Tuesday, July 20, 2021

SETIAP KEPUTUSAN MILIK PRIBADI

OLEH: MUHAMMAD PLATO

Tidak ada satu orang manusia pun tidak berpikir. Ketika lingkungan memengaruhi, guru menasehati, pedagang merayu, setan membisiki, seseorang menghembuskan permusuhan, maka setiap orang akan mengambil keputusan berdasar keputusannya sendiri, baik dalam keterpaksaan maupun sukarela.

Madzab lahir karena dalam Islam memperbolehkan ijtijhad, sebagaimana Allah memerintahkan berpikir kepada setiap orang. Ijtihad perseorangan tidak berlaku untuk umum kecuali untuk dirinya sendiri. Namun karena beraneka ragam kemampuan, ada orang yang mengikuti pemikiran seseorang yang dianggap mampu memahami Al-Qur’an sampai timbul keterikatan dan timbullah madzab.

Islam mengakui bahwa hak untuk berijtihad dimiliki oleh semua pribadi yang dapat berpikir lurus dan mampu menyelidiki, baik pria maupun wanita, raja atau kaula, pegawai negeri yang terkemuka ataupun seorang warga-warga biasa. (Shaltout, 1961, hlm. 130). Dalam berijtihad, Islam tidak mengenal seorang pun yang kebal membuat kekeliruan, kecuali Nabi Muhammad SAW dalam soal wahyu. Para ulama yang besar atau kerabat Nabi SAW yang terdekat, akan mudah berbuat kekeliruan. (Shaltout, 1961, hlm. 131).

Penggunaan ijtihad perseorangan sangat luas setelah masa kedua khalifah yang pertama, lebih-lebih setelah adanya fitnah yang dahsyat yang timbul sesudah pembunuhan Usman r.a., khalifah yang ketiga. Dalam bentuknya yang ekstrim, ijtihad perseorangan telah mengubah umat Islam menjadi sekta-sekta yang saling bertentangan, dan masing-masing hanya mengikuti kecenderungan-kecenderungan perseorangan saja dalam menetapkan madzabnya dan dalam menyampaikan kata-kata Nabi Muhammad SAW. (Shaltout, 1961, hlm. 131).

Hendaklah dipahami benar bahwa Islam tidak mengesampingkan orang-orang tertentu untuk yang berhak menafsirkan Al-Qur’an atau sunnah, dan tidak pula kewajiban bagi orang-orang untuk berpegang pada pendapat perseorangan tententu mengenai masalah-masalah yang boleh ditafsirkan oleh perorangan. Islam tidak mengikat pengikut untuk menganut orang-orang teretentu, karena tidak ada kewajiban yang harus diakukan selain kewajiban yang telah diperintahkan oleh Allah swt dan Nabi SAW. Juga Allah dan Rasulnya tidak memerintahkan seseorang mengikuti madzab tertentu. (Shaltout, 1961, hlm. 131).

Kutipan-kutipan dari pendapat Mahmoud Shaltout di atas merupakan rangkaian pemikiran yang berdasar pada Al-Qur’an. Dasar dari ajaran agama Islam adalah beriman pada Allah, Nabi Muhammad SAW, malaikat, kitab suci AL-Qur’an, takdir, dan hari akhirat. Selain itu tidak ada kewajiban umat Islam untuk beriman. Allah tidak melihat manusia dari aksesoris kasat mata, Allah melihat kutamaan manusia dari ketaatannya dalam melakukan dan mengajarkan kebeneran-kebenaran-Nya.

“…Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al-Hujuraat, 49:13).

Maka dari itu, kelebihan Islam menurut Ust. Dondy Tan seorang yang baru kembali Islam, ketika manusia mau berhubungan, berkomunikasi dengan Allah “tanpa perantara”. Al-Qur’an adalah sarana umat manusia untuk berkomunikasi dengan Allah. Jika Al-Qur’an dibaca maka informasi yang diterima, dimaknai secara langsung oleh seseorang bahwa dia sedang berkomunikasi dengan Allah. Sekalipun seseorang bisa memahami Al-Qur’an dari hasil terjemah atau tafsir seseorang, tetap saja setiap orang akan menerima atau tidak menerima makna terjemah atau tafsir tersebut berdasar keputusannya pribadi. Untuk itu, di pengadilan akhirat setiap orang akan mempertangungjawabkan setiap keputusan yang pernah dilakukannya.

Etika dalam agama Islam dalam memahami dan menemukan kebenaran tidak diperkenankan mengklaim dirinya sebagai pemilik kebenaran, karena kebenaran mutlak milik Allah. Sifat manusia adalah tempatnya salah, maka siapapun manusia berpotensi salah. Siapa mengaku benar dia salah, dan barang siapa mengaku salah dia benar. Untuk itu ulama, ilmuwan, ustad, guru, siapapun jika dia seorang muslim maka sifat keredahan hati sudah pasti melekat pada dirinya.

“(Lukman berkata): "Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (Lukman, 31:16)

Ayat ini ditafsir oleh Syaiful Karim sebagai keterangan yang menjadi sebab pemahaman adanya hukum tarik menarik (the law of attraction). Maka dari itu, bagi seorang muslim yang taat, tidak ada rumus menyalahkan orang lain, segala kejadian yang menimpa selalu diawali dengan kerendahan hati dengan mengakui kelemahan dan kealpaan yang ada pada diri sendiri.

Nabi Adam a.s dan Hawa mengajarkan sekalipun tergelincir karena tipu daya setan, namun dalam permohonan ampunnya kepada Allah, beliau tidak menyalahkan setan tetapi mengakui dirinya sendiri yang telah melakukan perbuatan salah.

Keduanya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi". (Al A’raaf, 7:23).

Maka dari itu, menerima dan tidak menerima kebenaran dari penjelasan dalam artikel ini, kembali pada keputusan pribadi. Untuk itu Nabi Muhammad SAW mengajarkan untuk selalu memohon ampunan kepada Allah sebanyak banyaknya setiap hari. Wallahu’alam.

   

No comments:

Post a Comment