Konsep pemikiran terdahulu
mengatakan, untuk mencari agama tertua, kita harus mencari suku-suku tertua
yang masih hidup di dunia. Apa yang diyakini suku tertua tersebut itulah agama
yang mereka anut. Jika kita menemukan suku yang menyembah fenomena alam sebagai
komunitas primitif di bumi, maka agama yang dianutnya sebagai yang paling kuno.
Dengan konsep berpikir ini,
sebagian besar masyarakat percaya bahwa agama paling tua di dunia adalah agama
yang mengakui kekuatan pada fenomena alam, seperti animisme, dinamisme, dan
politeisme. “Pola berpikir ini dipengaruhi oleh kultur ilmiah yang telah
mendidik kita untuk memusatkan perhatian hanya kepada dunia fisik dan material
yang hadir dihadapan kita”. (Amstrong, 2013). Manusia lebih sadar pada apa yang
mereka lihat secara fisik dan material, dan tidak sadar bahwa lebih banyak
hal-hal ghaib yang ada disekitarnya.
Konsep pemikiran lain adalah
agama yang dianut manusia mengikuti perkembangan zaman. Auguste Comte membagi
zaman menjadi tiga fase yaitu teologis, metafisis, dan positif. Comte
berpendapat bahwa asal usul fase teologis bermula dari fetisisme, diikuti
politeisme, dan berakhir pada monoteisme. (Taslaman, 2010).
Dengan teori ini, Comte seolah-olah
ingin berpendapat bahwa keberagamaan manusia hanya berada pada fase teologis
yang terbagi menjadi tiga fase yaitu fetisisme, politeisme, dan monoteisme. Selanjutnya,
setelah masyarakat meyakini agama monoteis, secara bertahap masyarakat akan beralih
ke masa metafisik, dan akhirnya menjadi masyarakat positif, dimana sains
mengambil alih agama.
Pola pikir diatas telah diajarkan
di sekolah-sekolah berabad-abad di dunia Barat, hingga sampai ke bangku sekolah
kita mulai dari tingkat usia dini sampai perguruan tinggi. Belum sepenuhnya
disadari bahwa kita sedang mengajarkan generasi kita menuju masyarakat positif
yang dicita-citakan oleh Comte, yaitu masyarakat yang meninggalkan kepercayaan
kepada Tuhan, menjadi masyarakat yang hanya percaya kepada kebenaran fisik dan
material.
Dari pola pikir di atas,
disimpulkan bahwa masyarakat yang percaya pada Tuhan adalah masyarakat primitif
yang terbelakang berabad-abad tahun lalu. Muncul stigma negatif bahwa mereka
yang masih percaya Tuhan dianggap kuno, dan tidak akan bisa hidup sesuai dengan
perkembangan zaman. Kenyataannya seolah-olah dibenarkan oleh kondisi kaum
agamawan aliran anti keduniawian yang tampil miskin dan penuh kesederhanaan.
Pola hidup ini semakin tidak diminati oleh generasi-generasi muda yang sudah
diajarkan hidup dengan kemewahan, kemudahan, dengan penerapan berbagai macam
teknologi. Kalau tidak Atheis, generasi Barat memilih Agnostik. Pengaruh ini
mulai ke kita melalui berbagai saluran seperti pendidikan. Tanda-tandanya mulai
dengan meninggalkan nilai-nilai kebenaran yang bersumber dari Tuhan (wahyu),
menggantinya dengan teori-teori ilmiah hasil dari penelitian yang meyakini
kebenaran dari apa yang dilihat secara fisik dan material.
Pemikiran sekuler yang melihat
dunia sebagai entitas terpisah, ikut membenarkan bahwa antara tipe masyarakat
satu dengan lainnya hidup berdasarkan karakteristiknya masing-masing. Oleh
karena itu masyarakat teologis seolah-olah terpisah dari masyarakat ilmiah.
Inilah kesalahan berpikir yang
diajarkan di sekolah-sekolah secara turun temurun berabad-abad. Kini setelah
dunia mengalami krisis, kerusakan alam dan kemiskinan merajalela, menyebarnya
penyakit mematikan akibat hubungan seks bebas, dan turunnya kualitas moral
masyarakat, mulailah muncu kesadaran. Telah terjadi kesalahan berpikir,
sehingga manusia terlepas dan mengabaikan keberadaan Tuhan. Pengetahuan yang
bersumber dari Tuhan tidak dijadikan sebagai sumber pengetahuan untuk
dipikirkan dan dianggap sebagai khayalan, layaknya mitos dan cerita legenda.
KEMBALI KE JALAN BENAR
Karen Amstrong (2013) dalam
bukunya, “Sejarah Tuhan”, telah membantu meluruskan kita ke jalan yang benar bahwa
pada mulanya manusia meyakini satu Tuhan sebagai sebab pertama dari segala
sesuatu dan penguasa langit dan bumi. Pendapat Amstrong didasari oleh teori
yang dipopulerkan oleh Wihelm Schmidt dalam buku The Origin Of The Idea of God, yang terbit tahun 1912. Schmidt
menyatakan bahwa telah ada suatu monoteisme primitif sebelum manusia mulai
menyembah banyak dewa. Pada awalnya mereka mengakui hanya ada satu Tuhan Tertinggi,
yang telah menciptakan dunia dan menata urusan dunia.
Caner Taslaman (2010)
mempertegas bahwa kebanyakan agama dunia hanyalah versi menyimpang dari
monoteisme. Penuhanan terhadap alam penyebab lahirnya konsep Tuhan monoteis,
adalah tidak masuk akal, karena sebelum orang menjadikan kekuatan alam sebagai
tuhan, orang tersebut terlebih dahulu harus sudah mengenal “Tuhan”.
Logisnya, penyimpangan terhadap
agama monoteisme menjadi politeisme, seiring dengan perjalanan waktu, karena manusia
memvisualisasikan Tuhan dengan metafora. Jalan pikirannya seperti berikut,
“Tuhan adalah pencipta, dia seperti ibuku.”, “Tuhan adalah segala sesuatu, Dia
bagaikan bumi”. Itu sebab lahirnya
agama politeisme.
Selanjutnya dalam setiap tahapan
sejarah, sudah ada gagasan satu Tuhan. Pada setiap tahapan sejarah selalu
terjadi, agama monoteisme ditentang oleh penyembah bulan atau matahari. Pada
zaman sekarang, agama monoteis mendapat penentangan dari kaum komunis atau
positivis. Pada akhirnya penentang monoteis selalu mengalami kegagalan, dan
keyakinan pada satu Tuhan bertahan selamanya.
Jadi gambaran perubahan
masyarakat secara evolusi yang dikemukakan oleh Comte, sudah tidak relevan
lagi. Setiap tahap-tahap sejarah, masalah teologis selalu mewarnainya bukan
suatu yang terpisah seperti yang disangkakan kaum evolusionis.
Penulis punya kesimpulan baru
bahwa perjalanan hidup manusia mengikuti sebuah siklus, silih berganti, atau timbul
tenggelamnya agama monoteisme dengan politeisme. Ujung dari siklus ini adalah
monoteisme. Diprediksi pada pada abad sekarang sebagai masa redup dari agama
politeisme, dan segera akan mulai muncul kesadaran masyarakat untuk kembali
kepada agama monoteisme.
Pemilik keyakinan terhadap agama
monoteisme, tidak lagi akan dianggap sebagai masyarakat tertinggal dan kuno.
Sebaliknya masyarakat berperadaban akan dicirikan sebagai masyarakat dengan
keyakinan terhadap agama monoteisme. Wallahu ‘alam.