Saturday, March 19, 2016

STANDAR PRILAKU DARI TUHAN

oleh: Muhammad Plato

Anda masih ingat tentang cerita Malinkundang, anak durhaka kepada orang tuanya? Cerita ini sudah pasti banyak dikenal di masyarakat Indonesia, karena jadi cerita turun-turun. Sayang kalau ada yang menganggap cerita Malinkundang hanya dongeng, sebab cerita ini merupakan bentuk lain dari cara masyarakat mengajarkan standar berprilaku kepada setiap generasi. Cerita Malinkundang bukan hanya mengandung pesan moral tetapi pesan Tuhan yang dikemas dalam bentuk cerita rakyat.

Pesan moral cerita Malinkundang adalah anjuran kepada para generasi muda untuk selalu dapat menghormati kedudukan orang tua, dalam segala kondisi. Akhir cerita Malinkundang jadi batu adalah penegasan bahwa berbuat durhaka kepada orang tua adalah perbuatan mutlak dilarang. Batu dalam cerita Malikundang merupakan tanda bahwa berbuat durhaka kepada orang tua adalah hal yang mutlak bahwa para generasi muda dari masa ke masa tidak boleh berbuat durhaka kepada orang tuanya.

Kemutlakan itu dijelaskan dalam firman Tuhan. Inilah keterangan yang menjelaskan bahwa cerita Malinkundang mengandung pesan Tuhan.  “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaan mu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (Al Israa:23).

Sedikitnya, Saya menemukan dua fakta bahwa mereka yang punya masa lalu tidak harmonis dengan orang tua kandungnya, akan mengalami masalah yang sulit dipahami oleh akal. Dua fakta yang akan saya ungkap di bawah ini sangat menarik untuk kita dijadikan bukti bahwa prilaku hidup di dunia memiliki standar baku yang tidak boleh dilanggar.

Fakta pertama adalah ada seorang perempuan yang mengalami gangguan kesehatan sampai delapan tahun. Perempuan tersebut mengalami halusinasi, sering tidak sadar diri, tidak bisa tidur, kadang ada rasa sakit yang tidak tertahankan, dan tidak teridentifikasi oleh medis. Penyakit ini dideritanya sampai sepuluh tahun.

Kisah ini saya dapatkan dari Buku berjudul “Korban Santet Kisah Nyata”, karya Tiana Amarilis Kasih (2010). Buku ini mengisahkan pengalaman, bagaimana Dia berusaha untuk sembuh dari penyakit yang menurut beliau akibat Santet. Dia obati penyakit dengan berbagai cara medis atau pun non medis.

Setelah saya kaji dari awal cerita, perempuan itu tidak pernah mengaitkan antara penyakit yang diderita dengan dosa yang pernah dia lakukan kepada orang tuanya. Inilah penggalan dialog kisah memilukan yang dialami orang tua akibat prilaku anak. 
“Apa (panggilan untuk ayah di suku Sunda) maaf. Tiana sudah tidak tahan lagi. Tiana mengundurkan diri”. Bapakku terlihat sedih, dengan suara lirih”.

“kamu harus bertahan. Jangan mengundurkan diri. Siapa yang akan membuat laporan keuangan ke Bank? Tiana. Apa pergi dari kampung ke Bandung karena dikejar gerombolan DI/TII. Di Bandung tidak ada seorangpun yang Apa kenal, tekad Apa hanya ingin menyelematkan keluarga. Kamu pikir semua ini tercipta seketika? Apa membangunnya sedikit demi sedikit. Cobaan selalu ada, tetapi apa selalu bertahan, bekerja dan berdoalah Allah akan memberi jalan”.

“Tapi bagaimana bisa ada jalan, kalau tetap dalam kondisi sekarang, bagaimana mampu membayar bunga dan cicilan? Kita Over Investment! Tanah lima hektar, bangunan pabrik 10000 m persegi, sedangkan mesin weaving hanya 50 unit, hasil produksi hanya 250.000 m/bulan. Hutang bunga per bulan 135 juta dan hutang pokok 5 milyar. Untuk bisa bayar bunga dan utang pokok harga kain mau dijual berapa? Sampai kapan pun kita tidak akan mampu membayar utang. Tiana sudah membuat bisnis plan dan meminta direstructure pinjaman kita, dan tambahan modal, tapi Bank Menolak”.

“kamu pikir, bisnis hanya hitung-hitungan angka saja? ada faktor lain, dan memohonlah kepada Allah pasti ada jalan!”.

“Aku tidak pedulikan Bapakku. Aku tetap keluar dan pergi ke Jakarta mencari kerja, menjadi orang gajian. Sejak itu, jika aku pulang ke rumah bertahun-tahun Bapakku selalu menghindar untuk bertemu dan berbicara dengan ku, jiwanya terluka, sekarang aku bersimpuh dipangkuannya untuk memohon doa restu”. 

