Etika adalah salah satu dari cabang ilmu filsafat. “Etika
terkait erat dengan “cara berpikir” (way of thought) manusia pada
umumnya. Jika cara berpikir seseorang berbeda, keseluruhan pengalaman hidupya
akan berbeda. Ia tidak saja akan berprilaku berbeda tetapi memiliki pikiran,
perasaan, sikap, dan keinginan berbeda. Oleh karena itu, tindakan etis manusia
tidak dapat dipisahka dari “cara berpikir”nya”. (Abdullah, 2002, hlm. 38).
Al Ghazali adalah tokoh pemikir muslim yang sangat mendasari
pemikirannya dengan agama, demikian juga dengan Imanuel Kant. Kedua tokoh ini
tidak dikategorikan sebagai tokoh positivisme modern, tetapi keduanya sama-sama
mengkritik terhadap doktrin metafisika, dogmatis, spekulatif, dan mengakui
pentingnya etika rasio praktis diatas rasio teoritis. Etika mistik Al-Ghazali, terkenal di di mayoritas
masyarakat muslim, dan etika rasional Kant masih didiskusikan di dunia Barat. (Abdullah,
2002, hlm. 36, 39).
Al Gazhali memandang keliru terhadap kelompok yang menggeluti
teologi dengan metafisika., untuk itu Al Ghazali memilih mistisisme. Menurut W.R.
Inge, mistisisme adalah pikiran yang menjalin hubungan batin dengan Tuhan. Al
Gazhali menolak rasio sebagai “prinsip pengarah” dalam tindakan etis manusia.
Al-Gazhali memilih “wahyu” melalui intervensi ketat dari syaikh atau “pembimbing
moral” sebagai pengarah utama bagi orang-orang pilihan dalam mencapai keutamaan
mistik. (Abdullah, 2002, hlm. 41).
Imanuel Kant dalam penolakannya terhadap metafisika,
memperkenalkan konsep tentang konstitutif akal budi (constitutive use of mind).
Melalui konsepsi ini, Kant menegakkan keabsahan kebenaran pengetahuan dan
prosedur untuk memperolehnya. Gagasan Kant tentang constitutive use of mind,
berkaitan erat dengan pemahaman kausalitas beliau terhadap kausalitas alam
maupun moral. (Abdullah, 2002, hlm. 42-43)
logika tuhan adalah way of thought or constitutive use of mind (Muhammad Plato) |
Al Ghazali dan Kant sama-sama menolak metafisika-dogmatik. Al
Gahzali pada akhirnya menemukan etika mistik ketika melihat Tuhan diakhirat
sebagai perhatian utama. Kant dalam pemikirannya sampai pada poin adanya etika
rasional dan mengakui Tuhan sebagai jaminan utama bagi postulat praktisnya. Kant
dalam rasionalitasnya memberi ruang keimanan dan keabadian menjadi kerangka
umum dalam pemikiran Kant. Berdasarkan etika rasionalnya, Kant memberi kemungkinan
adanya hukum universal (universal law) jika motif pengungkapannya pantas menurut kehendak setiap
makhluk rasional.
Menurut kedua pemikir kausalitas dalam alam dan dalam
moralitas manusia saling berhubungan erat. Al-Gazhali menggarisbawahi ide
tentang hukum yakni hukum religius, tetapi tidak pernah membolehkan intervensi
hukum rasional. (Abdullah, 2002, hlm. 84).
Bagi Al Ghazali saran utama manusia menuju kebahagiaan ada
dua, amal baik lahiriah dan amal baik batiniah. Amal baik lahiriah berupa
ketaatan kepada aturan-aturan tingkah laku yang diwahyukan dalam kitab suci.
Kondisi hati secara batiniah lebih penting dalam pandangan Tuhan dari pada amal
baik lahiriah dan lebih mendatangkan pahala. Hal ini menjadi ciri khas logika
mistik Al Ghazali. (Abdullah, 2002, hlm. 70).
