Saturday, April 11, 2015

KEKAYAAN PENYEBAB OTAK TUMPUL



Sekalipun tidak mungkin hilang dalam struktur masyarakat, kemiskinan selalu menjadi hantu yang ditakuti. Setiap tahun pemerintah tidak pernah absen untuk mengumumkan angka penurunan kemiskinan. Naik turunnya angka kemiskinan, menjadi indikator keberhasilan pemerintah dalam melaksanakan tugas kepemerintahan.

Masyarakat menilai negatif terhadap kemiskinan. Anggota keluarga berlomba-lomba mengumpulkan harta benda, mengembangkan usaha, mempersiapkan pendidikan sampai jenjang tertinggi, agar terhindar dari kemiskinan. Suatu kesedihan mendalam jika melihat anak-anak keturunannya hidup miskin. Tidak aneh, kekuasaan, bisnis, diatur agar tidak jatuh ke luar keluarga, tujuannya agar kekayaan berputar dalam lingkaran keluarga.

Berbagai upaya diilakukan oleh pemerintah untuk menghilangkan kemiskinan. Subsidi kesehatan, bahan bakar minyak, makanan pokok, pendidikan, dikeluarkan ratusan triliun dari anggaran belanja negara. Kehidupan negara-negara kaya menjadi acuan gaya hidup negara sejahtera. Sepertinya semua sepakat, kemiskinan berakibat buruk bagi kehidupan dan kesejahteraan berakibat baik untuk kehidupan.

Rasa takut berlebihan terhadap kemiskinan telah menimbulkan paranoid, apapun dilakukan untuk tidak miskin. Semua dihalalkan demi tidak miskin, dan kekerasan-demi kekerasan selalu dialamatkan dengan kemiskinan. 

Bersumber dari sebuah survey global yang dilakukan World Values Survey, ternyata dibalik kemiskinan ada spiritualitas. Pippa Norris dan Ronald Inglehart (2009), yang pernah melakukan survey di 80 masyarakat dunia, menemukan fenomena bahwa sekularitas tidak benar-benar mematikan agama. Orang-orang Eropa yang berbudaya sekuler masih mengungkapkan keyakinan formal kepada Tuhan, dengan mengidentifikasi diri mereka sebagai Katolik atau Protestan. Namun pengaruh kuat agama terhadap kehidupan sehari-hari, perlahan terkikis.

Lebih dari setengah populasi dalam masyarakat agraris berdoa secara reguler, dibandingkan dengan hanya sepertiga dari mereka yang hidup di negara-negara industri, dan hanya seperempat  dari mereka yang hidup dalam masyarakat pasca-industri. Ukuran di atas memperlihatkan bahwa pastisifasi keagamaan dua kali lebih kuat dalam masyarakat yang lebih miskin di banding masyarakat kaya.

Kesimpulan di atas berkaitan dengan pendapat Ibn Khaldun dalam bukunya Mukaddimah, pengaruh kemakmuran terhadap tubuh dan kondisi-kondisinya juga berpengaruh terhadap keagamaan dan ibadah. Ibn Khaldun membandingkan orang-orang yang terbiasa hidup keras dari kalangan masyarakat pedalaman maupun perkotaan di mana mereka telah terbiasa dengan lapar dan jauh dari kelezatan dunia memiliki keagamaan yang lebih baik dan lebih giat beribadah dari pada masyarakat yang  terbiasa dengan kemakmuran dan kemewahan. Sementara mereka yang biasa hidup nyaman berkecukupan tergolong kepada orang-orang yang tumpul otaknya.

Spiritualitas lebih dekat dengan kemiskinan. Untuk kita paham mengapa para sufi lebih rela hidup apa adanya dalam kemiskinan, karena kemakmuran dapat menjauhkan diri dari Tuhan. Demikian juga sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw, mereka merelakan seluruh hartanya untuk kepentingan umat, dari pada menahan-nahannya untuk kepentingan pribadi.

