Monday, February 8, 2021

KERANCUAN DALAM BERFILSAFAT

OLEH: MUHAMMAD PLATO

Dimana letak kerancuan para filsuf? Bisa disimak dalam penjelasan di bawah. Harus dibaca tuntas agar bisa memahami isi tulisan ini. Berfilsafat itu sederhana jika sudah memahami kuncinya. Rahasianya akan saya jelaskan dalam tulisan ini.

Masyarakat awam cenderung membedakan secara kontradiktif antara filsafat dan agama. Para filsuf dipandang sebagai orang-orang sesat bagi mereka yang merasa telah memahami agama. Bagi para filsuf orang-orang beragama dianggap orang-orang bodoh yang hidupnya tertinggal dari kemajuan zaman. Dua pandangan ini sebenarnya mewakili orang-orang bodoh yang merasa dirinya benar. Kebodohan para filsuf mereka berpikir dengan menggunakan pengetahuan indera semata dari pengamatan alam dapat memahami rahasia kehidupan. Kebodohan para penganut agama yang bodoh adalah tidak mau memikirkan isi pengetahuan dari ayat-ayat Al-Qur’an untuk mengungkap rahasia alam. Kitab suci Al-Qur’an adalah wahyu dari Allah untuk umat manusia. Umat Islam bertugas untuk mempromosikan Al-Qur’an sebagai sumber informasi yang membawa keselamatan bagi umat manusia. Al-Qur’an dapat jadi alat, pedoman, untuk menganalisis pemikiran seseorang.

Dasar dari berpikir adalah berlogika sebab akibat, sebagaimana pemikir dari kaum Stoa (stoa artinya ruang) berpendapat bahwa segala yang terjadi dan berlaku di dalam alam ini dikuasai oleh hukum kausalita. Apa yang terjadi berlaku sebagai gerak. Tiap-tiap gerak ada yang menyebabkannya.  Kaum Stoa juga berpandangan bahwa semua yang terjadi di dalam dunia berlaku menurut hukum alam dan rasio, akal Tuhan untuk keselamatan manusia, sehingga kaum Stoa mempunyai pandangan hidup yang optimis. Kehidupan ini semua terjadi menurut kemestian dalam edaran yang tetap, terima itu dengan sabar dan gembira. (Hatta, 2006, hal. 152).

Bagi kaum Stoa manusia yang hidup sepenuhnya menurut kodrat alam adalah merdeka sepenuhnya sekalipun mereka tunduk kepada satu-satunya hukum yang menguasai semuanya. Manusia yang khilaf menyimpang dari semestinya akan sakit. Berbuat jahat dan berbuat salah dapatlah dipandang sebagai penyakit, sebagai penyelewengan terhadap norma alam. Manusia dihinggapi penyakit apabila ia mencita-citakan kekayaan, kehormatan dan tanda-tanda kebesaran diri yang tidak sesuai dengan keadaannya yang sebenarnya. (Hatta, 2016, hlm. 154).

Baik dari dua pernyataan kaum filsuf di atas, sebenarnya para filsuf memahami bahwa kehidupan ini diatur oleh sebuah sistem yang teratur dan tetap. Menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan berarti pertanda tidak baik buat manusia. Untuk itu diharapkan manusia hidup selaras dengan sistem hidup yang sudah ditentukan. Manusia harus merasa merdeka dalam sistem yang sudah ditetapkan.

Kerancuan dari berpikir mewakili kaum filsuf di atas adalah memfokuskan pada hukum alam sebagai sumber hukum. Keyakinan inilah yang pada akhirnya melahirkan kaum materialis, tidak percaya Tuhan yang tidak terlihat. Pemikiran bersumber pada alam materi terus berkembang berdampingan dengan berbagai bidang keilmuan, dan ditemukannya metodologi penelitian. Para ilmuwan membuat keyakinan baru dimana alam sebagai sistem hidup, bisa dipahami, diamati, dan dibuktikan kebenarannya. Lahirlah sebuah pemahaman rancu yaitu segala sesuatu yang benar harus bisa dibuktikan dalam bentuk materi.  Sejak saat itu, manusia menjadi makhluk kerdil karena hanya bisa fokus memahami dunia materi yang sempit. Kepercayaan kepada Tuhan Yang Ghaib mulia luntur, abai, tidak peduli, dan dianggap tidak ada.

Berfilsafat adalah kegiatan berpikir untuk mencari kebenaran hakiki, kebenaran yang tidak bisa dijawab lagi oleh manusia kecuali berserah diri kepada Tuhan. Berfilsafat tidak dilarang, karena sebagai aktivitas berpikir justru diperintahkan Allah sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur’an. Kerancuan para filsuf yang harus diwaspadai adalah menjadikan hukum alam sebagai sumber pengetahuan. Berfilsafat yang diajarkan oleh Tuhan adalah memahami, menganalisis, mengevaluasi, apa yang terjadi di alam sebagai bukti keagungan Tuhan Pecipta Semesta Alam. Kegiatan berfilsafat adalah sebuah proses pencarian bukti untuk meningkatkan keyakinan kepada ke-Esa-an Tuhan.

Doktrin mutlak dalam berfilsafat adalah segala sesuatu diciptakan Allah Tuhan Yang Maha Esa. Tujuan berfilsafat adalah memurnikan ketauhidan manusia dari ketauhidan kepada tuhan selain Tuhan Yang Maha Esa. Alam adalah karya Tuhan yang bisa dieksplorasi untuk kesejahteraan manusia dengan tetap menjaga ketaatan pada keseimbangan, dan keharmonisan hidup antara manusia dengan alam.  

Jadi kerancuan para filsuf itu hanya sedikit yaitu mejadikan alam sebagai sumber pengetahuan yang benar dia dinamai kelompok empirisme, dan menjadikan akal sebagai sumber kekuatan manusia dalam memahami kehidupan alam, dia dinamai kelompok rasionalisme. Sesungguhnya alam adalah objek ciptaan Tuhan, dan akal adalah alat yang diciptakan Tuhan. Memahami alam dengan akal tujuannya membauktikan keagungan Tuhan Yang Maha Esa. Maka, selama kita berfilsafat dan tetap meng-Esa-kan Tuhan, itulah tujuan berpikir yang diperintahkan Tuhan. Maka sumber pengetahuan itu dari Tuhan yaitu Al-Qur'an dan alam adalah ayat-ayat Tuhan sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur'an. Wallahu’alam. 

No comments:

Post a Comment