Dalam
sebuah hadis diceriatkan bahwa ada seorang ayah yag memasuki kehidupan yang
penuh penderitaan, alias neraka. Sebaliknya, anak orang tersebut berada dalam
kehidupan yang penuh kenikmatan, alias di surga. Anak tersebut memohon kepada
Allah agar dirinya dimasukkan ke dalam neraka untuk menggantikan ayahnya.
Tetapi Allah itu maha penyantun! Akhirnya ayah tersebut dikumpulkan dengan
anaknya yang ada di syurga. Karena itu manusia diperintahkan berakhlak dengan akhlak
Allah, takhallaqu bi khuluqillah. Berbudi
pekertilah kamu dengan budi pekerti Allah. (Chodjim, 2005).
"Sesungguhnya Allah telah membagikan akhlak di antara kalian, sebagaimana Dia telah membagikan rezeki diantara kalian. Sesungguhnya Allah memberikan harta kepada orang yang dicintai dan tidak dicintai. Namun dia tidak memberikan keimanan kecuali kepada orang yang Dia cintai..." (HR. ath-Thabarani)
"Sesungguhnya Allah telah membagikan akhlak di antara kalian, sebagaimana Dia telah membagikan rezeki diantara kalian. Sesungguhnya Allah memberikan harta kepada orang yang dicintai dan tidak dicintai. Namun dia tidak memberikan keimanan kecuali kepada orang yang Dia cintai..." (HR. ath-Thabarani)
Sembilan
puluh sembilan nama Allah yang sering anak-anak hafalkan sesungguhnya adalah akhlak-akhlak
Allah yang harus jadi patokan prilaku manusia. Akhlak-akhlak Allah ini adalah 99
kecerdasan yang bisa dimiliki manusia, dan harus diajarkan di rumah dan sekolah-sekolah
dalam kegiatan pendidikan karakter.
KUALITAS PENDIDIKAN DI SATUAN PENDIDIKAN TERGANTUNG PADA AKHLAK PARA PENDIDIK |
Akhlak-akhlak
Allah secara aplikatif dijelaskan di dalam kitab suci Al-Qur’an. Akhlak-akhlak
Allah ini menjadi standar prilaku yang harus diwariskan dari generasi ke
generasi melalui proses pendidikan. Sudah seharusnya para pelaku pendidikan
memahami prilaku-prilaku dasar ini. Agar kualitas sumber daya manusia dari
tahun ke tahun tidak mengalami penurunan kualitas.
Diantaranya
ada empat Akhlak Allah paling dasar yang harus diajarkan kepada anak-anak. Tiga
Akhlak Allah ini dianggap akhlak paling mendasar karena bagian dari kunci-kunci
keberhasilan dalam pendidikan.
Kegagalan
kita dalam dunia pendidikan, sesungguhnya tidak memiliki persepsi yang sama
tentang standar prilaku yang harus diajarkan. Standar prilaku dalam pendidikan seolah-olah mengalami perubahan
karena mengikuti perkembangan zaman dan pemikiran manusia. Padahal akhlak
manusia mengikuti akhlak Allah yang tidak mengalami perubahan. “walantajida lisunnatillohi tabdiila”
(kamu sekali kali tidak akan menemukan perubahan bagi sunatullah itu).
Ahlak
Allah pertama adalah Maha Mengetahui. Akhlak Allah maha mengetahui
diimplementasikan oleh dunia pendidikan dalam memelihara dan meningkatkan
kemampuan membaca (kemampuan literasi). Literasi dianggap sebagai implementasi
akhlak Allah yang maha mengetahui. Dalam kegiatan membaca Allah memberikan
kemurahannya kepada manusia untuk mengetahui segala rahasia, dan sunatullah
yang berlaku di alam semesta. (Al Alaq, 96:1-4).
