Wednesday, June 28, 2023

Bolehkah Menyesatkan Keyakinan Orang Lain?

Oleh: Muhammad Plato

Bolehkan kita menyesatkan keyakinan orang lain? Saya akan membahasnya dari berbagai sisi, dan yang lebih utama saya gunakan sumber primer ajaran Islam yaitu Al Quran. Melalui pendekatan hubungan antar teks, kita coba pahami, siapa yang sesat dan berhak menyesatkan keyakinan seseorang.

Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (Ali Imran, 3:7).

Berdasarkan informasi ayat di atas, kebenaran sudah Allah jelaskan dalam ayat-ayat muhkhamaat dan orang-orang sesat adalah mereka yang hatinya condong pada kesesatan, dan mereka mengikuti ayat-ayat mutasyaabihaat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya. Kesesatan yang dapat dilihat adalah ketika seseorang meninggalkan pokok-pokok isi Al Quran. Pokok-pokok kebenaran yang dijelaskan di dalam Al Quran dan hadis adalah shalat, zakat, sedekah, puasa, ibadah, haji, berbakti pada ibu bapak, musyawarah, menyantuni anak yatim, fakir miskin, larangan berzina dan mencuri, berlaku jujur, bersikap lemah lembut dan sabar, taat pada Allah, rasul, dan pemimpin, dll.

Hal yang paling pokok dalam beragama Islam adalah meyakini bahwa Allah Tuhan Yang Maha Tunggal, dan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah. Selama orang Islam punya keimanan kepada yang pokok ini, kedudukan harus dihormati dan dihargai. Diperlakukan dengan lemah lembut, dan harus diajak lebih banyak musyawarah. 

Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya (An Nisaa, 4:114)

Lalu siapa yang paling berhak dan mengetahui kesesatan seseorang? Allah berkehendak atas apa yang terjadi pada setiap niat, pemikiran, dan prilaku manusia.

Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman. (Al An'aam, 6:125).

Dalam etika berdiskusi, tidak boleh kita menyalahkan pendapat orang lain. Ketika kita menyalahkan orang lain, kita sudah pada posisi yang tidak boleh kita berada di situ yaitu posisi Allah sebagai pemilik kebenaran. Dalam berdiskusi yang boleh kita lakukan adalah memberi bantahan dengan hikmah, atau penjelasan yang bisa dipahami akal bersumber pada Al Quran, hadis, dan lebih baik dilengkapi penjelasan dari hasil kajian ilmiah agar semakin meyakinkan. 

Untuk itu, orang-orang yang layak berdiskusi adalah mereka yang sudah memiliki kapasitas keilmuan, dan memahami betul tentang etika berdiskusi, yang tidak boleh mencemooh, menyerang kekurangan, kelainan fisik, keturunan, dll. 

Sekalipun kita berada dalam kebenaran, namun ketika kita menyesatkan orang lain, kita masih terjebak pada sifat-sifat setan yaitu sombong, merasa benar, merasa lebih pintar, dll. Maka, tugas kita di muka bumi, agar lebih banyak orang-orang mengenal jalan Tuhan, sebanyak-banyaknya kita harus menarasikan kebenaran dari Allah dengan membuktikan bahwa kebenaran-kebenaran dari Allah akan membawa manusia kejalan damai dan hidup sejahtera di dunia dan akhirat. Wallahu'alam. 


No comments:

Post a Comment