Wednesday, October 16, 2013

IBU RUMAH TANGGA LEBIH CERDAS

Oleh: Muhammad Plato

Tulisan ini sengaja penulis angkat karena tidak banyak orang meyakininya bahwa menjadi ibu tangga membutuhkan multitalenta. Untuk mengeola rumah tangga dibutuhkan orang-orang berilmu setingkat sarjana. Di dalam mengelola rumah tangga dibutuhkan tenaga profesional dengan latar belakang keilmuan yang memadai.

Bidang-bidang ilmu yang dibutuhkan dalam mengelola rumah tangga minimalnya adalah ekonomi, manajemen, matematika, psikologi, pendidikan, sosiologi, dan agama. Sangat salah jika wanita-wanita lulusan sarjana dan kelak setelah menikah tidak bekerja di luar rumah dikatakan ilmunya mubajir karena tidak digunakan. Pendapat itu datang dari kalangan yang tidak memahami pentingnya ilmu dalam pengelolaan rumah tangga.

Residu feminisme telah menutup kebenaran yang sebelumnya telah benar dari Tuhan. Kaum feminis menganggap bahwa mejadi ibu rumah tangga adalah musibah bagi kaum perempuan. Dihembuskan ke seluruh penjuru dunia bahwa menjadi ibu dari seorang anak, kemudian merawatnya di rumah dapat berakibat menurunnya tingkat kecerdasan kaum wanita (mommy braind). Menurut kaum feminis, wanita-wanita yang melahirkan anak dan sibuk dengan kegiatan rumah tangganya mereka menjadi pelupa dan stres.

Kaum feminis berhasil menakut-nakuti kaum wanita dan berhasil menggiring semua wanita untuk bekerja di luar rumah. Sampai-sampai ada wanita yang fobia, takut hamil dan melahirkan anak, karena ada anggapan ketika melahirkan anak sebagian kecerdasannya akan tersedot, dan akibatnya kaum wanita menjadi kehilangan kecerdasan.

Gerakan feminisme sudah masuk ke seluruh dunia. Melalui media televisi, internet, politik, dan dunia pendidikan, gerakan feminisme menyebar dan diakses oleh wanita di seluruh dunia. Feminisme seperti hantu gentayangan yang menakut-nakuti kaum wanita yang masih tinggal di dalam rumah. Dengan isu gender atau pertukaran peran laki-laki dan wanita, kaum wanita di provokasi untuk menuntut haknya dan kalau perlu melakukan pemberontakan.

Benturan budaya terjadi di negara-negara yang memegang teguh nilai-nilai ajaran agama. Gerakan feminisme mendapat penentangan hebat di negara-negara yang berbasis agama. Terutama di negara-negara sekitar Arab, di mana negara menjadi penegak ajaran agama, gerakan feminisme hanya sedikit memengaruhi kaum wanita. Aturan agama masih kuat dipertahankan dengan bantuan dari kebijakan negara.


Lain halnya di negara-negara yang sudah menganut sistem demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan. Negara dijadikan alat untuk menyebarluaskan ajaran feminisme. Di Indonesia gerakan feminisme mendapat sambutan masyarakat. Gerakan feminisme di fasilitasi oleh negara dengan membuat kementerian khusus pemberdayaan perempuan. Di dalam sistem politik pun,  negara mengeluarkan regulasi khusus berupa 30% minimal keterwakilan kaum perempuan di parlemen. Kata minimal 30% berarti tidak ada batasan jika lebih dari 30%. Di dunia kerja pun, sudah mulai keluar kebijakan yang ditunggangi gerakan feminisme, walaupun tidak secara eksplisit dikemukakan dalam brosur penerimaan tenaga kerja, secara lisan mereka meminta just only female yang dapat diterima kerja. Dalam dunia pendidikan pun, isu gender mulai di dorong untuk masuk ke dalam konten kurikulum.

Propaganda gerakan feminisme memang cukup baik karena isunya membela hak-hak perempuan yang menurut mereka tertindas oleh kaum laki-laki karena mereka masih bekerja sebagai ibu rumah tangga di dalam rumah. Lalu kaum feminis mempublikasikan hasil penelitian yang mendeskreditkan kaum wanita yang bekerja di dalam rumah. Penelitian itu sengaja disebarluaskan bahwa wanita yang bekerja di dalam rumah menjadi wanita bodoh dan harus segera ke luar rumah agar tidak bodoh. Sebagian kaum wanita mengamini kebenaran riset ini, kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia tanpa batas melalui globalisasi teknologi informasi.

