Oleh: Muhammad Plato
Tasawuf bukan agama, tapi pemikiran dalam memahami agama. Dasar dari ilmu tasawuf adalah interpretasi terhadap Al Quran dan hadis. Interpretasi ini kemudian berkembang menjadi kelompok di masyarakat dan melembaga menjadi punya penganut fanatik.
Menurut Hasan Al Bashri (642-728 M) "Tasawuf adalah dunia yang kosong dari hawa nafsu dan penuh dengan cahaya kesadaran terhadap akhirat." Tasawuf mengajarkan cara hidup sederhana dengan penuh ketakwaan.
Menurut Rabi’ah al-Adawiyah (w. 801 M), tokoh perempuan sufi terkenal, punya pendapat "Aku menyembah Allah bukan karena takut neraka atau berharap surga, tapi karena cinta kepada-Nya." Inti tasawuf adalah cinta murni kepada Allah, tanpa pamrih. Ia menolak ibadah yang didorong oleh rasa takut atau harapan duniawi.
Al-Junayd al-Baghdadi (830–910 M) – disebut sebagai Imam Tasawuf. Menurut pendapatnya, "Tasawuf adalah bahwa Allah mematikanmu dari dirimu dan menghidupkanmu dengan-Nya."
Jadi, tasawuf bukan agama tapi pemikiran dari para pemikir untuk membantu umat manusia memahami agama Islam. Namun ketika kita memahami pemikiran-pemikiran orang terdahulu, semuanya berada di tanggung jawab pribadi masing-masing.
Kuncinya kembali pada penjelasan ayat Al Quran tidak ada paksaan dalam beragama atau pendapat tentang agama. "Tidak ada paksaan untuk agama; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al Baqarah, 2:256).
Pemikiran-pemikiran dalam memahami agama seiring waktu berkembang berubah menjadi seolah-olah doktrin agama. Setiap pemikiran, memiliki kelompok-kelompok pendukung, sehingga timbul saling curiga, saling menjatuhkan, dan memicu konflik.
Agama tidak lagi menjadi milik umat, dicuri oleh tokoh-tokoh mengatasnamakan agama dengan dukungan pengikut yang banyak. Tokoh-tokoh pencuri mengatasnamakan ajaran agama memosisikan dirinya berlebihan sebagai kelompok yang benar tanpa cela, dan kelompok yang lain salah.
Ajaran agama Islam sesungguhnya adalah Al Quran dan hadis. Al Quran dan hadis dipahami berdasarkan latar belakang setiap orang. Pemahaman seseorang tentang Al Quran dan hadis dipengaruhi oleh guru, bacaan, lingkungan pendidikan, keluarga, media, dan dan informasi yang sering diakases.
Di era informasi terbuka sekarang, sebaiknya setiap orang sadar bahwa tidak ada manusia, kelompok, yang punya otoritas dari Allah sebagai penguasa mutlak ilmu agama. Setiap manusia diberi ilmu sesuai dengan kapasitas ilmunya masing-masing.
Melalui bantuan teknologi informasi, semua orang diberi peluang belajar mandiri memahami ajaran agama. Setiap orang bisa berguru kepada siapa saja tanpa melihat latar belakang kelompok. Hal yang dibutuhkan orang saat ini adalah keterampilan berpikir kritis membandingkan berbagai pemikiran agama Islam yang ada dan memilih mana yang sesuai dengan kondisi lingkungan, geografi, budaya, dan tujuan hidup.
Setiap orang beragama khususnya Islam, pasti punya tujuan hidup yang sama, yaitu ingin hidup sejahtera di dunia dan akhirat. Sudah saatnya merenungi kembali pemikiran agama, tokoh-tokoh pemikir agama, yang tidak membuat kita hidup sejahtera di dunia dan akhirat.
Melalui bantuan teknologi informasi, ilmu sudah menjadi milik masyarakat, tidak ada lagi monopoli pemahaman dan pemaksaaan. Semua orang bisa berpendapat dan memilih argumen yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
Budaya menghormati pendapat orang lain harus dikedepankan dan budaya diskusi saling tukar pikiran harus terus dihadirkan di ruang-ruang publik dengan tidak menghakimi tapi saling mengklarifikasi, bertukar data, fakta, dengan merujuk pada sumber.***
No comments:
Post a Comment