menciptakan jin dan manusia. Ibadah menjadi ruang besar yang menaungi seluruh aktivitas manusia di muka bumi.

Shalat adalah bagian dari ibadah. Jika ibadah diidentikkan dengan kegiatan ritual shalat maka seluruh aktivitas manusia selain shalat menjadi bukan ibadah. Untuk itu mengkerucutkan makna ibadah ke dalam ritual shalat sama dengan mengkerdilkan ajaran agama, dan menghilangkan makna spiritual kehidupan. Mengkerdilkan makna ibadah hanya dalam bentuk ritual shalat sama dengan menyempitkan bumi yang suci hanya sebatas bangunan-bangunan masjid.

Pemahaman sempit dalam memberi makna ibadah sebatas ritual shalat telah menghilangkan kesucian hidup manusia dan menghilangkan sebagian besar bumi sebagai masjid untuk manusia. Pemahaman ibadah sebagai ritual shalat atau ritual keagamaan telah mengiring manusia menjadi setan-setan ketika berada di luar bangunan masjid. Laut, sungai, gunung, lembah, bukit, pasar, kantor, mall, dan tempat rekreasi menjadi tempat beredarnya suluh neraka. Laut menjadi tempat sampah, sungai tempat pembuangan limbah, gunung jadi tempat ekpoitasi sumber energi, kantor tempat korupsi, sekolah tempat jual beli, pasar tempat monopoli, dan mall tempat pemenuhan hasrat konsumsi. Sedikit sekali orang-orang yang beribadah di dalam bangunan masjid, dan banyak sekali orang-orang di pasar, mall dan tempat-tempat rekreasi.

Ibadah adalah narasi besar tujuan hidup manusia. Shalat hanya bagian kecil dari ibadah. Kita kembalikan kesucian hidup manusia menjadi sebuah peribadatan kepada Tuhan dalam segala aspek kehidupan. Dengan demikian bumi ini menjadi tempat ibadah. Pasar, mall, gunung, laut, sungai, pabrik, kantor, sekolah, di manapun berada jika kita mengingat Tuhan dan berbuat baik dengan jujur ketika di pasar, meindungi gunung, laut, dan sungati, bekerja untuk melayani orang di kantor, belajar mencari ilmu di sekoah, semua adalah ibadah.

Jika manusia berpendangan bahwa seluruh hidup manusia adalah untuk beribadah, maka peribadatan tidak akan hanya terbatas di dalam masjid-masjid, tetapi ketika berada di seluruh muka bumi ini. Jika tujuan manusia diciptakan untuk beribadah maka seluruh bumi ini adalah masjid. Di manapun berada kapan pun, kewajiban manusia adalah berbuat baik. Dengan pemahaman ini, sikap manusia akan menjadi ramah terhadap lingkungan alam dan manusia, karena kegiatan ibadah ada di mana-mana.

Untuk itulah pentingnya membedakan makna ibadah dengan shalat.  Ibadah adalah tujuan seluruh hidup manusia, dan shalat adalah partikel dari unsur ibadah. Jangan mengecilkan makna yang besar dan jangan membesarkan makna yang kecil. Kerusakan di muka bumi ini diawali dari kegagalan manusia dalam memahami hakikat kehidupan.

Jadi bumi ini adalah tempat beraktivitas manusia, dan tujuan hidup manusia adalah ibadah. Maka bumi ini adalah masjid. Sungai adalah masjid. Laut adalah masjid. Gunung adalah masjid. Kantor, sekolah, pasar, mall, jalanan, semua tempat adalah masjid. Untuk itu karena semua masjid, dimanapun kita harus tetap beribadah. Walahu’alam.

Saturday, March 13, 2021

KARAKTER CURANG

OLEH: MUHAMMAD PLATO

Allah mengabarkan manusia memiliki karakter curang.  Ciri karakter curang dikategorinkan dalam sebuah tindakan dalam sebuah perniagaan. “orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (Al mutaffifiin, 83:3-4).

