Friday, April 23, 2021

AL-QUR’AN BICARA EMANSIPASI WANITA

 OLEH: MUHAMMAD PLATO

Apakah kepemimpinan wanita menjadi pertanda bahwa di Indonesia telah terjadi emansipasi wanita? Apakah tampilnya pemimpin wanita dalam kepemimpinan sebagai kabar baik? Saya tidak akan mempermasalahkan kepemimpinan wanita dalam dunia politik dan aspek kehidupan lain, tetapi wanita dan laki-Laki memiliki perbedaan itu fakta.

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An Nisaa, 4:34).

Ayat di atas menjadi kontroversi dan mengajak semua orang berpikir bagaimana menerapkan emansipasi wanita dalam kehidupan nyata. Ayat ini mengajak dan melahirkan banyak tafsir dan penafsir. Siapa yang berhak menafsir ayat ini? Semua orang yang memiliki kemampuan intelektual tinggi. Para lulusan sarjana dan pasca sarjana, dari berbagai bidang ilmu berhak menafsir dengan perbendaharaan pengetahuan yang dimilikinya. Allah tidak pernah membatasi siapa yang berhak memahami Al-Qur’an dan siapa yang tidak berhak. Al-Qur’an adalah berkah untuk manusia dan siapapun berhak untuk berhubungan langsung dengan Al-Qur’an sesuai dengan kapasitas intelektualnya.

Kiai Hendi Noor seorang sarjana Fisika yang rajin mengikuti kajian Al-Qur’an dari youtube, memiliki penafsiran yang dipahaminya sendiri. Konsep “arijalu” yang ditafsirkan sebagai kata laki-laki tidak dipahami secara lahiriah. Arijalu dalam kontek batiniah adalah ruh yang suci yang ditiupkan Allah ke dalam jasad manusia. Laki-laki dan wanita memiliki ruh yang harus jadi pemimpin dalam kehidupan dunia. Kelak yang akan di adili di akhirat laki-laki maupun perempuan adalah ruh. Sedangkan kata “nisaa” tidak dipahami sebagai wanita dalam arti gender, melainkan jasad.

Selanjutnya Kiai Hendi Noor menyimpulkan bahwa bukan laki-laki atau perempuannya yang harus memimpin tetapi baik laki-laki maupun perempuan harus dipimpin oleh Ruhaninya “jallu” bukan oleh naluri yang sudah dipengaruhi jasadnya “nisaa”.

Dalam kontek penafsiran di atas, Kiai Hendi Noor tidak mempermasalahkan jika ada seorang wanita menjadi pemimpin, karena di dalam diri wanita itu sendiri sesungguhnya ada ruh yang harus jadi pemimpin ketika wanita itu menjadi pemimpin. Tafsir kiai Hendi Noor masuk kategori lapis dua dengan tingkat abstraksi tinggi.

Dengan hadirnya penfasiran seperti Kiai Hendi Noor, apakah penafsiran bahwa laki-laki secara fisik ditakdirkan sebagai pemimpin salah? Faktanya secara statistik saat ini, pemimpin pemimpin negara lebih banyak dipegang oleh laki-laki. Secara kodrat fisik laki-laki lebih memungkinkan untuk jadi pemimpin. Berdasarkan struktur otak, laki-laki yang lebih dominan gunakan logika lebih memungkinkan untuk jadi pemimpin. Laki-laki selama hidupnya tidak ada masa-masa kritis dimana emosi tidak stabil, berbeda dengan wanita yang memiliki masa emosi tidak stabil karena datang bulan.

Secara fisik wanita pun memiliki tugas untuk hamil untuk menjaga eksistensi manusia. Untuk itu wanita dibatasi geraknya selama sembilan bulan mengandung. Setelah itu ada fase menyusui sampai usia anak dua tahun. Melihat kondisi fisik seperti ini, ada layaknya bahwa kata “arijalu” ditafsirkan dengan laki-laki dan “nisaa” adalah wanita. Realitasnya para Nabi yang diutus dikabarkan di dalam kitab suci Al-Qur’an sebagai laki-laki.

Lalu tafsir mana yang akan digunakan? Kedua-duanya bersumber pada Al-Qur’an. Tidak perlu ada perselisihan tafsir mana yang benar, karena kebenaran mutlak milik Allah. Perseisihan, pertikaian, sudah jelas sebabnya karena masing-masing sudah jadi tuhan-tuhan selain Allah.

Perbedaan pendapat adalah realitas hidup dari Tuhan, tujuannya agar manusia tidak saling mengklaim kebenaran dan harus saling memberi kesempatan untuk mengekspresikan pemikirannya. Tujuan dari kehidupan adalah kondisi damai yang saling menghargai perbedaan dengan rujukan pola pikir Al-Qur’an. Budaya atau kebiasaan masyarakat tidak serta merta dapat disalahkan karena tafsir-tafsir Al-Qur’an bisa hidup dalam budaya masyarakat. Manusia hidup dalam lautan takdir Tuhan, dan Al-Qur’an akan membenarkan mana yang harus manusia terus lakukan atau hentikan.

Laki-laki jadi pemimpin memiliki dasar pemikiran dari Al-Qur’an, dan wanita menjadi pemimpin dilandasi pemikiran dari Al-Qur’an. Pemikiran mana yang mau dilakukan, takdir Tuhan yang akan menentukan. Al-Qur’an diturunkan untuk memudahkan tidak untuk menyulitkan manusia. Wallahu’alam.

No comments:

Post a Comment