Monday, February 7, 2022

AL-QUR’AN KITAB PENDIDIKAN

Oleh: Muhammad Plato

Al-Qur’an jika kita renungkan adalah kitabnya para pandidik. Sejarawan memendang Al-Qur’an adalah sumber primer dalam bentuk fakta mental (mentifact). Seluruh isi Al-Qur’an mengandung pelajaran untuk manusia yang mau memikirkanya. Konsep pendidikan di dalam Al-Qur’an adalah mengajarkan kepada manusia untuk melakukan refleksi diri karena karena seluruh kejadian yang diterima secara individu maupun kelompok adalah hasil dari perbuatannya.

Utusan-utusan itu berkata: "Kemalangan kamu itu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu mengancam kami)? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampaui batas". (Yasin, 36:19).

Konsep dasar ini banyak dijelaskan di dalam Al-Quran dalam berbagai kasus. Pada intinya manusia punya kebiasaan menyalahkan orang lain, dan bagi orang-orang yang diberi petunjuk setiap kejadian yang menimpa dirinya akan menjadi bahan refleksi diri. Inilah konsep berpikir yang harus diajarkan para pendidikan pada siswa. Konsep dasar ini menjadi pola berpikir baku dan sudah menjadi takdir atau ketetapan dari Allah. Manusia-manusia yang terlalu fokus pada kesalahan orang lain adalah manusia tidak terdidik dan melampaui batas yang sudah ditetapkan oleh Allah.

Jika kita mengacu kepada Al-Qur’an sedikitnya ada tiga dasar pendidikan yang harus diajarkan yaitu, membaca, keyakinan pada Tuhan, dan bersedekah atau berbuat baik pada sesama. Gagasan ini dimulai dari perintah membaca (Al ‘Alaq, 96:1), keyakinan pada Tuhan, dan bersedekah (Al Baqarah, 2:3). Tiga gagasan ini menjadi konsep dasar pendidikan yang harus diajarkan dalam berbagai macam materi ajar, media dan pendekatan pembelajaran.

Pertama; Mengapa membaca (literasi) menjadi dasar pendidikan? Secara filosofis segala yang dapat dilakukan dan diciptakan oleh manusia sumbernya adalah pengetahuan. Abas & Wekke (2019) mengatakan bahwa agama sebenarnya bersumber dari pengetahuan. Keyakinan pada Allah sumbernya pengetahuan, dan teknologi yang diciptakan sumbernya pengetahuan. Arwani (2012) menjelaskan bahwa Tuhan sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran, dan manusia sebagai aktor pencari pengetahuan. Dalam teori fenomenologi, pengetahuan diketahui berdasarkan kesadaran orang yang mengalaminya, karena itu penngetahuan hanya dapat diamati oleh orang yang mengalaminya (Asih, 2005). Dari sudut pandang fenomenologi, kesadaran seseorang tentang sebuah pengetahuan menjadi tanggung jawab seseorang. Ide ini berkaitan dengan pengajaran Al-Qur’an, bahwa segala sesuatu pada akhirnya menjadi tanggung jawab pribadi.

Dasar pendidikan kedua; keyakinan pada Tuhan yang ghaib. Keyakinan pada Tuhan yang ghaib implementasinya adalah percaya pada pengetahuan yang diturunkan dari Tuhan yaitu kitab suci yang substansinya tentang adanya kehidupan setelah kematian yaitu akhirat. (baca: Al Baqarah, 2:4). Berkeyakinan pada Allah pemilik pengetahuan dan alam akhirat, pada prakteknya harus  menjadi ide ajaran etika dan moral dalam kehidupan sehari-hari manusia. Alam akhirat yang dijelaskan Allah sebagai alam kekal menjadi pembangun harapan dan optimisme manusia untuk berbuat kebajikan atas nama Tuhan. Allah mengatakan orang-orang yang hidup dengan keyakinan pada Tuhan, alam akhirat, dan berbuat baik pada sesama, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang beruntung. “Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung”. (Al Baqarah, 2:5).

Eksistensi Tuhan harus dijadikan sebagai wujud segala pengharapan manusia. Segala sesuatu yang dikerjakan manusia di muka bumi harus bersandar pada pengharapan baik yang digantungkan pada Tuhan. “dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap” (Alam Nasyrah, 94:8). Erich Fromm (1968) dalam bukunya “Revousi Harapan” menjelaskan harapan adalah hasrat atau keinginan. Harapan kepada rumah, mobil, perkakas, bahkan ke masa depan sejarah adalah berhala. Harapan ini harapan-harapan palsu yang diciptakan manusia yang dimulai pada masa Revolusi Perancis. Harapan bersifat paradoksional. Bukan pekerjaan pasif, tetapi keadaan yang siap setiap saat menunggu kedatangan yang akan datang, dan sekalipun tidak datang tidak putus asa. Psikologi harapan ini hanya bisa diwujudkan ketika manusia berharap kepada Tuhan sebagai pemberi harapan.

Dasar pendidikan ketiga; menngeluarkan sebagai harta atau sedekah. Konsep sedekah bermakna luas yaitu hidup bermanfaat bagi sesama. Sedekah adalah karakter yang dapat membentuk manusia-manusia penyejahtera yang akan menjadi khalifah di muka bumi. Karakter sedekah harus menjadi pola pikir (mindset) yang dipraktekkan dalam kebiasan-kebiasan memberi diajarkan dalam bentuk pendidikan karakter atau pembiasaan. Murakami (2013, hlm. xix) menjelaskan manusia tersusun dari banyak sel. Di dalam sel tertulis kode rahasia yang luar biasa banyaknya. Salah satu cara untuk mengaktifkan DNA yang baik yaitu hidup dengan memikirkan kepentingan orang lain dan untuk kebaikan dunia, berpikir optimis dan bersyukur. Hidup memikirkan orang lain, berpikir optimis, dan bersyukur adalah bawaan yang terdapat dalam kode DNA.

Mengeluarkan sebagian harta yang diajarkan dalam kitab suci Al-Qur’an, berkaitan dengan mengaktifkan DNA baik, untuk membentuk karakter manusia-manusia penyejahtera yang sudah terdapat dalam kode DNA-nya manusia. Memberi akan membawa efek positif pada pikiran dan perasaan, serta mendatangkan sikap-sikap bersyukur dalam arti menerima dan mengoptimalkan sesuatu yang telah dimilikinya menjadi lebih bermanfaat untuk orang lain.

Itulah tiga konsep dasar pendidikan yang dapat dijadikan rujukan dalam pengembangan manusia-manusia berkualitas di dunia pendidikan. Saatnya untuk mengkaji lebih dalam lagi konsep dan teori pendidikan yang bersumber dari kitab suci Al-Qur’an sebagai kitab pendidikan untuk melahirkan manusia-manusia unggul penyejahtera kehidupan dunia. Direkomendasikan adanya riset-riset pengembangan lebih lanjut. Wallahu’alam.

No comments:

Post a Comment