Sunday, January 30, 2022

Dua Gejolak Jiwa Manusia

Oleh: Muhammad Plato

“Sifat dasar manusia cepat meniru hal buruk, banyak alasan untuk berbuat baik”. Fakta ini bukan sekedar kata-kata tapi dapat diukur dalam kenyataan. Secara faktual banyak hal terlihat banyak hal buruk dalam kehidupan ini, dan terlihat sedikit hal-hal baik. Untuk itu bagi orang-orang yang berusaha berbuat baik, secara fisik dunia ini terasa sempit. Dalam Hadis dikatakan bahwa dunia ini seperti penjara bagi orang-orang beriman.

Syekh Abdul Qadir Jailani (2018, hlm. 235) membagi dua gejolak hati, yaitu jasmani dan rohani. Gejolak jasmani dikendalikan oleh hawa nafsu, dan gejolak rohani dikendalikan oleh nurani yang bersumber pada kebajikan dari Allah. Sebagaimana pada awal penciptaan Adam, akan ada iblis dan malaikat yang punya karakter berbeda. Secara jasmani hawa nafsu sangat mendominasi kehidupan dunia, dan minoritas nafsu-nafsu terkendali.

Dua gejolak hati pada manusia adalah takdir untuk manusia sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur’an, “maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, (Asy Syams, 91:8).  Jalan kefasikan dipengaruhi oleh setan, dan jalan ketakwaan dipengaruhi oleh malaikat. Para Nabi adalah pembawa pesan menuju jalan-jalan ketakwaan.

Seklipun kekuatan jalan buruk seperti menguasai mayoritas kehidupan dunia, namun sesungguhnya energi penggerak kehidupan dunia ada di kekuatan orang-orang beriman. Kisah-kisah terdahulu para Nabi selalu dikabarkan dalam Al-Qur’an, kekuatan kecil orang-orang beriman selalu mengalahkan kekuatan besar dari orang-orang kafir yang menuhankan diri dan kelompoknya. Inilah kabar gembira bagi orang-orang beriman, dalam kehidupan dunia jangan terlalu risau dengan kekuatan jumlah, tetapi risaulah dengan kualitas keimanan diri sendiri.

Orang yang punya niat baik selalu memiliki kekuatan dua kali lipat dari orang yang berniat buruk. Mengapa demikian? Karena niat baik selalu didampingi malaikat dan Allah, sedangkan orang yang berniat buruk hanya diampingi setan. Untuk itulah dalam kisah-kisah heroik sejarah pada Nabi, kelompok kecil orang-orang baik selalu berhasil mengalahkan kekuatan orang-orang yang berniat buruk.

Manusia tidak akan lepas dari dua gejolak jiwa yang didampingi nafsu dan nurani. Tidak ada manusia yang lepas dari godaan nafsu jasmani, namun karena kekuatan ruhani selalu dua kali lipat dari kekuatan jasmani, manusia selalu bisa menjaga keseimbangan gejolak jiwanya. Untuk menjaga keseimbangan gejolak jiwa, Nabi Muhammad dalam hadis mengatakan, “ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik”. Karena ada logika, jika perbuatan buruk berkekuatan satu maka kekuatan perbuatan baik bernilai dua. Kekuatan setan selalu berwujud dalam bentuk fisik, sedangkan kekuatan Allah dan malaikatnya ada dalam wujud keyakinan hati dan pikiran.

Tugas manusia adalah menjaga keseimbangan gejolak jiwa. Dalam menjaga keseimbangan orang-orang beriman selalu cepat dalam melaksanakan perbuatan baik dan mengambil pelajaran, sementara orang-orang yang condong pada kesesatan selalu banyak alasan dan mengarah pada fitnah. Maka tidak ada kekhawatiran bagi orang-orang yang mengadakan perbaikan, karena kebaikan selalu berbalas kebaikan. Allah mengabarkan gejolak jiwa orang beriman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal,” (Al Anfaal, 8:2).

Sebaliknya orang-orang yang cenderung pada kesesatan, gejolak hatinya selalu mengarah pada fitnah dengan menganggap dirinya tahu tentang kebenaran. Allah mengabarkan dalam Al-Qur’an, “Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah...” (Ali Imran, 3:7)

Hidup manusia adalah pertarungan antara dua gejolak jiwa. Kesuksesan dan kegagalan semuanya Allah takdirkan ada dalam jiwa manusia itu sendiri. Beruntunglah bagi orang-orang yang gemetar jiwanya karena beriman, belajar, berpikir, dan tetap merasa bodoh dihadapan Allah. Wallahu’alam. 

Sunday, January 23, 2022

AKAL DAN HATI ADALAH BERHALA

OLEH: MUHAMMAD PLATO

Puncak dari keimanan seseorang adalah keyakinan haqul yakin, yaitu keyakinan yang tidak ada ada pertanyaan dari akal, dan tidak ada lagi keraguan hati. Rupanya keimanan akan terus mengalami pasang surut mengikuti pembenaran dari akal dan ketetapan dari hati. Keimanan yang kita bangun, demikian juga keyakinan tidak lepas dari berfungsinya akal dan hati.

