Monday, January 2, 2023

HUBUNGAN MENDENGAR DENGAN KEKAFIRAN

OLEH: MUHAMMAD PLATO

Mendengar adalah kompetensi dasar yang dimiliki manusia-manusia berkualitas tinggi. Budaya mendengar dikenal sebagai budaya orang Jepang. Di Jepang, anak-anak mereka diajari mendengar sejak usia dini. Hasilnya hingga dewasa budaya mendengar terpelihara dengan baik di masyarakat Jepang.

Dari hasil penelitian, "komunikasi efektif, menjadi permasalahan orang Indonesia. Mereka masih awam terhadap budaya komunikasi efektif dan kurang keterampilan mendengar dalam berkomunikasi, sehingga mengakibatkan mereka lebih banyak “berpendapat untuk mengemukakan masalah” daripada “berpendapat untuk memecahkan masalah” (Sari, 2016).

Budaya mendengar dibutuhkan oleh masyarakat, karena budaya mendengar menjadi awal dari terbentuknya masyarakat berperadaban. Mendengar saat musyawarah, rapat, webinar, seminar, workshop, kuliah, adalah kompetensi penting dimiliki. Dalam ilmu komunikasi mendengar adalah bagian penting jika ingin terjalin komunikasi baik. Kesepahaman antar kelompok akan terjadi jika kedua kelompok mau saling mendengar. Kegiatan mendengar akan menuntut orang berpikir karena dengan mendengar informasi diserap dan disimpan dalam otak, kemudian diolah menjadi pemikiran. Orang-orang yang rajin mendengar otaknya dinamis dan kreatif. 

  

Jika kita telusuri dari penjelasan Al Quran, ternyata mendengar berkaitan dengan keimanan dan kekafiran. Mendengar adalah kompetensi manusia berkualitas tinggi. Manusia-manusia yang mau mendengar dikategorikan sebagai orang-orang beriman, dan manusia yang tidak mendengar dikategorikan sebagai manusia kafir (tertutup dari kebenaran).

Secara psikologis, otak bisa menerima informasi karena mendengar. Melalui pendengaran informasi bisa masuk ke dalam memori di otak. Informasi itu kemudian diproses dan tersimpan. Pendengaran adalah pintu masuknya pengetahuan ke otak. Menjadi pendengar yang baik, adalah tindakan positif karena otak akan banyak menginput pengetahuan. Semakin banyak input pengetahuan ke otak, maka semakin tinggi kualitas pemikiran seseorang. 

Budaya mendengar merupakan budaya manusia berkelas tinggi, yang digambarkan oleh Allah di dalam Al Quran sebagai orang-orang beriman. Manusia-manusia pendengar termasuk orang-orang yang berkualitas tinggi, karena meniru sifat Allah yaitu maha mendengar. Dunia pendidikan merupakan upaya terencana agar manusia memiliki sifat-sifat dasar sebagai pembentuk karakter unggul. Melatih para siswa untuk membiasakan mendengar adalah kompetensi dasar dalam membentuk manusia-manusia unggul. 

Orang-orang yang tidak mau mendengar dikategorikan sebagai manusia kelas rendah. Manusia kafir dikatergorikan sebagai manusia yang tidak punya kompetensi mendengar dengan baik. Sedangkan manusia bertakwa adalah mereka yang mau mendengar dan mau memikirkan informasi yang diprolehnya. 

Kadang sering kita saksikan, ketika kita menjadi pendengar diuji, berapa lama kita bisa menjadi pendengar? Kalau hanya bertahan lima menit saja untuk mendengar, betapa rendahnya kualitas dan kuantitas pengetahuan yang masuk ke dalam otak kita. Maka orang-orang yang tidak bisa bertahan lama untuk mendengar, otaknya akan kekurangan asupan pengetahuan. Orang yang tidak punya kompetensi mendengar, bukan seorang pembaca yang baik. Kualitas orang yang tidak punya kompetensi mendengar, dia akan terus mengalami penurunan kualitas mental dan bukan saja membahayakan dirinya sendiri tetapi membahayakan kehidupan orang lain. 

Tingginya budaya jujur, disiplin, teratur, dan kerja keras masyarakat Jepang, berbanding lurus dengan budaya mendengar yang dimiliki masyarakat Jepang. Karakter masyarakat berperadaban tinggi, memiliki kemampuan mendengar dalam waktu lama. Semakin lama kemampuan mendengar sebuah  masyarakat, semakin tinggi peradaban masyarakat tersebut. Demikian juga, semakin lama kemampuan mendengar seseorang, semakin tinggi kualitas intelektual seseorang.  

Dan perumpamaan orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka mereka tidak mengerti. (Albaqarah, 2:171).

Kebiasaan sebagai pendengar yang efektif akan menghasilkan beberapa hal yang positif, antara lain: Pendengar yang baik akan disukai orang lain karena mereka dapat memuaskan kebutuhan dasar manusia untuk didengarkan. Kinerja atau prestasi kerja seseorang meningkat ketika pesan yang diterima tersebut dapat dimengerti dengan baik. Umpan balik (feedback) yang akurat dari bawahan (karyawan) akan berdampak positif pada prestasi kerjanya. (Sari, 2016).

Keterampilan mendengar jadi kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang konselor, pendidik, dan siswa. Konsoler dapat memanfaatkan kemampuan mendengarnya untuk meringankan stres yang dialami seseorang. Hasil riset menjelaskan orang-orang yang merasa stres mengalami penurunan tingkat stres karena curhatannya ada yang mendengarkan (Fitriana dan Rosyidi, 2021). 

Manajer dan karyawan akan terhindar dari munculnya kesalahpahaman dalam penyampaian suatu pesan. Pendengar yang baik akan dapat memisahkan mana fakta dan mana yang sekedar gosip. Pendengar yang baik memiliki kecenderungan membuka ide-ide baru dari pihak lain, sehingga hal ini mendorong berkembangnya kreativitas. Pendengar yang efektif juga akan dapat menghasilkan prestasi kerja yang baik dan peningkatan kepuasan kerja. Kepuasan kerja meningkat karena mereka tahu apa yang terjadi, kapan mereka mendengar, dan kapan mereka berpartisipasi di dalamnya, tumbuh dari komunikasi yang baik (Sari, 2016). 

Kualitas mendengar terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu mendengar isi, kritis, dan empatik. Mendengar isi artinya memahami apa yang disampaikan orang lain. Mendengar kritis artinya menyimak secara logis, menilai kualitas argumen, validitas, kesimpulan yang dihasilkan, dll. Mendengar empatik, artinya aktivitas memahami karena menghargai terlepas dari perbedaan sudut pandangnya. Orang-orang yang tidak punya kompetensi mendengar Allah sebut sebagai orang-orang yang tidak mengerti, bodoh, dungu, atau kafir. Jangan-jangan kita kafir hanya karena gagal untuk mendengar.***



No comments:

Post a Comment