Monday, April 22, 2019

POST TRUTH

OLEH: MUHAMMAD PLATO

Penemuan kabel fiber optik telah mengubah dunia material menjadi dunia maya. Kabel optik yang dalam setiap kabel bisa membawa 8000 percakapan, telah menggantikan kabel tembaga yang hanya bisa menampung 42 percakapan. (Naisbitt, 1990). Inilah awal era globalisasi, dunia terhubung dengan fiber optik. Lalu berkembang semakin luas dan personal dengan pemanfaatanan internet. (internet of thing).

Pada masa ini, informasi menjadi barang murah dan melimpah ruah. Semua orang menjadi cerdas dengan berbagai pengetahuan yang diaksesnya dari internet. Kebenaran menjadi milik pribadi karena setiap orang bisa berargumentasi dengan pengetahuan yang diyakininya. Setiap orang sangat dipengaruhi oleh pengetahuan yang diaksesnya.

Abad informasi menjadi pisau bermata dua. Di sisi lain bisa mencerdaskan setiap individu, di sisi lain bisa menyesatkan. Kekerasan verbal dan fisik bisa jadi pribadi manusia, jika akses pengetahuannya cenderung pada informasi yang mengaduk-ngaduk emosi. Kapitalis, hedonis, konsumtif, bisa jadi pribadi manusia jika pengetahuan yang diaksesnya cenderung materialis. Damai, sejahtera, jika pengetahuan yang diaksesnya dari agama yang mengajarkan kedamaian hati dan pikiran.

Inilah ciri dari masa post truth (pasca kebenaran) di mana kebenaran menjadi milik setiap pribadi. Kebenaran menjadi milik individu karena mudahnya akses informasi. Pasca kebenaran (post truth) adalah masa di mana kebenaran menjadi milik otoritas individu dan dijamin haknya untuk mengemukakan dan mensosialisasikannya kepada masyarakat. Jaminan mengemukakan pendapat difasilitasi oleh media sosial. Melalui media sosial pendapat individu bisa menjadi pendapat publik. Pada akhirnya setiap orang memiliki kebenaran berdasarkan ukuran pribadinya masing-masing. Inilah masa post truth masa kebenaran relative, karena setiap informasi kejadian dipersepsi oleh banyak orang yang hak-haknya di lindungi undang-udang.

Di masa post truth, informasi tidak lagi dikendalikan oleh satu otoritas baik individu maupun lembaga. Televisi, lembaga survey, ahli, ahlinya ahli, tidak bisa lagi mengendalikan orang. Menurut John Naisbitt dan Aburdene. (1990, hlm. 13) , zaman sekarang ditandai dengan “the triumph of individual”. Semua orang bebas bicara tentang hal apa yang diketahuinya dan membenarkan apa yang diketahuinya.

Televisi, lembaga survey, lembaga fatwa, ustad kiyai, hanya sebatas sumber informasi. Keputusan akan sangat tergantung pada kepemilikian pengetahuan yang dimiliki oleh seorang individu. Pola-pola pikir ilmiah rasional-empiris yang telah memenuhi setiap relung memori otaknya, akan sangat sulit menerima pengetahuan-pengetahuan ghaib dari wahyu. Pola-pola pikir mistis, instan, tidak akan memandang semua informasi sama asal ada orang yang menuturkannya. Pola pikir religius, cenderung hanya menerima pengetahuan dari yang dijamin kebenarannya.

"Ajaran agama yang mendamaikan tidak memberi peluang kepada siapapun untuk menjadi tuhan selain Allah" (Muhammad Plato)
Memasuki masa post truth, pola pikir terpisah-pisah seperti pendekatan masyarakat sekuler tidak akan bisa menjawab keadaan zaman. Setiap kebenaran akan dipatahkan dan memiliki kelemahan. Hasil survey bisa kalah sama doa, dan doa kadang terlihat kalah sama kekuatan teknologi. Seperti mencari penyebab pertama, antara telur dan ayam. Tidak ada penyebab mutlak, akhirnya dunia menjadi relatif. Orang mulai kehilangan pegangan dan cenderung apatis tidak punya kepercayaan.

Dalam kondisi seperti ini, sebenarnya ajaran agama lebih dibutuhkan untuk membangkitkan optimisme. Namun para pemeluk agama tidak bisa membedakan pola pikir agama dan hawa nafsu. Prilaku beragama dan tidak beragama menjadi tidak terlihat perbedaannya. Kelompok mengatasnanamakan agama menghujat keadaan sama dengan kelompok tidak beragama. Kelompok yang mengatasnamakan agama mencela sesama, sama dengan kelompok tidak beragama. Akhirnya muncul kesimpulan kelompok beragama sama berbahayanya dengan kelompok tidak beragama.

Peran agama yang diharapkan di zaman post truth adalah agama bisa mengajak damai dan mensejahterakan umat manusia. Agama tersebut memiliki ajaran tidak saling mengejek, mencemooh, dan saling menjatuhkan. Agama tersebut mampu membuat damai dalam perbedaan, dan memberikan rasa optimisme dalam segala kondisi.

Ajaran agama yang mendamaikan tidak memberi peluang kepada siapapun untuk menjadi tuhan. Pemegang ajaran agama yang mendamaikan, hanya bertugas menyampaikan kebenaran, dan memberi kabar gembira kepada orang-orang sabar dalam menjaga silaturahmi dengan rasa damai. Kreativitasnya dalam menyampaikan dan mengupayakan hidup damai menjadi ciri dari para pemeluk agama di masa post truth. Kualitas beragama tidak dilihat dari mana asal kelompoknya tapi diperlihatkan dalam akhlaknya secara individu. Wallahu a’alam.


(Head Master Trainer)

No comments:

Post a Comment