Namun, dari hasil penelitian terbaru, kini anggapan bekerja di dalam rumah, bahwa menjadi ibu, merawat anak, mengatur keuangan keluarga, dapat mengurangi kecerdasan kaum wanita mulai terbantahkan. Faktanya tidak sedramatis sebagaimana yang dipropagandakan kaum feminis.

Dari hasil penelitian dua orang ahli syaraf, Craig Kinsley, dan Kelly Lambert (1999), mereka telah membandingkan prestasi tikus yang telah dan belum menjadi ibu pada suatu tes belajar dan mengingat. Mereka mendapati bahwa tikus yang sudah menjadi ibu mereka memiliki daya ingat yang lebih baik dari pada tikus yang belum menjadi ibu. Pembelajaran dan ingatan yang dimiliki tikus yang sudah menjadi ibu bertahan cukup lama sampai para tikus tersebut menjadi tua. (Elison Khaterin:2011).

Dari hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa kaum wanita yang menjadi ibu, merawat anak, mengurus rumah tangga, ternyata lebih cerdas di banding wanita-wanita yang belum menjadi ibu. Penelitian ini membantah bahwa menjadi ibu dapat mengurangi kecerdasan kaum wanita.

Faktanya ibu-ibu yang bekerja di rumah tangga, memiliki tingkat kreativitas luar biasa. Mereka bisa mengerjakan berbagai profesi pekerjaan dalam satu profesi yaitu ibu rumah tangga. Dalam satu profesi, seorang ibu rumah tangga mengerjakan pekerjaan secara bersamaan sebagai seorang pendidik (guru, dosen), peneliti, psikolog, manajer, akuntan, dan agamawan. Multi profesi inilah yang membuat kaum wanita bisa lebih cerdas dengan menjadi seorang ibu rumah tangga.  Wallahu‘alam.

Salam Sukses dengan logika Tuhan.

2 comments:

  1. Mohon izin menambahkan, menurut saya terdapat perbedaan kualitas ibu rumah tangga berdasarkan tingkat pendidikan & literasi juga. Ibu rumah tangga dgn literasi yg baik sangat cepat dlm mengikuti perkembangan informasi terkini. Sementara tingkat pendidikan sangat mempengaruhi proses analisis informasi tsb untuk selanjutnya digunakan dlm pengambilan keputusan mengelelola rumah tangganya. Bagi ibu yg bekerja di luar rumah sekaligus ibu rumah tangga (apalagi yg tdk memiliki asisten rumah tangga) menurut saya memiliki ilmu & keterampilan yg kompleks terutama dlm manajerial waktu krn bertanggung jawab thd pekerjaan di luar rumah & di dalam rumah spt menyediakan makanan sehat, rumah bersih & nyaman, pendampingan pembelajaran anak, psikologi perkembangan anak dll. Selain itu perlu dipertimbangkan jg keadaan ibu yg bekerja di atau dari rumah misalnya para ibu yg memiliki usaha. Jadi menjadi seorang ibu merupakan anugerah luar biasa, selanjutnya pilihan untuk hanya menjadi ibu rumah tangga di rumah ataupun bekerja semuanya memiliki konsekuensi yaitu harus dilaksanakan dgn iklas & bertanggung jawab. Mohon maaf jika pendapat saya terdapat banyak kekurangan, krn Saya masih hrs banyak belajar ������

    ReplyDelete
  2. Mohon izin menambahkan,menurut saya kualitas ibu rumah tangga berbeda berdasarkan tingkat pendidikan & literasi. Ibu rumah tangga dgn literasi yg baik mampu menyerap informasi terkini. Tingkat pendidikan digunakan untuk menganalisis informasi tsb untuk selanjutnya digunakan untuk pengambilan keputusan dlm mengelola rumah tangganya. Bagi ibu yg bekerja di luar rumah (apalagi tdk menggunakan asisten rumah tangga) jg memerlukan ilmu terutama dlm manajerial waktu krn hrs bertanggung jawab thd pekerjaan di luar rumah & di dlm rumahnya seperti menyiapkan makanan sehat, rumah bersih & nyaman, kegiatan pembelajaran anak, psikologi perkembangan anak dll. Nah, bagaimana dgn ibu yg bekerja di atau dari rumah? Menjadi seorang Ibu merupakan anugerah yg luar biasa. Selanjutnya pilihan untuk tetap di rumah ataupun bekerja memiliki konsekuensinya masing-masing,namun semuanya perlu dilaksanakan dgn iklas & bertanggung jawab. Mohon maaf jika masih banyak kekurangan, Saya masih hrs banyak belajar������

    ReplyDelete