Friday, April 21, 2023

SUNATULLOH MUDIK

Oleh: Muhammad Plato

Sejak kapan tradisi mudik ada di Indonesia? Sulit untuk ditelusuri. Jelasnya, fenomena mudik sudah terjadi secara turun temurun dan menjadi tradisi masyarakat Indonesia. Jika kita lihat asal usulnya, dalam buku kumpulan tulisan Nurcholish Madjid (2009) berjudul Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat, dikatakan bahwa tradisi mudik (kembali ke asal) sudah menjadi sifat dasar (sunatullah) manusia sejak proses penciptaannya.

Naluri kembali ke asal (mudik) sudah jadi ketentuan Tuhan sejak manusia dalam alam ruhani. Sebelum lahir ke dunia, manusia sudah melakukan perjanjian dengan Tuhan. Di alam ruhani manusia berjanji akan hidup berbakti kepada Tuhan dan kembali kepada Tuhan. Perjanjian itu diberitakan dalam Alqur’an, “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi" (Al’araf:172).


Setelah bersaksi siapa Tuhannya, manusia juga berkomitmen untuk kembali kepada Tuhan yang menciptakannya, "Ampunilah kami ya Tuhan kami, dan kepada Engkaulah tempat
kembali" (Al Baqarah:285). Nurcholis Madjid berkesimpulan, berdasarkan persaksian dan komitmen manusia untuk menyembah dan kembali kepada Tuhannya, maka kembali ke asal (mudik) adalah sunatullah kehidupan manusia. Dalam arti spiritual, kembali ke asal (mudik) untuk menyembah atau menuju Tuhan.

Kembali ke asal (mudik), bukan hanya sunatullah yang terjadi pada manusia, tetapi sudah menjadi sistem kehidupan yang mengatur jagat raya. Dalam kenyataan semua makhuk yang diciptakan-Nya akan kembali kepada pencipta-Nya. Dari mulai binatang melata sampai binatang terbang, dari mulai langit, gunung, laut, dan semesta alam, akan mengalami kehancuran dalam arti kembali (mudik) kepada sang Pencipta.

Manifestasi pola kembali ke asal (mudik) dapat kita temukan dalam berbagai aktivitas kehidupan manusia. Dalam sejarah kehidupan Nabi Muhammad saw. dikisahkan setelah Beliau berhijrah dari Mekkah dan menetap selama kurang lebih 13 tahun  di Medinah, Nabi Muhammad saw beserta kaum muslimin akhirnya dengan izin Allah kembali (mudik) ke Mekkah. Perasaan senang, cucuran air mata bahagia kaum muslimin, mewarnai peristiwa itu. Mereka bahagia karena bisa bertemu kembali dengan sanak famili yang sudah sekian lama terpisah, menyambung tali silaturahmi dan mengakhiri permusuhan. Itulah peristiwa “mudik” besar-besaran umat Islam yang tercatat dalam sejarah Nabi Muhammad saw. sebagai peristiwa penaklukan Mekkah.

Dalam sejarah dunia, kita bisa temukan bagaimana orang-orang Eropa secara besar-besaran bermigrasi ke wilayah Timur, berkuasa menjajah ratusan tahun, dan setelah negara jajahannya merdeka, mereka kembali ke tempat asalnya (mudik) ke Eropa. Demikian juga, pola kembali ke asal (mudik) dapat kita temukan dalam kehidupan binatang. Kita lihat bagaimana ribuan burung, kuda, bison, bermigrasi sejauh ribuan kilo meter mencari tempat penghidupan dan pada suatu saat yang telah ditentukan mereka akan kembali ke tempat asalnya.

Kembali ke asal (mudik) dapat juga kita saksikan dalam siklus kehidupan manusia. Manusia diciptakan dari tanah dan kembali ke tanah. Manusia tumbuh dari anak-anak, dewasa, dan kembali seperti anak-anak. Manusia lahir tidak memiliki apa-apa dan kembali tidak membawa apa-apa. Manusia lahir dari perut ibunya dan di manapun berada ibu selalu menjadi magnet yang menarik setiap orang untuk kembali. Manusia lahir di suatu tempat dan tempat kelahiran selalu menjadi daya tarik untuk kembali. Itulah beberapa manifestasi sunatullah kembali ke asal (mudik) yang selalu terjadi pada kehidupan manusia.

Tradisi mudik besar-besaran pada hari raya idul fitri adalah bentuk lain dari manifestasi sunatullah kembali ke asal. Karena sudah menjadi sunatullah (naluri dasar manusia), tradisi mudik pada hari raya idul fitri sulit dihilangkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Pada kenyataannya juga mudik lebaran seperti sudah menjadi bagian ritual keagamaan masyarakat Indonesia di hari raya Idul Fitri. Suatu kebiasaan jika sudah menyatu dengan sistem kepercayaan (believe system) sebuah masyarakat, tradisi ini akan semakin sulit dipudarkan sekeras apapun perubahan zaman menerpanya.

Walaupun mudik dikatakan sebagai sunatullah, secara syariah tidak ada keterangan yang menganjurkan manusia untuk mudik dan tidak ada juga keterangan yang melarangnya. Tetapi karena mudik dalam arti kembali ke asal sudah menjadi sunatullah dalam kehidupan manusia, maka kita hanya bisa mempersiapkan dan mengarahkan agar kegiatan mudik dalam berbagai manifestasinya bisa membawa hikmah dan berkah bagi kehidupan manusia di dunia dan akhirat.

Untuk itu kita harus ingat, sesungguh-sungguhnya mudik adalah jika ajal telah menjemput kita. Maka dari itu sebaik-baiknya bekal mudik, bersiap siagalah selalu dengan bekal takwa. Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah". Maka katakanlah: "Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?" (Yunus:31).

Maka, berbagi rezeki dengan sesama, menyambung tali silaturahmi, mengakhiri permusuhan, dan memohon maaf pada kedua orang tua (jika masih ada), itulah tujuan alternatif mudik sesungguhnya. Selamat lebaran dan selamat mudik semoga kebahagian menyertai kaum muslimin dan seluruh alam, semoga Allah menjadikan kita orang-orang takwa.***

No comments:

Post a Comment