Kesehariannya karakter ini bisa kita saksikan dalam aktivitas perdagangan. Ketika menjual ingin mengurangi, ketika membeli ingin dipenuhi. Dalam sebuah perjuangan, ketika berkorban ingin sekecil-kecilnya, ketika giliran keuntungan ingin sebesar-besarnya. Dalam dunia kerja, karakter ini juga sering terjadi ketika bekerja ingin seringan ringannya, tetapi ketika merima upah menuntut sebesar-besarnya.  Dalam berkomunikasi, orang selalu ingin mendapat apresiasi tetapi ketika giliran mendengar, orang sering abai pada pendapat orang lain. Dalam bersosialisasi di masyarakat orang selalu menilai prilaku orang lain terlihat salah matanya, tetapi ketika orang lain melihat dirinya tidak ingin dinilai buruk.

Untuk itulah mengapa gibah atau menceritakan keburukan-keburukan orang lain sangat dilarang. Gibah adalah karakter curang yang secara tidak sadar mengaktifkan karakter buruk yang ada dalam diri manusia. Gibah sama dengan karakter curang karena ketika menilai orang selalu salah, dan ketika orang lain menilai dirinya selalu ingin baik. Jika karakter curang ini tanpa sadar terus diaktifkan tanpa disadari kita telah mengukir karakter buruk pada diri kita sendiri.

Di sinilah kecerdasan akal manusia harus terus diasah untuk memehami ayat-ayat Al-Qur’an untuk sampai bisa diimplementasikan sehari-hari. Surat Al Mutaffifii, jarang diungkap secara general yang bisa memandu kita dalam setiap aspek kehidupan. Kebanyakan tafsir surat ini berkaitan dengan dengan perdagangan di pasar saja, padahal jika kita kaji dari ilmu pendidikan, ayat ini bercerita tentang unsur karakter curang yang terdapat dalam setiap pribadi manusia. 

Jadi apa yang dikabarkan Allah dalam Al-Qur’an itulah karakter manusia yang harus dipahami. Karakter curang tidak bisa dihilangkan namun perlu dikendalikan dan dijaga keseimbangannya. Karakter curang adalah perbuatan melampaui batas yang sudah ditetapkan oleh Tuhan. Orang-orang yang melampaui batas adalah yang prilakunya secara nyata curang dan berdampak hingga merugikan orang lain. 

Jadi, karakter curang tidak parsial terjadi pada aktivitas jual beli di pasar. Karakter curang terjadi pada semua aspek kehidupan. Karakter curang menjadi bagian dari kehidupan manusia. Karakter curang adalah naluri setiap manusia. Karakter ini dikatakan sebagai prilaku puzur yang ada dalam setiap jiwa manusia sempurna. Secara psikologis setiap manusia memiliki potensi berpilaku curang. Sejujur-jujurnya orang pasti ada prilaku curangnya.

Prilaku curang yang sering dilakukan manusia setiap hari adalah menilai orang lain selalu salah dan menginginkan orang lain menilai dirinya benar. Prilaku ini terjadi ketika orang membicarakan keburukan orang lain, ketika orang mengungkap aib orang lain, ketika orang menyebarkan berita tentang keburukan orang lain, dan ketika orang mengampanyekan keburukan orang lain, sementara kita semua tidak ingin keburukan dan kekurangan kita diketahui orang lain. Inilah prilaku curang yang sulit dihindari dalam pergaulan sehari-hari, kecuali orang-orang yang diberi pengetahuan dan menyadarinya.

Para pengkritik jika tidak dibarengi dengan kebaikan-kebaikan yang telah dilakukannya, akan bergerak menjadi orang-orang berkarater curang. Jika tidak dikendalikan, para pengkritik akan bergeser menjadi orang-orang yang berkarakter curang karena terlalu fokus pada keburukan orang lain, dan lupa pada kemampuan diri sendiri. Wallahu’alam.