Friday, July 30, 2021

MELAHIRKAN PEMIKIR SESUAI ZAMANNYA

OLEH: MUHAMMAD PLATO

Sejak meninggalanya Nabi Muhammad SAW, peradaban Islam terus berkembang mencapai puncaknya pada abad ke 8-9 Masehi. Ulama, pemikir, dan ilmuwan kelas dunia lahir mewarnai khasanah berpikir. Ilmu dan sains berkembang pesat. Pada saat itu Barat sedang berada dalam abad kegelapan akibat terlalu kuatnya kekuasaan dan doktrin Gereja. Kebebasan berpikir dibatasi dengan ancaman penjara. Cara pemahaman agama yang terlalu dominan pada pemuka-pemuka agama telah melahirkan tuhan-tuhan selain Allah yang harus ditaati manusia. Agama tidak murni lagi diajarkan untuk menyucikan diri dari perbuatan dosa, melainkan untuk mempertahankan kekuasaan, kehormatan, kelembagaan, dan kekayaan. Ayat-ayat Tuhan bisa dipesan dan dikondisikan agar bisa terlihat masuk akal dan membenarkan ajaran yang sebenarnya bukan dari Tuhan.

Waktu berputar, peradaban Islam mulai memudar mengalami kemunduran akibat perebutan kekuasaan. Kasusnya sama seperti peradaban Barat berada di masa kegelapan. Perebutan kekuasaan telah membawa agama pada kotak-kotak  dukung mendukung kekuasaan. Saling hujat dan saling menjatuhkan didasari fatwa-fatwa agama semakin menambah kuat hasrat permusuhan. Bunuh membunuh antar pendukung menjadi perang suci antar agama yang terlihat tidak suci.

Hasrat bermusuhan itu diturunkan dari generasi ke generasi dengan doktrin-doktrin agama dari penafsir tunggal nenek moyang yang semakin perkasa. Tidak ada yang berani membantahnya karena penjaga-penjaganya sangat bengis dan akan menghukum bagi siapa saja yang berani menentangnya. Jumlah umat bertambah tetapi tidak bisa melahirkan pemikir-pemikir besar, semua harus takluk di hadapan panfasir tunggal warisan nenek moyang yang perkasa yang sudah dipertuhankan.

Memahami agama berbeda dengan memahami ilmu-ilmu alam. Dalam ilmu alam ketika mengemukakan pendapat harus didukung oleh teori-teori terdahulu. Teori-teori itu ada penemunya dan dianggap pemiliknya. Tanpa dukungan teori pendapat yang dikemukakan tidak memiliki kekuatan. Demikian juga teori yang dikembangkan tanpa dukungan teori-teori sebelumnya juga diragukan.

Ajaran agama Islam harus dipahami dari sumbernya, yaitu kitab suci Al-Qur’an dan hadis yang tidak bertentangan dengan kitab suci Al-Qur’an. Para penfasir, penerjemah, ahli pikir, guru, ustad, kiai, ulama (saintis) adalah para penemu makna, nilai, dan hukum dalam beragama, tetapi tidak menjadi  pemilik makna, nilai, hukum yang ditemukan. Perbedaan makna, nilai, dan hukum dalam beragama adalah kekayaan yang harus dimiiki bersama bukan untuk saling klaim mengadu kebenaran. Tapi sebagai khasanah pembuka jalan menuju kebenaran bagi siapa yang dapat menerimanya sesuai dengan kemampuan akalnya.

Umat beragama ibarat konsumen di pasar, mereka punya kebutuhan dan keinginan sesuai dengan kebutuhan dan kesenangannya masing masing. Di pasar ada kesepakatan bersama yang mengatur agar para penjual dan pembeli saling jujur. Penjual harus jujur menjelaskan barang yang dijualnya sesuai kondisi barang. Para pembeli harus jujur membeli barang dengan uang legal senilai dengan harga barang yang dibelinya. Para penjual dan pembeli tidak saling memaksa, tidak saling menghujat, transaksi dilakukan dengan kejujuran dan keikhlasan. Demikian juga antar penjual tidak saling hujat dan menjelek-jelekkan barang dagangannya, malah saling mempromosikan jika barang jualannya berbeda. Inilah khasanah kehidupan para pedagang yang diberkahi Allah.

