Sunday, July 5, 2015

SURAT TERBUKA UNTUK PROFESOR MUSLIM



Kening saya berkerut, ketika mengikuti sebuah rapat koordinasi Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) tingkat Provinsi. Ada seorang Profesor bercerita bahwa dirinya sedang membimbing disertasi calon doktor. Kandidat doktor menjadikan ayat Al-Qur’an sebagai landasan teori dalam risetnya. Pak Profesor menyuruh kandidat doktor beristigfar, karena tidak pantas Al-Qur’an dijadikan sebagai dasar teori. Bagi Pak Profesor, menjadikan ayat Al-Qur’an sebagai dasar teori adalah pelecehan terhadap Al-Qur’an sebagai kalam Tuhan. Pak Profesor segera merekomendasikan kepada si calon doktor untuk mengubah disertasinya dan mendelet Al-Qur’an dari dasar teorinya.

Pendapat Pak Profesor ini dikemukakan di sela-sela forum rapat ICMI tingkat Provinsi Jawa Barat. Saya lihat tidak ada yang menyanggah pendapat Pak Profesor. Saya tidak tahu, apakah semua diam karena setuju dengan pendapat Pak Profesor, atau seperti saya, menyimpan ketidaksetujuan di dalam benak. Sekarang, akan saya kemukakan ketidaksetujuan saya terhadap pendapat Pak Profesor dalam bentuk tulisan.

Bagi saya, apa yang dikatakan Pak Profesor bukan kebenaran akhir. Jikalau menjadikan Al-Qur’an sebagai dasar teori dianggap melecehkan Al-Qur’an, pendapat ini dasarnya tidak kuat, dan masih dalam perdebatan. Menyikapi kasus ini tergantung pada sudut pandang dan filosofis masing-masing. Artinya. kepada kaum muslimin yang ingin menjadikan Al-Qur’an sebagai dasar teori dalam penelitiannya masih memungkinkan untuk diperjuangkan.

Menurut saya, profesor-profesor yang masih berpendapat seperti di atas, adalah mereka yang ketinggalan informasi tentang perubahan paradigma dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Hal itu wajar karena tidak semua profesor memiliki seluruh ilmu pengetahuan. Kelemahan para profesor adalah semakin tinggi ilmu yang dikuasai semakin fanatik dan tertutup terhadap kebenaran-kebenaran ilmu lainnya. Kalau saja Pak Profesor ini benar-benar membimbing kandidat calon doktor, tidak akan muncul kata-kata menyalahkan, karena tugas pembimbing adalah mengarahkan, mendorong, para calon doktor untuk bekerja keras mengemukakan pendapatnya dengan memperkaya teori, pendapat-pendapat ahli, hasil-hasil riset orang lain, yang mendasari pendapatnya agar bisa berdiri kokoh.

Pak Profesor! Menurut pendapat saya dalam tataran akademis, seseorang tidak bisa menyalahkan atau membenarkan pendapat orang lain, tetapi hanya sebatas menguji argumentasi-argumentasinya, apakah memenuhi kriteria berpikir ilmiah atau tidak? Selama pendapat-pendapat memenuhi syarat-syarat keilmiahan, kita harus membantu memperkayanya sekalipun kita tidak setuju. Sebab kebenaran yang kita miliki pada dasarnya bukan kebenaran akhir. Suatu saat akan ditemukan ilmu-ilmu pengetahuan baru yang menyebabkan terjadinya perubahan persepsi terhadap kebenaran yang sebelumnya kita yakini.

Pendapat saya, didasari oleh perintah Tuhan dalam memberi kebebasan berpikir kepada manusia. Di dalam hadis dijelaskan bahwa jika seorang berpikir dan benar, maka dia mendapat pahala dua, dan jika dia berpikir salah, maka masih dapat pahala satu. Hadis ini menjelaskan bahwa tidak ada kesalahan dalam berpikir, karena perintah berpikir itu sendiri bagian dari perintah Tuhan. Maka dari itu, jika seseorang berpikir dan hasil pemikirannya dianggap salah, maka dia mendapat pahala dari melaksanakan perintah Tuhannya yaitu berpikir.

Tuhan tidak mempersalahkan orang-orang yang berpikir dan pemikirannya salah, karena para pemikir adalah orang-orang yang berada di jalan Tuhan dan terbuka terhadap segala pengetahuan. Para pemikir sejati tidak akan menutup informasi dari luar karena alasan bukan kelompok atau karena membencinya. Para pemikir sejati adalah orang-orang yang siap berubah pandangannya karena mendapat informasi tentang kebenaran yang dianggapnya lebih rasional.

Para pemikir yang diancam Tuhan masuk neraka adalah mereka yang menafikan pengetahuan-pengetahuan dari Tuhan, membatasi sumber pengetahuan hanya berdasarkan pada kebenaran rasional-empiris, dan mempertahankan hasil-hasil pemikirannya sekalipun pun cenderung atau terbukti secara rasional-empiris mengarah pada kehancuran umat manusia.

Pak Profesorlah yang harus beristigfar! karena bisa jadi apa yang dilakukannya termasuk menghalang-halangi kemajuan peradaban Islam. Apa yang dikemukakan Profesor bahwa menjadikan ayat Al-Qur’an sebagai teori berarti melecehkan Al-Qur’an (mengkerdikan makna Al-Qur’an), saya tidak sependapat, karena ini bisa jadi menghalang-halangi manusia yang ingin selalu dekat dengan Tuhan.

Ayat Al-Qur’an posisinya tetap adalah kalam Tuhan, namun ketika manusia mempersepsinya, Al-Qur’an itu sudah menjadi milik manusia berdasarkan persepsinya. Ayat Al-Qur’an yang sudah dipersepsi manusia sifatnya menjadi relatif. Demikian juga ketika manusia mempersepsi ayat Al-Qur’an menjadi dasar teori, maka kelemahan dan kerelatifannya bukan pada Al-Qur’an, tapi pada persepsi manusianya.

Pak Profesor harus memahami, kegagalan manusia dalam mengenal Tuhannya, disebabkan oleh putusnya mata rantai ilmu pengetahuan dengan Tuhan. Memutuskan hubungan antara ilmu dengan agama, sama dengan pelanggaran terhadap ketentuan Tuhan, yang menganjurkan kepada manusia untuk selalu menjaga silaturahmi. Konsep silaturahmi adalah ajaran universal yang tidak hanya dibaca dalam hubungan manusia antar manusia, tetapi hubungan seluruh komponen alam semesta, termasuk hubungan antara ilmu pengetahuan dan agama.

Nah untuk sementara begitulah argumentasi saya Pak Profesor! Saya hanya tunduk kepada Tuhan, dan Pak Profesor adalah utusan Tuhan yang mengajari kami semua. Semoga kita semua mendapat bimbingan Tuhan, sebagaimana kita selalu berdoa ketika duduk diantara dua sujud. Wallahu ‘alam.

(Muhammad Plato, penulis buku hidup sukses dengan logika tuhan. Follow @logika_Tuhan)

No comments:

Post a Comment