Friday, April 10, 2020

ULAMA PENDIDIKAN SEJARAH

Oleh: Muhammad Plato

Pada saat kuliah umum sejarah di Sekolah Pasca Sarjana UPI tempo hari, saya bertanya kepada dua orang narasumber doktor dan profesor yang berlatar belakang ilmu sejarah murni, “bagaimana Al-Qur’an diperlakukan oleh sejawaran?” Jawaban yang terlontar pada saat itu adalah mentifact dan sociofact. Jawabannya singkat, namun mendasar. Inilah menurut penulis sudut pandang sejawaran terhadap Al-Qur’an.

Bagi penulis jawaban pakar sejarah dari universitas ternama di Indonesia ini bisa jadi dalil bagi para sarjana pendidikan sejarah dalam memperlakukan Al-Qur’an. Dari sudut pandang sejarawan, Al-Qur’an adalah fakta mental dan kejadian-kejadian hidup manusia di masa lalu. Para sejarawan harus mencari fakta-fakta mental apa yang terdapat dalam Al-Qur’an, sehingga bisa diajarkan dalam pelajaran sejarah. Selain itu fakta-fakta sosial apa yang bisa dikemas dalam pembelajaran sejarah sebagai bukti penguat berlakunya fakta mental dari Al-Qur’an.

Sahabat saya membagikan sebuah video ceramah di masjid yang menurut Beliau menyejukkan. Isi videonya adalah seorang berlatar belakang ilmu kedokteran menjelaskan tentang prilaku Virus Corona yang mewabah. Penjelasan diawali dengan mengutif ayat Qur’an kemudian diikuti penejalasan Virus Corona sebagai makhluk Tuhan menyebar dan menjadi pandemi. Alhasil dari penjelasan dokter tersebut, banyak orang terinspirasi dan merasa tenang serta mengetahui hal-hal apa yang harus dilakukan tanpa mengalami kepanikan. Dia mewakili seorang dokter yang memahami ilmu kedokteran dan mampu mengaitkan ilmu kedokterannya dengan informasi Al-Qur’an. Menurut penulis ulama-ulama seperti inilah yang harus banyak diciptakan di masa sekarang.


Fakta sekarang, Al-Qur’an masih direduksi menjadi milik seseorang yang bergelar ilmu tertentu. Al-Qur’an daikui oleh kurang lebih satu miliar penganut agama Islam sebagai wahyu Tuhan. Wahyu dari Tuhan bukan hanya untuk umat Islam, tapi untuk mengatur tujuh miliar manusia yang diciptakan Tuhan.

Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, karena Nabi Muhammad saw. orang Arab. Ketika Al-Qur’an diperkenalkan kepada orang Indonesia, Inggris, Perancis, Italia, maka Al-Qur’an harus disampaikan dengan bahasa kaumnya. Harus mengerti bahasa Arab, pasti iya. Tapi tidak akan semua manusia menonjol kecerdasan bahasanya. Maka tugas manusia-manusia yang diberi kecerdasan bahasalah menterjemahkan dan menfasirkan Al-Qur’an ke dalam bahasa kaumnya. Tapi itu tidak berarti mereka yang menguasai bahasa Arab sebagai satu-satunya pemilik pengetahuan tentang kebenaran Al-Qur’an.

Setelah Al-Qur’an disampaikan kepada manusia sesuai dengan bahasa kaum di mana tinggal, maka akan muncul bahasa-bahasa yang menterjemahkan Al-Qur’an dari berbagai sudut pandang. Para ilmuwan akan menerjemahkan Al-Qur’an berdasar sudut pandang keilmuannya. Seperti contoh seorang dokter menerjemahkan Al-Qur’an dengan membuktikan kebenaran Al-Qur’an dalam ilmu kedokteran yang dikuasainya. Demikian juga dengan sejawaran akan menerjemahkan Al-Qur’an sesuai dengan sudut pandang sebagai sejawaran atau ahli pendidikan sejarah.  

Jika Nabi Muhammad bersabda, Allah memberi pahala sebagai manusia terbaik kepada mereka yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya. Apakah ini berarti tidak diberi kesempatan kepada orang-orang yang belajar Al-Qur’an dari sudut pandang sejarah? Jika tetap harus memahami bahasa Arab, lalu untuk apa Al-Qur’an diterjemahkan?

Al-Qur’an tidak mungkin dipersepsi oleh satu jurusan ilmu Bahasa. Tugas para ahli Bahasa adalah menenrjemahkan, menafsirkan, lalu hasil kerjanya dapat digunakan oleh berbagai cabang ilmu untuk mendapat pemaknaan berdasar sudut padang ilmu masing-masing. Tidak cukup Al-Qur’an dapat dipahami satu rumpun para ahli bahasa saja. Sarjana Pendidikan Sejarah bisa memberi makna terhadap Al-Qur’an sebagai mentifact atau sociofact menjadi ajaran tentang berlakunya hukum-hukum Tuhan dalam kehidupan. Kita harus bergotong royong menyebarluaskan ayat ayat Qur'an dengan berbagai bahasa, gaya dan latar belakang budaya.  

