Wednesday, July 15, 2020

AGNOSTIK PENYAKIT ANAK MILENIAL

OLEH: MUHAMMAD PLATO

Agnostik adalah gejala psikologis yang harus diwaspadai di zaman milenial. Zaman milenial ditandai dengan kemapanan anak-anak pada usia muda. Perkembangan teknologi informasi telah mendorong anak-anak sukses di usia muda, dimana tingkat spiritual mereka belum matang. Dalam usia yang sangat muda anak-anak bisa memiliki kapital ratusan juta bahkan miliaran rupiah. Perkembangan spiritual mereka yang masih labil ketika diberi kemapanan,  ego (SENSE OF I) menjadi pengendali hidupnya. Kemapanan telah mendorong mereka menjadi seperti Tuhan yang bisa mewujudkan segala keinginannya dengan kapital yang mereka miliki.

Teknologi informasi yang mereka kuasai memudahkan mereka mengumpulkan kapital dalam jumlah besar. Dalam kondisi kapital besar dan kualitas spiritual yang masih labil hidupnya cenderung mengikuti naluri kemanusiaan yang bebas dan merdeka. Agnostik adalah kepercayaan hidup yang merasa kuasa dan merdeka akibat dukungan kemapanan dalam bentuk kapital yang mereka miliki. Agnostik adalah penyakit peradaban yang muncul akibat kemapanan dan menjadi gaya hidup.

Ditinjau dari sisi spiritual agnostik adalah kepercayaan yang meyakini bahwa dirinya adalah penentu kebaikan dan keburukan. Agnostik adalah penyakit peradaban yang meyakini bahwa dirinya seperti Tuhan. Mereka merasa bahwa segala penentu hidup adalah kemanusiaan. Mereka tidak mengakui peran Tuhan di luar dirinya karena kemapanan yang dimilikinya. Dia merasa Tuhan tidak pernah ikut campur dalam menentukan hidupnya. Agnostik adalah gaya hidup sombong akibat kemapanan.

Di dalam Al-Qur’an manusia-manusia agnostik digambarkan sebagai manusia yang dikendalikan oleh hawa nafsunya. Kesombongannya membuat dirinya sulit menerima petunjuk dari Tuhan.

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (Al Jaatsiyah, 45:23).

Ukuran baik dan buruk orang-orang agnostik (menuhankan dirinya) berdasarkan hawa nafsunya. Mereka memandang baik dan buruk atas pertimbangan pikiran dan pengetahuan alam serta pengalaman hidup yang dimilikinnya. Dia memandak kebaikan bukan dari petunjuk Tuhan tetapi dari apa yang dia pikirkan dan rasakan benar.

“Maka apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Tuhannya sama dengan orang yang (syaitan) menjadikan dia memandang baik perbuatannya yang buruk itu dan mengikuti hawa nafsunya?” (Muhammad, 47:14).

Kaum agnostik adalah golongan orang-orang kafir yang tertutup dari informasi tentang keberadaan Tuhan. Mereka mengakui keberadaan Tuhan tetapi sedikit pun tidak menaruh percaya dan yakin bahwa hidup ini dikendalikan oleh Tuhan. Mereka berprasangka bahwa ada atau tidak ada Tuhan, manusia hidup dengan kekuatan akal dan pikirannya. Kebaikan yang dilakukannya tidak didasarkan pada pengabadian pada Tuhan, melainkan atas dasar rasa kemanusiaan dan kebebasan yang tidak saling merugikan.

Kaum agnostik ketika mendapat kekuasaan akan berubah menjadi Fir’aun yang merasa mapan dan menjadi pemilik kekuasaan, kemudian akan berbuat seperti Tuhan yang bisa mengendalikan kehidupan manusia. Kekuasaannya akan digunakan untuk memaksa orang-orang untuk tunduk kepadanya dan menjadi kedzaliman di muka bumi ini seperti kisah Fir’aun. Tidak ada batas-batas moral kebaikan kecuali berdasarkan pada ukuran yang diciptakannya. Orang-orang agnostik akan sulit menerima kekuasaan dan kehendak Tuhan karena kemapanan telah menutupi segala keyakinannya bahwa Tuhan sebagai penyebab segala kejadian.

Generasi agnostik menjadi ancaman serius bagi peradaban manusia, jika mereka berhasil menduduki kekuasaan dengan kapital yang dimilikinya. Dunia harus diselamatkan dari penyakit agnostik dengan pendidikan agama yang bisa mengelaborasi keberadaan Tuhan dengan bantuan sudut pandang rasional. Tuhan harus dijelaskan dari penjelasan-penjelasan kebenaran nyata bahwa tidak ada kekuasaan manusia sedikit pun bisa menentukan dan mengetahui ujung dari kehidupan.

Ilmu-ilmu yang dikembangkan dari sudut padang rasio dan empiris harus digabungkan dengan kajian-kajian yang melibatkan pengetahuan-pengetahuan wahyu dari Tuhan. Al-Qur’an adalah sumber pengetahuan yang bisa membawa manusia pada penemuan jati diri manusia sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan. “Bintang pengetuk” yang ditemukan oleh astronot China, ternyata adalah nama dari salah satu ayat Al-Qur’an bernama At Thariq. Ilmu pengetahuan menjelaskan kebenaran-kebenaran Al-Qur’an. Kajian semacam ini harus lebih banyak dikembangkan untuk membantu manusia  mengenal dan lebih mengenal Tuhannya.  Wallahu’alam.


No comments:

Post a Comment