Tuesday, December 3, 2013

KELOMPOK ILUMINATI MEMBAJAK ISU GENDER

Islam meninggikan derajat kaum perempuan tiga kali lipat dari pada kaum laki-laki. Di atas kepemimpinan laki-lakilah kedudukan perempuan harus di posisikan paling tinggi dan terhormat.

Kita setuju, kaum perempuan harus memiliki kesempatan mengembangkan bakat dan potensinya sebagaimana halnya kaum laki-laki. Mitos perempuan hanya bisa masak, cuci, dan urus anak di rumah, terlalu berlebihan dan mendeskreditkan kaum perempuan.

Kita hargai perjuangan Kartini, dan Dewi Sartika yang ingin meningkatkan harkat dan martabat kaum perempuan melalui pendidikan. Faktanya, kaum perempuanlah yang harus cerdas di banding laki-laki. Perempuan adalah madrasah pertama untuk anak-anak penerus bangsa. Maka logis, dari perempuan tidak cerdas akan lahir generasi-generasi lemah. Sangat logis juga jika ajaran agama mengatakan bahwa penghormatan tiga kali lipat harus diberikan kepada kaum perempuan.

Namun apa perlu kita pikirkan kembali? Fakta ada gejala kaum perempuan bukan sedang dicerdaskan dan ditinggikan derajatnya, tapi telah dimanfaatkan. Isu gender telah disalahgunakan untuk mengekploitasi kaum perempuan sebagai mesin pencetak uang bagi para kaum kapitalis. Fakta ini bisa kita saksikan, pabrik-pabrik stereotif merengkrut tenaga kerja perempuan secara besar-besaran. Berkembang opini sesat bahwa kaum perempuan bekerja lebih teliti, mudah diatur, dan tidak banyak tuntutan seperti kaum laki-laki.

Sepintas lalu, rekruitmen besar-besaran tenaga kerja perempuan tidak bermasalah jika melihat data statistik pengangguran. Atas nama indek daya beli, kepala daerah mana yang tidak tergiur dengan munculnya pabrik-pabrik baru di wilayah mereka. Sawah-sawah produktif mulai terancam untuk dialih fungsikan menjadi pabrik-pabrik. Masalah lingkungan, ancaman kekurangan pangan, gimana nanti, yang logis di depan mata adalah indek daya beli meningkat dan IPM naik.

Tapi, apakah mereka pernah berpikir kritis bahwa rekuitmen besar-besaran tenaga kerja perempuan dapat berdampak pada perubahan sosiologi masyarakat. Perempuan-perempuan itu berangkat kerja pagi pulang menjelang magrib. Di depan gerbang, kaum laki-laki menunggu, menjemput istrinya pulang kerja. Apakah kita tahu, kaum laki-laki itu mulai kehilangan lahan pekerjaan dan terpaksa menjadi pekerja dirumah tangga.

Oleh: Muhammad Plato

Jika kaum perempuan sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya, apakah mereka mendidik anaknya secara inten, padahal kita tahu mereka bekerja hampir seharian. Bisakah kita mengubah kodrat laki-laki menjadi berjiwa ibu-ibu yang telaten mengurus dan merawat anak?

Apakah kita sadar, kodrat ibu tetaplah ibu, sekalipun telah bekerja seharian di luar rumah, naluri ibu akan kembali pada kodratnya merawat anak, dan mengurus rumah tangga. Akibat kodrat inilah penelitian di Amerika Serikat membuktikan, bahwa kaum perempuan yang bekerja di luar rumah, bekerja dua kali lipat lebih lama dibanding kaum laki-laki (Elison:2011). Apakah ini bukan ekploitasi kerja atas nama gender?


Tahukah kita, para tenaga kerja di luar negeri yang kebanyakannya perempuan berinteraksi dalam jangka waktu lama tanpa lawan jenis, mereka berkumpul di penampungan sesama jenis, bekerja, dan liburan sesama jenis. Kondisi ini telah menimbulkan efek negatif terhadap psikologi kaum perempuan, yang mulai tertular penyakit lesbi, menyukai sesama jenis.

Sebuah surat kabar nasional memberitakan, bahwa di suatu daerah kekerasan di rumah tangga mengalami peningkatan. Salah satu alasan adalah kondisi laki-laki yang mulai sulit mencari pekerjaan. Masuk akal jika percekcokkan akan timbul dalam kehidupan keluarga, karena perubahan peran kaum laki-laki menjadi bapak rumah tangga tidak semudah membalikkan tangan.

Apakah kita tahu, para iluminati (kelompok penyembah setan), membajak isu persamaan gender menjadi penghapusan gender?   Mereka menginginkan pria berpenampakkan fisik wanita. Dengan gender netral, masyarakat menjadi jinak dan mudah diatur untuk keuntungan mereka. Secara statistik, di Amerika Serikat laki-laki dan perempuan yang tidak menikah semakin meningkat jumlahnya. Ini artinya manusia akan mengalami defisit generasi penerus.

Henry Makow (2013) seorang ahli teori konspirasi mengemukakan bahwa rekayasa sosial ini mereka susupkan dalam pendidikan, politik, dan bisnis. Anak-anak di sekolah sejak dini, sedikit demi sedikit diajarkan untuk tidak kenal bahwa Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan. Dalam dunia politik mulai dibuat regulasi untuk mendongkrak keikutsertaaan kaum perempuan dalam kancah politik. Dan dalam dunia bisnis, mulai muncul kebijakan rekruitmen tenaga kerja hanya untuk kaum perempuan dengan alasan teknis yang semua orang secara logis bisa menerimanya.

Tetapi apakah kita berpikir apa dampak bagi keluarga bila kaum perempuan habis separuh waktunya untuk bekerja di pabrik. Siapa yang urus pendidikan anak-anak dan melayani suaminya. Solusinya memang selalu ada, bisa mengangkat pengasuh, sekolah fullday, atau diurus suami yang harus dipaksa menjadi keibuan.
Namun apakah kita akan tutup mata, jika menurut Elison, hasil riset anak-anak yang diurus oleh ibu biologisnya dengan penuh kehangatan dia dapat tumbuh menjadi manusia cerdas, sehat dan lebih tahan terhadap stres? Apakah kita yakin bahwa gejala tawuran yang terjadi pada anak-anak sekolah adalah mereka yang telah dirawat oleh ibunya dengan penuh kehangantan? Apakah semua orang tahu, bahwa kualitas kehidupan di rumah merupakan faktor penentu mendasar terhadap kesehatan fisik dan mental anak? Jangan-jangan kita telah terlalu jauh mengapresiasi tentang isu persamaan gender ini. Jangan-jangan benar apa kata Henry Makow bahwa kita telah dikondisikan oleh para iluminati untuk tidak percaya kepada Tuhan, yang telah menciptakan laki-laki dan perempuan sesuai dengan kodrat-kodratnya dengan penuh keseimbangan. Sasaran para iluminati adalah hancurkan kehidupan keluarga, dan usir kaum perempuan dari lingkungan rumahnya. Wallahu ‘alam.

Salam sukses dengan logika Tuhan. Follow me @logika_Tuhan

No comments:

Post a Comment