OLEH: MUHAMMAD PLATO
Ilmu
dasar pendidikan ini, tidak akan ada dijelaskan di bangku kuliah. Bangku kuliah
ilmu pendidikan, pola pikirnya masih sekuler. Tidak akan mengajarkan ilmu
sumbernya dari kitab suci. Al-Qur’an diakui oleh para teolog, dan kristolog
keasliannya mencapai 100 persen. Sedangka kitab suci agama lain, keasliannya
hanya 10-15 persen saja.
Untuk
meyakini lebih yakin tentang kebenaran kitab suci Al-Qur’an, dunia ilmu
pengetahuan adalah sarananya. Termasuk di dunia pendidikan, kita bisa
membuktikan bahwa kebenaran-kebenaran ayat dalam kitab suci Al-Qur’an bisa buktikan. Untuk itu, teori-teori pendidikan harus dilandasi oleh
nilai-nilai yang terkeandung dalam kitab suci.
Dunia
pendidikan yang dilandasi nilai-nilai ajaran hidup dari kitab suci Al-Qur’an
punya kemungkinan untuk berhasil. Keberhasilan bukan hanya diukur dari prestasi
akademik peserta didik, tapi sekaligus dari peningkatan akhlak para pendidik.
Pendidikan yang didasari dari nilai ajaran Al-Qur’an membangun akhlak dari dua
sisi yaitu pendidik dan peserta didik. Inilah konsep pendidikan yang bermanfaat
untuk semua kalangan dan berlaku sepanjang zaman.
Mengacu
kepada tujuan pendidikan nasional, ada 10 kompetensi yang harus dikembangkan
yaitu mewujudkan peserta didik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cerdas, kreatif, mandiri, demokratis dan
bertanggung jawab. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang esa adalah dua
kompetensi yang harus menjiwai seluruh kompetensi selanjutnya. Tujuan
pendidikan ini sudah memberi isyarat bahwa keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan
menjadi bagian terpenting dan mendasar.
Pada
kenyataannya, kompetensi mendasar ini selalu terabaikan oleh tujuan-tujuan
praktis duniawi. Hasilnya pendulum selalu bergoyang ke arah kecerdasan
intelektual. Pendidikan agama yang dibatasi dengan mata pelajaran, menjadi
pelajaran yang hanya menguji pengetahuan dengan lomba-lomba layaknya kompetisi dalam rangka mencari prestasi akademik.
Pengakuan
adanya pengembangan kompetensi beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang esa, seyogyanya
tidak ditandai dengan adanya pelajaran agama dalam kurikulum saja, tapi harus
didesain dalam kegiatan penanaman akhlak beragama dalam bentuk
ritual (hulu), sampai ke akhlak dalam kehidupan sehari-hari (hilir).
Landasan
dasar dari pendidikan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan yag esa, dapat kita
rujuk dari informasi dalam kitab suci Al-Qur’an. Ada
dua konsep dasar yang harus diutamakan dalam pendidikan. Pertama adalah
mengajarkan tentang keimanan kepada Tuhan yang esa; kedua, pengajaran dalam
bentuk perintah berinteraksi sosial, diawali dengan berbuat baik kepada ibu
bapak.
Dan
(ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran
kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah)
sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang
besar". Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua
orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan
kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (Luqman, 31:13-14).
Implementasi
pendidikan keimanan dan ketakwaan di lingkungan pendidikan adalah dengan
membiasakan ritual keagamaan, dalam Islam ritual shalat. Pembiasaan ritual
shalat memiliki tujuan untuk menjadikan Tuhan yang esa sebagai satu-satunya
Tuhan tempat berharap, dan mohon pertolongan dari segala permasalahan hidup. Shalat
juga bertujuan membangun visi masa depan peserta didik dengan pembacaan doa
berulang-ulang pada saat sujud.
Program
shalat dhuha 12 rakaat dan ceramah motivasi spiritual setiap hari di lapangan adalah upaya
penanaman nilai religius sebagaimana Lukman mengajarkan keimanan kepada Tuhan
yang esa pada anaknya. Shalat dhuhur dan ashar berjamaah adalah pengulangan
agar ritual visi dan semangat kebersamaan tetap terbangun.
Ceramah
motivasi spiritual adalah upaya input pengetahuan, agar pemahaman
konsep shalat dari tataran ritual sampai aksi dalam kehidupan sehari-hari disadari. Hal
ini bertujuan agar kebiasaan ritual shalat tidak hanya pembiasaan fisik, tetapi
harus menjadi bagian dari mindset dan jadi motivasi instrinsik setiap peserta didik.
Pembiasaan
shalat lebih massif dengan membuat buku kontrol shalat lima waktu, yang harus
diparaf oleh orang tua siswa. Buku kontrol ini bertujuan membangun kejujuran
dan membangun komunikasi peserta didik dengan orang tua, dan sebagai upaya
sekolah melibatkan orang tua dalam pendidikan karakter.
Kita
semua akan merasa kecewa, jika dibuka data hasil survey secara acak terhadap
anak-anak SMA di setiap kelas tentang siapa yang melaksanakan shalat lima waktu
secara disiplin. Hasilnya hanya 5-7 orang peserta didik di tiap kelas yang melaksanakan shalat secara disiplin. Padahal usia mereka ada di rentang 16-21 sudah memiliki rasionalitas, dan keterampilan mengambil keputusan dalam kapasitasnya
sebagai manusia beragama.
Kita
selama ini tidak sadar, bahwa inilah faktor penyebab kemiskinan absolut kita.
Coba saja kita pikirkan! Dari segi kekayaan alam, apakah kelebihan Mekkah dan
Madinah? Penduduk di dua kota ini hanya rutin berjamaah mengerjakan shalat
secara disiplin. Ini pertanda bahwa shalat punya efek terhadap kesejahteraan
masyarakat.
Maka
dari itu, shalat jangan hanya dipandang sebagai kegiatan ibadah ritual. Shalat
adalah pondasi dasar pendidikan yang bisa mengaktifkan seluruh kompetensi
peserta didik. Shalat adalah upaya menghidupkan otak spiritual peserta didik
agar seluruh komeptensi peserta didik bekerja.
Secara
holistis, shalat punya efek pada peningkatan kemampuan intelektual, emosional, finansial, sosial, dan karakter peserta didik.
Shalat adalah pondasi yang akan mengantarkan sukses para peserta didik secara
holistis.
Inti
dari shalat adalah mengesakan Tuhan dan menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya
sebab segala kejadian dan pemberi pertolongan. Segala kejadian dari Tuhan tidak
akan baik, tanpa berbuat baik pada sesama, yang pertama pada kedua orang tua.
Inilah ilmu dasar pendidikan yang harus dijaga untuk menjaga mindset masyarakat Indonesia sepanjang masa. Wallahu’alam.
No comments:
Post a Comment