Sisi paling penting dari Al Ghazali dalam menolak metafisika
rasional adalah penekanannya pada ketidakmampuan rasio manusia untuk menangkap
secara akurat penyelesaian secara memuaskan perosalan-persoalan metafisika dan
teologi. Al Ghazali lebih menekankan pada realitas Tuhan sebagai yang
berkehendak, Tuhan sebagai pelaku yang berkehendak. Al Gazhali hanya bersandar
pada wahyu untuk memperoleh pengetahuan metafisikanya. Al Ghazali sangat menjaga
hadirnya keabadian di alam karena akan melanggar prinsip monotheisme. (Abdullah,
2002, hlm. 62-65)
Al Ghazali dan Kant sama-sama menjadikan wahyu (kitab suci)
sebagai sumber pemikiran. Al-Ghazali menjadikan wahyu dengan bimbiangan ketat
dari syaikh atau “pembimbing moral” sebagai pengaruh utama bagi orang-orang
pilihan dalam mencapai keutamaan mistik. Logika yang dikembangkan Al Ghazali dikategorikan
sebagai logika tertutup karena dipengaruhi bayang-bayang pembimbing moral. Kehadiran
pembimbing moral inilah yang menyebabkan sulit lahirnya pemikir-pemikir baru
dikalangan umat Islam. Pembimbing moral ini bermutasi ke dalam kitab-kitab yang
ditulisnya, sehingga pemikir-pemikir baru di dunia muslim banyak yang gugur
karena bertentangan dengan pembimbing moral mereka yang telah ditetapkan dalam
kitab-kitab yang ditulisnya. (Abdullah, 2002, hlm. 41)
Sementara Kant dengan
konsep constitutive use of mind, Kant telah membuka pemahaman tentang
prosedur dalam menemukan dan mengabsahkan kebenaran. Kant masih memberi peluang
peran “subjek” manusia dalam memperoleh pengetahuan pada posisi yang tepat.
(Abdullah, 2002, hlm. 42). Imanuel Kant bukan
pemikir rasional murni, karena beliau berpendapat membuktikan wujud Tuhan
melalui rasio adalah tidak mungkin, tetapi menurut Kant, menolak juga tidak
mungkin. Hanya saja Kant mengusulkan untuk memisahkan secara total pengetahuan
dan agama, dengan membatasi keduanya menjadi wilayah-wilayah yang berbeda. (Abdullah,
2002, hlm. 55-56). Logika yang dikembangkan Kant dikategorikan logika terbuka
karena memberi peluang subjek manusia untuk memahami dan mengetahui kebenaran
melalui rasionya.
LOGIKA TUHAN adalah ilmu berpikir (etika) yang mengacu kepada petunjuk
Tuhan, bersumber pada wahyu. Sumber pemikiran ini sama dengan pandangan Al Ghazali
maupun Imanuel Kant. Logika Tuhan sebagai petunjuk berpikir, konsepnya sama
dengan way of thought yang dikemukakan oleh Amin Abdullah. Sebagaimana
Kant, logika Tuhan dikembangkan dengan memberi peluang kepada subjek untuk
memahami kebenaran, tetapi tidak mengabaikan para pembimbing moral sebagai
penyeimbang. Pembimbing moral ini dimulai dari hadis shahih Nabi Muhammad saw dan
para pemikir terdahulu. Dalam konsep logika Tuhan, mengakui adanya fungsi
konstitutif akal budi (constitutive use of mind) sebagaimana dikemukakan
oleh Kant, dan tidak menutup kemungkinan adanya hukum-hukum universal yang bisa
dibenarkan oleh rasio setiap manusia. Kausalitas
adalah metode akal untuk memahami kebenaran dengan merujuk pada Tuhan sebagai causa
prima, dan mengatur kausalitas di alam. Logika tuhan tidak membatasi
pengetahuan dengan agama, keduanya digunakan untuk membantu rasio dalam
menemukan kebenaran. Logika tuhan tidak membatasi keterikatan antara
pengetahuan dan keimanan. Keimanan harus dilandasi pengetahuan baik yang
diketahui ataupun yang tidak diketahui karena milik Tuhan. Wallahu’alam.