Friday, June 16, 2017

PERDEBATAN ORANG-ORANG BUTA


OLEH:
MUHAMMAD PLATO

Sudah lama saya ingin menulis tentang topik berkaitan dengan pentingnya para pemikir memiliki kemampuan memilah objek perdebatan. Kemampuan ini penting dimiliki untuk menghindari perdebatan sia-sia, yaitu perdebatan yang kebenarannya tidak bisa dibuktikan dalam kenyataan, bersifat abstrak, multi tafsir, dan hanya pengadilan Tuhan yang maha mengetahui keputusannya.

Keinginan ini berkaitan dengan fenomena perdebatan dalam obrolan santai, perkuliahan, televisi, dan media sosial, yang menurut hemat penulis hanya perdebatan sia-sia. Dampak buruk dari perdebatan sia-sia adalah terjadinya perpecahan karena saling klaim kebenaran berdasarkan persepsi masing-masing. Berujung pada saling hujat, saling mengkafirkan, dan bisa terjadi tindak kekerasan memaksakan satu kebenaran.

Perdebatan sia-sia terjadi dalam objek debat pada hal-hal ghaib. Perdebatan tentang sesuatu yang gaib telah terjadi di zaman Nabi Muhammad saw, diantaranya perdebatan tentang jumlah pemuda dalam gua. Lalu Allah memberi peringatan kepada Nabi Muhammad saw, dalam Al-Qur’an.

“Nanti (ada orang yang akan) mengatakan (jumlah mereka) adalah tiga orang yang keempat adalah anjingnya, dan (yang lain) mengatakan: "(Jumlah mereka) adalah lima orang yang keenam adalah anjingnya", sebagai terkaan terhadap barang yang gaib; dan (yang lain lagi) mengatakan: "(Jumlah mereka) tujuh orang, yang kedelapan adalah anjingnya". Katakanlah: "Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada orang yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit". Karena itu janganlah kamu (Muhammad) bertengkar tentang hal mereka, kecuali pertengkaran lahir saja dan jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorang pun di antara mereka”. (Al Kahfi, 18:22)

BERDEBAT TENTANG KEBENARAN YANG GHAIB JANGAN HARAP MENEMUKAN KEDAMAIAN, KECUALI KITA SALING MENGHORMATI DAN SAMA-SAMA MENUNGGU PENGADILAN DARI TUHAN.


Ayat di atas menginformasikan larangan berdebat tentang hal gaib. Berdebat tentang hal ghaib akan sia-sia. Seperti mempemasalahkan jumlah penghuni gua yang sudah terjadi di masa lalu, bukan masalah penting yang harus dibesar-besarkan karena kebenaran ghaib sulit dipastikan. Untuk itu Allah memerintahkan, berdebatlah tentang hal-hal yang lahir yang kebenarannya bisa dibuktikan dalam kenyataan sehingga umat akan terhindar dari pepecahan.

Berdebat tentang hal gaib tidak dapat dipastikan siapa yang benar, karena semua perdebatan didasarkan pada terkaan atau prasangka. Allah menjelaskan sebagian dari prasangka adalah dosa, maka untuk itu perdebatan tentang hal yang ghaib harus dihindari. 

Allah menegaskan bahwa hal-hal gaib hanya milik-Nya. “Katakanlah: "Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib, kecuali Allah", dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan. (An Naml, 25:65).

Ayat di atas mendasari sebuah etika debat, jika terjebak pada perdebatan tentang hal ghaib, untuk segera kembali pada kesadaran bahwa pengetahuan hal yang ghaib milik Allah.Nabi Muhammad saw, menghindari perdebatan tentang hal ghaib dengan menegaskan posisi dirinya sebagai manusia, “Katakanlah: "Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang gaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?" Maka apakah kamu tidak memikirkan (nya)?” (Al An’aam, 6:50).

Nabi Muhammad saw, menerangkan bahwa hal-hal gaib yang dikemukakannya tidak lain hanyalah terbatas apa yang diwahyukan Allah kepadanya. Di luar itu, Beliau mengumpamakan antara Allah dengan dirinya seperti orang buta dengan orang  yang melihat. Allah maha melihat segala yang lahir dan bathin, sementara orang buta (manusia) memiliki keterbatasan, yaitu tidak bisa mengetahui yang tidak dilihanya (gaib). 

Orang buta yang tidak pernah melihat keindahan gunung, langit, dan luasnya bumi, tidak akan bisa sempurna menggambarkan bagaimana indahnya gunung, langit, dan luasnya bumi karena tidak punya pengetahuan tentang itu. Adapun apa yang orang buta kemukakan pasti hanyalah menerka-nerka.

Maka perdebatan tetang hal-hal gaib yang kita tidak memiliki pengetahuannya tentang itu, seperti perdebatan antara orang buta dengan orang buta yang tidak pernah melihat gajah, atau perdebatan antara orang bodoh dengan orang bodoh yang sama-sama tidak memiliki pengetahuan tentang hal yang diperdebatkannya. Inilah perdebatan sia-sia yang tidak dikehendaki Allah.

Perdebatan tetang hal yang gaib hanya boleh sebatas apa yang kita ketahui dari kitab suci. Jika dari kitab suci diluar jangkauan nalar, maka kita wajib mengembalikannya kepada Allah, kita tunggu saja siapa yang paling benar dihadapan pengadilan Allah. Sebagaimana diajarkan kepada kita dalam Al-Qur’an. 

Manusia hanya ditugaskan untuk berharap kepada Allah saja. Tidak ada jaminan siapapun masuk surga karena syurga di akhirat itu ghaib dan itu milik Allah. Jika ada orang yang mengklaim dengan yakin, dan berapi-api bahwa “saya pasti masuk surga kalau mati”, maka dia hanya menerka-nerka. Untuk itulah seorang muslim tidak bisa memastikan dirinya masuk surga atau tidak,  kecuali hanya berharap dalam doa kepada Allah, supaya dimasukkan ke dalam surga-Nya. 

Maka katakanlah: " Sesungguhnya yang gaib itu kepunyaan Allah; sebab itu tunggu (sajalah) olehmu, sesungguhnya aku bersama kamu termasuk orang-orang yang menunggu. (Yunus, 10:20).

Jika perdebatan tentang hal gaib yang bersumber kepada kita suci Al-Qur’an tidak menemukan titik temu, etikanya harus sepakat mengembalikan kepada Allah, dan kita tunggu pengadilan Allah yang memutuskan dikmudian hari sampai akhirat. Sikap demikian itu akan menghasilkan suasana damai dan timbul persatuan karena sama-sama berharap kepada Allah.

Sesungguhnya kebenaran itu milik Allah, maka setiap orang punya persepsi tentang kebenaran berdasarkan pengetahuan yang diperolehnya. Tidak dibenarkan memaksakan kebenaran persepsinya individu atau kelompok kepada orang lain, kecuali kita saling bertukar pikiran dengan santun. Dan Allah akan mengadili persepsi kita semua. Semoga Allah selalu memberi petunjuk dan hidayah kepada kita semua. Wallahu ‘alam.

(Penulis Master Trainer @logika_Tuhan)

No comments:

Post a Comment