Penganut agama Islam dengan jumlah satu miliar lebih harus diberi kebebasan untuk menemukan atau memilih mana kahasanah agama Islam yang diminatinya sesuai kemampuan. Dengan misi suci agama Islam menjamin kesejahteraan dan perdamaian dunia adalah kode kuat dari Al-Qur’an untuk umat manusia. Apa pun yang diciptakan hendaknya tidak keluar dari misi utama Al-Qur’an diturunkan. Setiap 100 tahun akan ada perbaikan terhadap kualitas umat manusia, dan hendaknya umat beragama (Islam) mulai membuka ruang berpikir dan menjadikan Al-Qur’an sebagai dasar rujukan utama dalam melahirkan pemikir-pemikir kelas dunia. Tidak ada satu orang ahli berpikir pun dihadapan Allah swt, karena Allah swt tidak melihat keahlian berpikir seseorang tetapi melihat kesucian hati dan kebermanfaatannya dari hasil sekecil apapun hasil berpikir.

“karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa). atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?” (Abasa, 80, 2-4)    

Sikap curiga, iri, dengki, saling hujat, saling salahkan, dan menebar kebencian akan hilang jika ajaran agama benar-benar dihayati. Jika beragama masih memelihara sifat-sifat buruk dan tidak sadar mengatasnamakan agama, maka bisa jadi kita sesungguhnya tidak beragama. Hati kadang-kadang  tidak bisa membedakan mana kebaikan dan keburukan. Jika hati sudah benci maka tertutuplah semua kebaikan. Akal juga bisa membawa malapetaka karena bisa menghilangkan rasa. Saatnya hati dan akal bersinergi agar sama-sama bekerja menyelesaikan urusan dunia dan akhirat.

Tidakkah kita sadar bahwa setiap hari gunakan teknologi, mendapat kemudahan hidup dari karya-karya akal? Tidakkah kita melihat orang-orang kaya hasil dari akalnya, membiarkan orang-orang kelaparan karena tidak memiliki hati? Sebaliknya tidakkah kita melihat orang-orang yang memiliki hati mencurigai dan membenci orang-orang diluar kelompoknya? Allah menciptakan alam ini dengan sistem dan saling ketergantungan. Untuk itu hati dan akal tidak bisa dipisah-pisahkan. Jadi kegiatan berpikir bukan murni kegiatan akal tetapi sebuah kolaborasi akal dan hati. Pemikir-pemikir sejati, setiap pemikirannya akan menyucikan hati dan menjadi inspirasi bagi siapa saja yang membacanya. Pemikir sejati tidak pernah mengklaim pemilik kebenaran dari setiap hasil pemikirannya. Pemikir sejati merasa cukup Allah jadi saksi bahwa dirinya pernah berpikir dan mengajarkannya.

Abad informasi telah menuntut hati dan akal untuk bekerja lebih cerdas. Di abad informasi dibutuhkan lebih banyak pemikir yang mengkolaborasikan akal dengan hati, dan menjadikan kitab suci AL-Qur’an sebagai sumber pengetahuan (deduktif) bersanding dengan pengetahuan hasil pengamatan (induktif). Pengetahuan-pengetahuan dari kitab suci Al-Qur’an seyogyanya menjadi sebuah pedoman hidup yang bisa digunakan dalam kehidupan sehari-hari di mana saja bagi siapa saja. Lembaga-lembaga pendidikan harus melatih kemampuan berpikir, dan perguruan tinggi harus melahirkan pemikir-pemikir cerdas sesuai dengan zamannya. Wallahu’alam.

No comments:

Post a Comment