Sunday, October 20, 2019

AL-GHAZALI, IMANUEL KANT, LOGIKA TUHAN

Etika adalah salah satu dari cabang ilmu filsafat. “Etika terkait erat dengan “cara berpikir” (way of thought) manusia pada umumnya. Jika cara berpikir seseorang berbeda, keseluruhan pengalaman hidupya akan berbeda. Ia tidak saja akan berprilaku berbeda tetapi memiliki pikiran, perasaan, sikap, dan keinginan berbeda. Oleh karena itu, tindakan etis manusia tidak dapat dipisahka dari “cara berpikir”nya”. (Abdullah, 2002, hlm. 38).

Al Ghazali adalah tokoh pemikir muslim yang sangat mendasari pemikirannya dengan agama, demikian juga dengan Imanuel Kant. Kedua tokoh ini tidak dikategorikan sebagai tokoh positivisme modern, tetapi keduanya sama-sama mengkritik terhadap doktrin metafisika, dogmatis, spekulatif, dan mengakui pentingnya etika rasio praktis diatas rasio teoritis.  Etika mistik Al-Ghazali, terkenal di di mayoritas masyarakat muslim, dan etika rasional Kant masih didiskusikan di dunia Barat. (Abdullah, 2002, hlm. 36, 39).

Al Gazhali memandang keliru terhadap kelompok yang menggeluti teologi dengan metafisika., untuk itu Al Ghazali memilih mistisisme. Menurut W.R. Inge, mistisisme adalah pikiran yang menjalin hubungan batin dengan Tuhan. Al Gazhali menolak rasio sebagai “prinsip pengarah” dalam tindakan etis manusia. Al-Gazhali memilih “wahyu” melalui intervensi ketat dari syaikh atau “pembimbing moral” sebagai pengarah utama bagi orang-orang pilihan dalam mencapai keutamaan mistik. (Abdullah, 2002, hlm. 41).

Imanuel Kant dalam penolakannya terhadap metafisika, memperkenalkan konsep tentang konstitutif akal budi (constitutive use of mind). Melalui konsepsi ini, Kant menegakkan keabsahan kebenaran pengetahuan dan prosedur untuk memperolehnya. Gagasan Kant tentang constitutive use of mind, berkaitan erat dengan pemahaman kausalitas beliau terhadap kausalitas alam maupun moral. (Abdullah, 2002, hlm. 42-43)

logika tuhan adalah way of thought or constitutive use of mind (Muhammad Plato)  
Al Ghazali dan Kant sama-sama menolak metafisika-dogmatik. Al Gahzali pada akhirnya menemukan etika mistik ketika melihat Tuhan diakhirat sebagai perhatian utama. Kant dalam pemikirannya sampai pada poin adanya etika rasional dan mengakui Tuhan sebagai jaminan utama bagi postulat praktisnya. Kant dalam rasionalitasnya memberi ruang keimanan dan keabadian menjadi kerangka umum dalam pemikiran Kant. Berdasarkan etika rasionalnya, Kant memberi kemungkinan adanya hukum universal (universal law) jika motif  pengungkapannya pantas menurut kehendak setiap makhluk rasional.

Menurut kedua pemikir kausalitas dalam alam dan dalam moralitas manusia saling berhubungan erat. Al-Gazhali menggarisbawahi ide tentang hukum yakni hukum religius, tetapi tidak pernah membolehkan intervensi hukum rasional. (Abdullah, 2002, hlm. 84).

Bagi Al Ghazali saran utama manusia menuju kebahagiaan ada dua, amal baik lahiriah dan amal baik batiniah. Amal baik lahiriah berupa ketaatan kepada aturan-aturan tingkah laku yang diwahyukan dalam kitab suci. Kondisi hati secara batiniah lebih penting dalam pandangan Tuhan dari pada amal baik lahiriah dan lebih mendatangkan pahala. Hal ini menjadi ciri khas logika mistik Al Ghazali. (Abdullah, 2002, hlm. 70).

