Saturday, June 27, 2015

DIALOG DENGAN TUHAN DI TANAH SUCI



Izinkan saya untuk berbagi dengan kawan-kawan tentang pengalaman dari tanah suci Mekah. Bulan Februari 2015, saat itu di Mekah dan Madinah sedang musim dingin. Di Madinah, tepat jam 12 siang, saya lihat orang-orang berjemur menghangatkan tubuh karena udara sangat dingin.

Tulisan ini adalah wujud rasa syukur saya kepada Tuhan. Wujud syukur itu saya niatkan dengan berbagi pengetahuan dengan siapa saja yang membutuhkan. Jika ada yang terinspirasi itu dari Tuhan, jika tidak terinspirasi itu karena kebodohan saya.

Sebelumnya, saya tidak menyangka bisa pergi ke tanah suci dan melihat Ka’bah (rumah Allah) dengan mata kepala sendiri. Ketika pertama kami melihat kabah, mata ini terus melotot melihat sedetail-detailnya tentang Ka’bah.

Melayang ke masa lalu, di kampung saya, hanya ada dua orang saja yang bisa berangkat ke tanah suci. Saya hanya bisa membayangkan tentang Ka’bah dari cerita mereka. Sampai sekarang ongkos pergi ke tanah suci masih terbilang  mahal. Tapi sekarang saya adalah orang yang bisa datang ke tanah suci dan melihat Ka’bah, salat dihadapan kabah, salat dekat Ka’bah, tahajud di dekat Ka’bah, menyentuh Ka’bah, menempelkan kepala di Ka’bah, dan berdoa di hadapan Ka’bah  untuk keluarga, dan untuk kawan-kawan di tanah air.

Dengan penuh semanat dalam hati saya berkata, “inilah Ka’bah yang sering diceritakan banyak orang”. Dan sekarang saya merasakan sendiri mengapa orang-orang selalu rindu kembali ke tanah suci, karena di tanah suci ada harapan yang tidak  pernah mati. Harapan itu ada karena semua orang merasakan berada di rumah yang telah disucikan oleh Tuhan.

Untuk mendapatkan salat di dekat Ka’bah, dua jam sebelum waktu salat tiba saya harus sudah berangkat ke Masjid dan menuju tempat terdekat Ka’bah. Demikian juga untuk bertahajud dengan puas dekat Ka’bah, jam dua atau jam  tiga pagi saya harus sudah berada di masjid. Pada jam dua atau tiga pagi kondisi di sekitar Ka’bah tidak terlalu berdesak-desakan. Artinya pada jam  itu kita masih bisa memilih tempat-tempat terbaik untuk salat dan dekat sekali dengan Ka’bah.

Selama empat malam di Mekah, saya dan kawan-kawan tidak pernah melewatkan malam demi malam untuk selalu berada dekat Ka’bah. Dengan bermodal sajadah buatan Turki yang saya beli di toko saat menuju Masjid, saya hamparkan sajadah simetris ke arah Multajam. Menurut Hadis, siapa yang berdoa di Multajam maka doa-doanya akan dikabulkan oleh Tuhan. Multajam adalah posisi ruang antara Hajar Aswad dan pintu Ka’bah.

Karena posisi Multajam di dekat Ka’bah berdesak-desakan dipenuhi oleh orang-orang yang Thawaf, maka saya memilih shalat di koridor luar jalur thawaf. Saya memili posisi searah dengan Multajam. Setelah sajadah terlihat simetris dengan arah Multajam, saya lakukan shalat tahajud dua-dua rakaat diakhiri dengan witir.

Ketika dua rakaat pertama selesai, saya perhatikan posisi sajadah sudah tidak simetris dengan Multajam. Saya coba arahkan kembali lurus dengan Multajam, dan kembali shalat. Selesai dua rakat kedua, saya perhatikan lagi posisi sajadah, sudah tidak simetris lagi dengan Multajam. Saya arahkan lagi ke Multajam, dan shalat lagi. Selesai dua rakaat ketiga, sajadah berubah arah lagi, saya arahkan lagi ke Multajam, dan selesai dua rakaat keempat, sajadah terlihat semakin jauh menyimpang dari Multajam.

Setelah empat kali, saya menyerah. Saya mohon ampun kepada Tuhan dan berpikir apa yang salah dengan diri saya. Saya berpikir kenapa Allah tidak mau disembah dengan cara seperti itu. Kegelisahan, keraguan  terus ada dalam  pikiran. Saya ceritakan kejadian  ini pada kawan-kawan di hotel, tidak ada jawaban memuaskan dan keraguan menggelayut dalam pikiran saya. Serasa bahwa Tuhan tidak menerima ibadah yang saya lakukan.

Hal paling penasaran adalah mengapa saya diberi peringatan oleh Allah seperti itu? Saya berusaha menenangkan diri dengan mengingat sebuah  kesimpulan dari Al-qur’an bahwa kasih sayang Tuhan lebih besar dari murkanya. Dengan mengingat ini pikiran saya sedikit tenang, namun kejadian itu sampai pulang ke tanah air terus menjadi tanda tanya?

Rabu, 24 Juni 2015, (Ramadan hari ke tujuh), ketika shalat subuh di masjid, seorang penceramah berbicara tentang takwa. Saya penasaran karena belum menemukan definsi ajeg tentang takwa. Ketika seacrhing di Al-Qur’an digital tentang takwa, saya membaca satu ayat ini.

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”. (Al-Baqarah:177).

Saat membaca terjemah yang dicetak tebal di atas, saya teringat kejadian lima bulan ke belakang di depan Ka’bah. Inilah  jawabannya!. Saya tafsir (hubungkan)  kejadian lima bulan lalu di depan Ka’abah dengan ayat ini. Pada kejadian lima bulan yang lalu rupanya Tuhan sedang mengajak dialog. Ketika saya memaksakan sampai empat kali menghadapkan  sajadah ke Multajam, dan empat kali Tuhan membelokkannya. Kejadian ini memiliki arti bahwa apa yang saya lakukan adalah salah. Menghadap-hadapkan wajah ketika shalat ke Multajam dengan tujuan supaya doa dikabul, bukanlah suatu kebajikan yang diperintahkan. Suatu kebajikan sudah jelas diperintahkan sebagai mana tertulis dalam surat Al-Baqarah ayat 177.

Tuhan  tidak menyukai sikap berlebihan, mengada-adakan dalam hal keyakinan. Mungkin saya terlalu berlebihan mengimani hadis tentang Multajam dan saya termasuk kategori yang telah menjadikan Multajam sebagai berhala.  

Menghadap wajah ke Multajam bukanlah suatu penyebab dikabulkannya doa. Menghadapkan wajah ke Multajam bukanlah sebab turunnya rohman dan rohimnya Tuhan. Penyebab turunnya rohman dan rohimnya Tuhan adalah bila kita melaksanakan kebajikan-kebajikan sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an.   

Lalu bagaimana dengan mereka yang berebut berdesak-desakkan, membayar calo, demi  mencium hajar aswad? Sungguh jika kita mengaitkan dengan surat Al-Baqarah ayat 177, hal seperti itu bukanlah termasuk kebajikan yang diperintahkan. Memaksakan mencium Hajaraswad  adalah sikap berlebihan dan bisa dianggap sebuah pemberhalaan  terhadap benda yang tidak diharapkan oleh Tuhan. Semoga Allah mengampuni kita semua. Amin. 

(Penulis Buku Hidup Sukses Dengan Logika Tuhan, Follow  @logika_Tuhan)

No comments:

Post a Comment