Akhlak
Allah yang kedua Maha Kuasa diimplementasikan dengan menjadikan Allah sebagai
satu satunya penolong. Dalam dunia pendidikan di praktekkan dengan melatih
anak-anak untuk selalu beriman dan berkeyakinan kepada Allah sebagai penolong.
Bagi umat Islam dengan menjadikan ritual salat sebagai prilaku dasar dalam
meminta pertolongan kepada Tuhan Yang Esa. Konsep salat sebagai sarana untuk
minta tolong kepada Allah sebagaimana di jelaskan dalam Al-Qur’an.
“Hai orang-orang yang beriman,
mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat,
sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (Al Baqarah, 2:153)
Konsepsi
salat sebagai cara minta tolong kepada Allah, harus diajarkan kepada anak-anak,
agar mereka memiliki arah tujuan yang jelas dalam melaksanakan ritual salat.
Ritual ini akan membangun kompetensi spiritual anak-anak.
Akhlak
Allah yang ketiga adalah Maha Pemelihara, diimplementasikan dengan mengajarkan
anak-anak untuk berbakti kepada orang tuanya. Implementasi akhlak hormat pada
orang tua, guru, menjadi samar ketika model pembelajaran, mengajarkan agar hubungan
antara orang tua, guru, dengan anak harus seperti seorang teman. Hasilnya
anak-anak mengalami disorientasi tujuan hidup, di mana guru-guru, orang tua,
harga dirinya menjadi sederajat, karena dianggap sebagai teman.
Hubungan
antara guru dan peserta didik seharusnya mengikuti akhlak Allah yang diterapkan
oleh para ibu terhadap anaknya, yaitu memelihara anak-anaknya dengan tidak ada harap
kembali, bagai sang surya menyinari dunia. Para guru yang memiliki akhlak pemelihara
akan mengubah anak-anak menjadi anak cerdas dan berkahlak mulia.
Anak-anak
seharusnya diajrakan untuk memperlakukan guru sebagaimana perlakuan anak
terhadap orang tuanya, dia harus taat, patuh, dan berbakti dengan
sebaik-baiknya. Dengan diajarkan Akhlak Allah, anak-anak akan menjadi guru
untuk generasi berikutnya di mana pun mereka berada. (baca, Al-Israa, 17:23).
Akhak
Allah Ke empat adalah Maha Pemberi. Alam semesta diciptakan dengan hukum dasar
memberi. Manusia adalah makhluk pewaris bumi, yang harus melestarikan bahwa
memberi adalah konsep dasar penciptaan alam semesta. Manusia pemberi adalah
penjaga keseimbangan alam.
Sementara
ini akhlak anak-anak berubah ketika diajarkan ekonomi bagaimana meminimalisir
pengeluaran untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Padahal akhlak Allah tidak
mengajarkan demikian. Allah mengajarkan dengan akhlaknya bahwa untuk
mendapatkan keutungan yang besar, manusia harus berani memberi dan berkorban
dengan sempurna. (Baca, Al-Kautsar, 108:1-3)
Itulah empat akhlak Allah yang harus diajarkan kepada manusia dari masa ke masa.
Teknologi boleh berubah, tetapi sustansi pendidikan paling mendasar yang
tujuannnya mewariskan akhlak-akhlak Allah tidak akan pernah mengalami
perubahan.
Kesenjangan
sosial, kekerasan, dan kedzaliman di muka bumi ini bersumber dari kegagalan
pendidikan dalam mewariskan akhlak-akhlak Allah kepada anak-anak didik.
Disorientasi pendidikan terjadi karena manusia telah melepaskan diri dari
pengetahuan-pengetahuan hidup yang terdapat dalam kitab suci (Al-Qur’an). Kitab
suci tidak dijadikan rujukan, karena terjebak oleh pola pikir kaum naturalis
yang tidak percaya kepada Tuhan sebagai pemilik segala pengetahuan. Wallahu ‘alam.
(Penulis Master @Logika Tuhan)
No comments:
Post a Comment