Sisi paling penting dari Al Ghazali dalam menolak metafisika rasional adalah penekanannya pada ketidakmampuan rasio manusia untuk menangkap secara akurat penyelesaian secara memuaskan perosalan-persoalan metafisika dan teologi. Al Ghazali lebih menekankan pada realitas Tuhan sebagai yang berkehendak, Tuhan sebagai pelaku yang berkehendak. Al Gazhali hanya bersandar pada wahyu untuk memperoleh pengetahuan metafisikanya. Al Ghazali sangat menjaga hadirnya keabadian di alam karena akan melanggar prinsip monotheisme. (Abdullah, 2002, hlm. 62-65)

Al Ghazali dan Kant sama-sama menjadikan wahyu (kitab suci) sebagai sumber pemikiran. Al-Ghazali menjadikan wahyu dengan bimbiangan ketat dari syaikh atau “pembimbing moral” sebagai pengaruh utama bagi orang-orang pilihan dalam mencapai keutamaan mistik. Logika yang dikembangkan Al Ghazali dikategorikan sebagai logika tertutup karena dipengaruhi bayang-bayang pembimbing moral. Kehadiran pembimbing moral inilah yang menyebabkan sulit lahirnya pemikir-pemikir baru dikalangan umat Islam. Pembimbing moral ini bermutasi ke dalam kitab-kitab yang ditulisnya, sehingga pemikir-pemikir baru di dunia muslim banyak yang gugur karena bertentangan dengan pembimbing moral mereka yang telah ditetapkan dalam kitab-kitab yang ditulisnya. (Abdullah, 2002, hlm. 41)

Sementara Kant  dengan konsep constitutive use of mind, Kant telah membuka pemahaman tentang prosedur dalam menemukan dan mengabsahkan kebenaran. Kant masih memberi peluang peran “subjek” manusia dalam memperoleh pengetahuan pada posisi yang tepat. (Abdullah, 2002, hlm. 42). Imanuel Kant  bukan pemikir rasional murni, karena beliau berpendapat membuktikan wujud Tuhan melalui rasio adalah tidak mungkin, tetapi menurut Kant, menolak juga tidak mungkin. Hanya saja Kant mengusulkan untuk memisahkan secara total pengetahuan dan agama, dengan membatasi keduanya menjadi wilayah-wilayah yang berbeda. (Abdullah, 2002, hlm. 55-56). Logika yang dikembangkan Kant dikategorikan logika terbuka karena memberi peluang subjek manusia untuk memahami dan mengetahui kebenaran melalui rasionya.

LOGIKA TUHAN adalah ilmu berpikir (etika) yang mengacu kepada petunjuk Tuhan, bersumber pada wahyu. Sumber pemikiran ini sama dengan pandangan Al Ghazali maupun Imanuel Kant. Logika Tuhan sebagai petunjuk berpikir, konsepnya sama dengan way of thought yang dikemukakan oleh Amin Abdullah. Sebagaimana Kant, logika Tuhan dikembangkan dengan memberi peluang kepada subjek untuk memahami kebenaran, tetapi tidak mengabaikan para pembimbing moral sebagai penyeimbang. Pembimbing moral ini dimulai dari hadis shahih Nabi Muhammad saw dan para pemikir terdahulu. Dalam konsep logika Tuhan, mengakui adanya fungsi konstitutif akal budi (constitutive use of mind) sebagaimana dikemukakan oleh Kant, dan tidak menutup kemungkinan adanya hukum-hukum universal yang bisa dibenarkan oleh rasio setiap manusia.  Kausalitas adalah metode akal untuk memahami kebenaran dengan merujuk pada Tuhan sebagai causa prima, dan mengatur kausalitas di alam. Logika tuhan tidak membatasi pengetahuan dengan agama, keduanya digunakan untuk membantu rasio dalam menemukan kebenaran. Logika tuhan tidak membatasi keterikatan antara pengetahuan dan keimanan. Keimanan harus dilandasi pengetahuan baik yang diketahui ataupun yang tidak diketahui karena milik Tuhan. Wallahu’alam.

(Head master Trainer)

No comments:

Post a Comment