Dengan membaca potongan dialog di atas, Anda mungkin bisa merasakan bagaimana hancur dan remuknya hati seorang Bapak diperlakukan seperti itu oleh anak kandungnya sendiri. Inilah dosa besar yang dilakukan oleh seorang anak kepada Bapaknya.

Maka dari itu, jika kita baca atas nama Tuhan, penyakit (santet) yang diderita oleh perempuan itu mengandung makna sebagai berikut:
  1. Balasan atas dosa yang pernah dilakukan kepada Bapaknya. 
  2. Balasan tersebut, sekaligus penggugur dosa perempuan tersebut.
  3. Ujian bagi perempuan tersebut berkaitan dengan keyakinan (ketauhidan) pada Tuhan. Sebab pada dialog, ada tersirat bahwa perempuan tersebut menyepelekan Allah swt sebagai maha kuasa. 
  4. Mengajarkan kepada perempuan tersebut bahwa berbuat baik pada ibu bapak adalah standar hidup manusia yang tidak boleh diabaikan begitu saja.
Kasus kedua tidak kalah menarik. Ketika saya mengajar mata kuliah kewarganegaraan, saya selalu mengaitkan ilmu dengan nilai-nilai ajaran agama. Ketika cerita tentang kisah perempuan yang bisa menikah karena bersedekah ke anak yatim, diakhir perkuliahan ada mahasiswi muda belia menghampiri. Lalu dia berkisah tentang elegi hidupnya. Berikut adalah kisahnya;

“Usia saya 26 tahun, penghasilan saya 40 juta per bulan. Saya punya kendala dalam hidup saya, yaitu sudah lima kali dilamar selalu berakhir dengan kegagalan. Sekarang saya menunggu seseorang, tetapi tidak pernah ada komunikasi, bahkan orang itu sengaja menutup komunikasi dengan saya. Tapi ketika saya bertanya ke orang pintar, lalu saya dikasih wirid dan disuruh menunggu orang itu. Sekarang saya bingung harus menunggu tapi tanpa komunikasi. Saya tinggal di apartemen, tinggal sendiri, perasaan saya seperti ditinggalkan semua orang, selalu kesepian kadang menangis tanpa sebab. Dan saya tidak bisa tinggal sendirian di rumah”.

“Ibu Bapak saya cerai, dan saya menjadi tulang punggung untuk Ibu dan adik-adik saya. Sekarang usaha saya sudah lancar, dan keuangan tidak ada masalah. Namun saya sudah tidak dianggap anak oleh Bapak saya. Entah kenapa, perasaan saya, saya tidak punya salah”. 

“Sebagai muslim, saya melaksanakan shalat lima waktu, dan tahajud. Bisnis saya bisa berkembang karena ketika merintis bisnis saya sering tahajud. Sekarang setiap bulan, saya selalu keluarkan dana minimal 5 jutaan untuk yatim dan bantu orang-orang kekurangan.”

Kalau kita cermati, kasus pertama dan kedua, sama. Masalahnya adalah mereka tidak menyadari bahwa mereka berdua telah berbuat sesuatu yang sangat prinsip dan sangat dilarang oleh Tuhan, karena hal itu merupakan standar operasional prilaku manusia di dunia, jika ingin hidup sejahtera di dunia dan akhirat.

Solusinya, penyakit yang kita derita bersumber dari dosa. Sebelum kita berupaya mengobati dengan berbagai macam cara yang kasat mata, baiknya lakukan dulu pertobatan. Bagi muslim, lakukan shalat tobat, akui bahwa apa yang pernah dilakukan adalah dosa, apalagi jika dosa terhadap orang tua. Jika berdosa kepada orang tua, datangi orang tua kita, bersujud meminta ampun kepada orang tua, sampai orang tua benar-benar mengampuninya.

Setelah itu lakukan percepatan pembersihan dosa, dengan perbanyak shalat tahajud, dan dhuha. Untuk mempercepat pembersihan dosa, keluarkan sedekah jalam jumlah besar, ikuti urutan distribusinya sesuai dengan anjuran di dalam Al-Qur’an

Dengan izin Allah segala keburukan akan terputus. Inilah janji Allah swt dalam kitab suci Al-Qur’an. “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.  Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus”. (Al Kautsar: 1-3)

Silahkan buktikan, berdasarkan surah Al-Kautsar pemutus keburukan itu adalah shalat dan berkorban. Dari kasus yang dialami dua orang perempuan di atas, mereka rata-rata belum memahaminya. Shalat mungkin sudah dilakukan, tetapi selama pikirannya belum memahami, menyadari ada dosa besar yang pernah dilakukan, kemungkinan besar shalatnya menjadi tidak bermakna.

Kesahalan mereka dalam menyelesaikan masalah, tidak menyelesaikan akar masalah. Itulah penyebab kenapa masalah mereka tidak pernah selesai-selesai. Wallahu ‘alam.

No comments:

Post a Comment