Hasil survey yang dilakukan oleh Norris dan Inglehart memberikan penjelasan logis tentang makna sebuah ajaran agama. Hasil survey tersebut menjelaskan bahwa ajaran zakat, sedekah, infak, wakaf, dan hibah adalah ajaran-ajaran agama yang berfungsi menjaga kesadaran atau ketergantungan (spiritualitas) manusia terhadap Tuhan. Ajaran-ajaran di atas prinsipnya menjadi pembentuk prilaku manusia agar tetap berada dalam kondisi kekurangan (miskin). Karena dengan taat pada ajaran-ajaran Tuhan di atas, akan tercipta kondisi (miskin) di mana manusia tetap tergantung pada Tuhan. Secara horizontal ajaran itu akan menjaga kelestarian hubungan sosial antar sesama manusia.

Hilangnya kesadaran atau ketergantungan manusia terhadap Tuhan akan berdampak pada krisis multidimensional. Manusia tidak bisa menemukan kebenaran tanpa bantuan pengetahuan dari Tuhan. Untuk itulah dari generasi ke generasi Tuhan mengutus seorang Rasul, sebagai media untuk menyampaikan berbagai pengetahuan dari Tuhan agar manusia menuju pada kehidupan sejahtera. Maka dari itu, Tuhan mengutus Rasul dan menurunkan kitab suci untuk setiap generasi. Sepeninggal Rasul-Rasul terdahulu, kita sangat kesulitan untuk mengidentifikasi keotentikan isi kitab suci yang pernah diterimanya, apakah masih otentik dari Tuhan atau sudah ada campur tangan manusia. Kesulitannya adalah karena jarak antara generasi Rasul terdahulu dengan zaman sekarang sudah begitu jauh. Bukti-bukti kerasulan pun sangat terbatas ditemukan, dan menjadi mozaik rumit untuk disusun kembali.

Generasi terdekat dari abad sekarang dengan Rasul adalah dengan Rasulullah Muhammad saw. yang hidup di abad 7 Masehi. Dikarenakan jaraknya paling dekat dengan generasi sekarang, kitab suci yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad saw masih teruji keotentikannya sebagai firman Tuhan. Hal ini didukung oleh bukti-bukti sejarah kerasulan Nabi Muhammad saw, yang masih bisa ditemukan dan terdeteksi hingga zaman sekarang. Dalam sejarah pun para Khalifah (sahabat dekat Nabi), memiliki catatan sejarah cemerlang dalam usaha pengumpulan dan pencatatan kitab suci Al-Qur’an secara terencana. Pengumpulan kitab suci dilakukan oleh orang-orang terpercaya dengan kualitas kejujuran teruji. Melihat proses sejarah seperti itu, keotentikan kitab suci Al-Qur’an masih bisa dipertanggungjawabkan hingga sekarang. Secara substansi pun, kitab suci Al-Qur’an menunjukkan sebagai kitab suci dari Tuhan, karena mengandung banyak keajaiban-keajaiban logis, empiris, tapi diluar kemampuan nalar manusia.     

Penolakan terhadap kebenaran pengetahuan yang terdapat dalam kitab suci Al-Qur’an adalah bentuk ketumpulan otak manusia dalam memahami informasi yang terdapat dalam kitab suci Al-Qur’an. Harta kekayaan adalah faktor penyebab tumpulnya otak manusia dalam memahami kebenaran dan lepasnya keyakinan terhadap Tuhan. Untuk itulah hasil riset Norris dan Inglehart adalah sebuah penegasan bahwa manusia tidak bisa hidup damai dan sejahtera tanpa bantuan pengetahuan (firman) dari Tuhan. Semakin jauh dari Tuhan, manusia akan cenderung destruktif, menuju pada kebinasaan dan kemudian Tuhan akan menciptakan generasi lainnya.  Wallahu ‘alam.

(Toto Suharya, Penulis Buku Hidup Sukses Dengan Logika Tuhan. Follow me @logika_Tuhan)

No comments:

Post a Comment