Sunday, March 6, 2022

PSIKOLOGI DAN EMOSI PERANG NABI MUHAMMAD

OLEH: MUHAMMAD PLATO

Perang Rusia dengan Ukraina menjadi sorotan dunia, namun kita tidak tahu apa motivasi sesungguhnya dibalik perang yang dilakukan oleh kedua negara. Rusia jelas menjadi negara berkekuatan besar tetapi jumlahnya tidak seberapa dibanding dengan kekuatan 27 negara tergabung dalam NATO yang terdiri dari beberapa negara yang punya kekuatan militer besar di dunia. Sesungguhnya, bukan Ukraina yang sedang berperang dengan Rusia tapi kekuatan yang ada dibalik Ukraina. Dapat dipahami secara emosi, Rusia akan sangat marah kepada Ukraina jika ingin bergabung dengan NATO. Tetangga dekat yang seharusnya senasib dan sepenanggungan malah milih bergabung dengan rival. Kemarahan yang sangat memuncak dari Rusia, maka dipilihlah jalan perang untuk menduduki Ukraina, sebelum Ukraina keburu berubah menjadi bagian kekuatan NATO. Perang didasari oleh psikologi dan emosi para pemimpin yang menjadi komandan tertinggi pasukan.

Dahulu, Nabi Muhammad mengalami beberapa kali perang yang sangat menguras energi pikiran, hati, dan tenaga. Dari peristiwa-peristiwa perang yang dialami Nabi, beredar sangkaan-sangkaan di masyarakat dunia, Nabi Muhammad dianggap sebagai sosok yang menyebarkan Islam dengan kekerasan, disimbolkan dengan pedang di tangan kanan dan Al-Qur’an di tangan kiri. Isu ini disebarkan oleh orang-orang yang mencoba mempelajari sejarah Islam tetapi tidak dilatarbelakangi oleh objektivitas fakta. Artinya kejujuran sebagai nilai dasar bagi seorang ilmuwan tidak dipegang teguh. Sebagai seorang muslim, penulis tidak hendak mengklarifikasi sangkaan-sangkaan buruk terhadap Nabi Muhammad, tetapi penulis mencoba menyampaikan fakta dan dari fakta itu biarkan semua orang berkseimpulan.

Fakta sejarah sifatnya netral, dan penafsiran sangat tergantung pada kultur memori yang dimiliki panafsir. Fakta bahwa perang Badar, Uhud, dan Khandaq adalah perang tidak seimbang. Berdasar fakta ini, secara psikologis sangat tidak mungkin pasukan kecil berniat melakukan ekspansi pada pasukan yang berjumlah besar. Peperangan yang dialami Nabi Muhammad jauh dari fakta sebagai agresi, tetapi tepatnya sebagai masa-masa penderitaan Nabi Muhammad. Secara psikologis Perang Badar, Perang Uhud, dan Perang Khandaq merupakan tekanan batin yang sangat hebat, menguji keimanan para pengikut Nabi Muhammad. Rasa takut yang menghantui para pengikutnya pada saat perang Badar, membuat Nabi berdoa dengan doa yang sangat mengiba dan “mengancam” pada Allah, jika tidak ada pertolongan Allah maka tidak akan ada lagi manusia yang menyembah Allah.

Kemenangan perang Nabi Muhammad bukan karena pasukan kecil yang dipimpin Nabi Muhammad, tetapi dalam rekaman sejarah di Al-Qur’an dikatakan; “Maka bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Al-Anfaal, 8:17). Kekuatan perang Nabi Muhammad, adalah bantuan dari Allah, akibat penderitaan, tekanan, teror, yang melampaui batas dialami Nabi dan pengikutnya dari orang-orang yang ingin memerangi kebenaran. Pada hakikatnya Allah akan menolong bangsa-bangsa, kelompok-kelompok yang mendapat tekanan dari bangsa atau kelompok lain yang melampaui batas.  

Di bawah tekanan yang hebat, maka emosi perang yang bangkit bukan untuk melakukan agresi atau penjajahan, tetapi melakukan perlawanan untuk membela diri. Emosi untuk membela diri inilah yang sampai kapanpun akan bangkit, menjelma menjadi kekuatan melebihi kekuatan pasukan biasa. Seperti perlawanan bangsa Indonesia terhadap Penjajahan Kolonial Belanda, nafsu perang pada saat itu untuk membela diri dari tekanan dan kekerasan yang dilakukan pemerintah Kolonial Belanda. Kematian dalam perang menjadi tebusan terbaik bagi orang-orang yang merasa bertahun-tahun tertindas dan teraniaya.  

Dalam catatan biografi Nabi Muhammad SAW karya Muhammad Husain Haekal (2003, hlm. 305), dikisahkan Nabi Muhammad pada saat usai perang Uhud sangat berduka cita, melihat mayat Hamzah pamannya, dianiaya dengan membedah perutnya, Nabi merasa sangat sedih sekali sehingga ia berkata; “takkan pernah ada orang mengalami malapetaka seperti kau ini. Belum pernah aku menyaksikan suatu peristiwa yang begitu menimbulkan amarahku seperti kejadian itu”. Lalu katanya lagi, “demi Allah, kalau pada suatu ketika Tuhan memberikan kemenangan kepada kami melawan mereka, niscaya akan kuaniaya mereka dengan cara yang belum pernah dilakukan oleh orang Arab”. Dalam kejadian ini firman Allah turun:

“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan”. (An Nahl, 16:126-127)

Sebagai Rasul, Nabi melaksanakan apa yang diperintahkan Allah dalam ayat di atas. Tiba saatnya Nabi Muhammad dan 10.000 pengikutnya menaklukkan Mekah. Hari itu bukan jadi hari pembantaian, tetapi jadi hari pengampunan masal. Nabi Muhammad tidak mengingat kebencian, kekerasan, pelecehan, dan rencana-rencana pembunuhan yang telah dilakukan masyarakat Arab di masa lalu, Nabi Muhammad melaksanakan perintah Allah yang telah mengajarkan dalam Al-Qur;an; “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia”. Fushshiat, 41:34). Nabi Muhammad menginstruksikan tidak boleh ada darah setetespun ditumpahkan. Membalas keburukan dengan keburukan hanya akan membuat lingkaran setan, yang melahirkan keburukan terus berkelanjutan. Kemenangan perang akan diperoleh oleh bangsa-bangsa yang tidak melampaui batas sekalipun dalam peperangan atau menjadi pemenang perang.  Wallahu’alam.

No comments:

Post a Comment