Sehabis subuh, sambil berdzikir melakukan refleksi diri. Teringat pada isi buku Abdu Kadir Jailani, dia mengatakan, “akal dan nafsu kita adalah berhala”. Berhala ini bisa menghalangi kita untuk taat kepada Tuhan. Bisa juga berhala ini menjadi kendaraan kita untuk menjadi manusia pengabdi kepada Tuhan. Akal dan nafsu hanya sebatas alat, tergantung pada pengetahuan dan lingkungan mana yang banyak memengaruhinya.

Kebanyakan Muslim, kadang kurang pengetahuan tentang kitab suci dan sunnah Rasulnya. Kekurangan pengetahuan menyebabkan segala sesuatu pengetahuan tentang agamanya di serahkan kepada seseorang yang belum tentu pengetahuannya banyak tentang kitab suci dan hadist. Akibat kekurangan pengetahuan, akal dan hatinya diserahkan kepada seseorang untuk dikendalikan mengikuti apa kata orang itu tanpa ada pikiran kritis dari akal, dan tanpa ada lagi keraguan dari hati. Sementara kualitas orang yang diserahi akal dan nafsu hati itu tidak dijamin menjadi orang yang selalu benar.

Membangkitkan pertanyaan di akal atau menghadirkan keraguan dalam hati, bukan untuk mempertanayakan adanya Tuhan, tetapi mempertanyakan tentang isi pikiran akal kita, dan keimanan yang ada dalam hati kita, apakah sudah benar-benar memiliki keimanan kepada Tuhan yang satu-satunya wajib diimani? Atau selama ini kita telah beriman karena dilandasi bukan keimanan pada Allah tetapi dilandasi karena madzab, aliran, kelompok, kepentingan, kecintaan pada manusia, dan lain-lain.

Ternyata berhala itu ada dalam akal dan hati kita sendiri. Hakikat berhala bukan gunung, laut, pohon, patung, atau  teknologi. Semua yang kita lakukan diputuskan oleh akal dan didorong oleh hati. Dua berhala ini sangat bertanggung jawab atas apa-apa yang kita lakukan di dunia. Dua berhala inilah yang kelak akan diadili Tuhan di hari perhitungan.

Dua berhala ini harus kita kendalikan dengan memperbanyak pengetahuan-pengetahuan tentang kebajikan yang bersumber pada kitab suci, dan hadits, dikombinasikan dengan pengetahuan-pengetahuan rasional empiris. Kebenaran kitab suci jangan dibatasi dengan kebenaran rasional akhirat belaka, tetapi kitab suci membawa kebenaran-kebenaran rasional empiris. Kebenaran-kebenaran sains yang bersumber pada kebenaran rasional empiris dibutuhkan untuk meningkatkan keimanan. Kebenaran-kebenaran rasional akhirat adalah kabar baik yang tetap akan membangun harapan manusia tidak akan pernah pudar dan selalu optimis.

Dua kebenaran yaitu kebenaran rasional empiris dan rasional akhirat harus berpijak pada pengetahuan yang kita yakini sumbernya dari Tuhan. Kitab suci, hadits harus kita elaborasi untuk memadukan rasional empiris dan rasionl akhirat dapat memandu cara pandang pikiran dan perasaan kita dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang timbul dalam kehidupan di dunia.

Akal dan hati itu berhala yang bisa membawa kehidupan manusia pada kesesatan. Akal dan hati yang melekat pada tubuh adalah pengendali seluruh kehidupan kita. Jadi sesat dan tidaknya manusia bukan bersumber pada luar diri manusia, tetapi bersumber pada manusia itu sendiri. Tugas manusia agar selalu berada di dalam lingkaran kebaikan maka menciptakan lingkungan yang baik untuk dirinya dengan memperbanyak bacaan-bacaan yang baik, kitab suci, hadits, ilmu pengetahuan, dan membuat kelompok-kelompok yang cinta pada kebaikan, yaitu ulama, kiyai, filsuf, guru, budayawan, relawan, dll. Kelompok ini dibentuk bukan untuk membuat kekuatan politik atau persaingan, tetapi membangun hubungan baik dengan orang-orang yang punya keberanian untuk mengingatkan diri kita jika kita melakukan kesalahan.

Akal dan hati adalah berhala yang kita waspadai, bukan berarti harus kita benci dan hindari, tetapi harus kita rawat keduanya agar bisa jadi kendaraan kita menuju kehidupan terbaik dikehidupan akhirat.  Merawat akal dan hati adalah dengan memberi input pengetahuan-pengetahuan yang baik tentang kebajikan yang pondasinya bersumber pada kitab suci, hadits, dan kebenaran-kebenaran rasional empiris, agar seluruh tindakan yang kita dilakukan selalu berada di jalan Tuhan. Namun selama kita hidup tidak akan pernah ada kata akhir dalam pencarian, kecuali setelah kematian. Jadi selama kita hidup tidak akan ada kemutlakkan 100 persen, harus dibukakan peluang untuk melakukan perubahan mungkin 5 persen, 10 persen, bahkan mungkin sampai 30 persen. Dengan demikian akal dan hati kita akan selalu terjaga dari sifat-siat setan yang memberhalakan dirinya seperti Tuhan. wallahu’alam.