Selama ini ada orang yang memberhalakan ahli bahasa tertentu sebagai satu-satunya ilmu yang bisa memahami Al-Qur’an. Jika Al-Qur’an turun dari Tuhan, maka tidak boleh ada satu orang pun yang memberhalakan seseorang sebagai ahli Qur’an, karena Al-Qur’an bukan kitab karangan manusia. Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, tapi hakikatnya dalam bahasa Tuhan. Maka bahasa Tuhan tidak mungkin hanya bisa dipahami oleh yang namanya ahli satu orang.

Maka semua orang harus menjadi penyampai kebenaran. Ahli-ahli bahasa adalah penyampai kebenaran, tapi bukan pemilik kebenaran. Bahasa Tuhan harus bisa dipahami dengan mudah oleh semua orang dan semua kalangan. Untuk itu butuh bantuan semua ilmu untuk menjelaskan kebenaran Al-Qur’an. Penerjemah Al-Qur’an seperti seorang Nabi yang mencoba menjelaskan kitab suci kepada manusia sesuai dengan bahasa yang dipahami. Para ahli bahasa Arab adalah penyampai kebenaran yang tidak boleh diberhalakan, dan tidak boleh mengklaim sebagai pemilik kebenaran apalagi melarang dan merendahkan orang yang hendak memahami Al-Qur’an dalam bahasa kaum yang dipahaminya. Tugas para ahli bahasa seperti tugas Nabi Muhammad saw, menyampaikan kebenaran bukan mengklaim kebenaran.

Al-Qur’an diterjemahkan untuk memudahkan semua orang memahami isinya. Untuk itu Al-Qur’an dapat dipahami oleh seluruh umat manusia berdasarkan bahasa yang dipahaminya. Itulah kemurahan Tuhan kepada manusia karena Tuhan maha adil dan menguasai semua bahasa. Seharusnya para ahli bahasa justru menganjurkan kepada semua orang untuk memahami isi Al-Qur’an dari hasil alih bahasa yang dilakukannya untuk diapresiasi dari berbagai sudut pandang keilmuan dan budaya, sehingga akan memperkaya pengetahuan para ahli bahasa untuk kembali memperdalam ilmu Al-Qur’an.

Di lapangan orang-orang masih ada yang melarang, merendahkan atau menyalahkan mereka yang berusaha memahami Al-Qur’an dari terjemah. Mirisnya, orang-orang yang melarang dan merendahkan itu, mereka juga tidak paham Al-Qur’an dan bukan ahli bahasa Arab. Mereka itu tidak sadar telah menghalang-halangi banyak orang untuk bergaul dengan Al-Qur’an. Mereka seperti berusaha mempertahankan manusia tetap bodoh karena tidak banyak bergaul dengan isi Al-Qur’an.

Fakta ini jadi sebab tidak lahirnya ulama-ulama tafsir Al-Qur’an dari berbagai sudut pandang keilmuan. Padahal seharusnya di dalam dunia muslim, semua orang yang berlatar ilmu baik alam maupun sosial harus memiliki kemampuan sebagai seorang ulama yang memahami Al-Qur’an dari sudut pandang keilmuannya. Al-Qur’an harus dipahami dalam bahasa apa saja agar banyak melahirkan ilmuwan berkualitas ulama.

Inilah sekat-sekat yang masih menghambat berkembangnya ilmu dari sudut pandang keislaman. Akses untuk memahami Al-Qur’an dibatasi karena ada berhala-berhala tidak berilmu yang menghalang-halangi ilmuwan bersentuhan dengan Al-Qur’an. Berhala-berhala ini menjelma dari yang bergelar dan sekedar belajar berdasar talaran tanpa gelar. Ilmu-ilmu keislaman yang seharusnya bersumber dari Al-Qur’an mengalami stagnasi berabad abad lamanya, dan ilmu, teknologi, berkembang liar karena tidak mengenal Tuhannya.

Untuk mengawalinya, sudah saatnya hadir ulama-ulama sejarah, untuk membebaskan sejarah dari ikatan berhala-berhala yang terus menghalang-halangi para sejarawan, guru sejarah, bersentuhan dengan Al-Qur’an. Sejarah sebagai mentifact atau sosiofact itulah dasar pijakan bagi para sejarawan, guru sejarah, untuk menggali, mengembangkan fakta, konsep, generaliasi, teori, hukum, etika, dan filosofi sejarah yang diilhami oleh Al-Qur’an. Inilah ulama-ulama yang akan mengimbangi zaman dan mempertahankan manusia tetap percaya kepada Tuhan. Urusan salah dan benar, masuk surga atau neraka, kurang dan lebih, bukan pengetahuan manusia untuk menentukannya saat ini di dunia. Allah menilai kebaikan seseorang dari niat-niatnya yang ada dalam hati manusia.  Al-Qur’an diturunkan tidak untuk menyulitkan manusia. Wallahu’alam.

(Penulis Mahasiswa SPS UPI Jurusan Pendidikan Sejarah)

No comments:

Post a Comment