Wednesday, May 6, 2020

METODE MENAFSIR AL-QUR'AN

OLEH: MUHAMMAD PLATO
(Penulis Master Trainer Logika Tuhan)

Terjadi Perbedaan pandangan dalam metode menafsir Al-Qur’an. Ibn Taimiyah mengatakan tafsir menggunakan akal semata adalah termasuk tafsir yang harus dijauhi. Ibn Katsir menyatakan tafsir bi al-ra’y (akal, pemikiran, pandangan, dan perenungan) merupakan metode penafsiran yang musykil, tidak berlandas ilmu pengetahuan dan argument kuat. (shihab, 2008, hlm. 260). Menafsir Al-Qur’an dibutuhkan metode keilmuan agar hasilnya mendekati kebenaran dan bisa dipertanggungjawabkan. Ada prasyarat yang ketat bagi siapa saja yang mau memahami dan menafsir Al-Qur’an.

Meskipun sebagian ulama menolak tafsir bi al-ra’y, mayoritas ulama tafsir kontemporer menerimanya.  Muhammad Abduh menyatakan tafsir bi al-ra’y sebagai salah satu metode memahami Al-Qur’an yang dapat ditolelir, karena akal dan wahyu tidak mungkin bertentangan. Penggunaan akal secara bebas dalam menafsir ayat Al-Qur’an dimungkinkan sepanjang tidak membawa kemadaratan dan sesuai dengan roh syari’at. Imam Al-Fakhr Al-Razi mendukung tafsir bi-alra’y dibtuktikan dengan tafsir-tafsirnya banyak menggunakan filsafat, teologi, dan ilmu kealaman. (Shihab, 2008, hlm. 260).

Baidan (2005, hlm. 3-4) menjelaskan generasi penafsir Al-Qur’an pertama adalah Nabi dan para sahabat nabi, metodenya dikategorikan sebagai metode global (ijmali). Diterapan oleh al Suyuthi dalam kitabnya Al-Jalalain. Kemudian berkembang metode analitis (tahlili) yang berkembang mengambil bentuk al-ra’y, mengkhususkan kajian fiqh, tasawuf, dan bahasa.  Selanjutnya berkembang metode perbandingan (muqarin) dan tematik (maudhui). Perkembangan metode tafsir dituntut oleh perkembangan masyarakat yang dinamis. Penafsir zaman Nabi yang menyaksikan sebab-sebab turunnya ayat berbeda dengan kita sekarang. Pada zaman Nabi, jika sahabat tidak memahami bisa bertanya kepada Nabi.

Metode tafsir yang digunakan Nabi adalah menafsirkan ayat dengan ayat.  Sebagai contoh ketika nabi menafsirkan surah Al-An’am ayat 82, tentang orang beriman yang tidak mencampurdukkan iman mereka dengan kedzaliman adalah orang yang diberi petunjuk.  Sementara tidak ada seorang beriman kecuali pernah berbuat zalim. Para sahabat gusar dengan ayat ini. Lalu Nabi menafsirkan dengan ayat 13 surah Al-Luqman, “sesungguhnya menyekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar. (Baidan, 2005, hlm.5).  Jadi kezaliman yang tidak ditolelir adalah mereka yang mempersekutukan Allah.  Selama orang beriman berbuat zalim karena lupa, terpaksa, kondisi, masih dapat diampuni, tetapi mempersekutukan Allah tidak terampuni. Penafsir zaman Nabi dan para sahabat hanya dapat dipelajari melalui ingatan sejarah. Kelompok dikategorikan pada kelompok tekstual.


Jadi secara umum telah terjadi perbedaan pendapat dalam memahami Al-Qur’an, yaitu golongan tekstual dan konstekstual. Namun jika kita bertanya mana yang benar? Kelompok yang melarang menggunakan akal dalam menafsir Al-Qur’an, sebenarnya mereka juga mengeluarkan larangan dengan menggunakan akal. Jadi dua kelompok ini sama-sama menggunakan akal hanya berbeda metode dalam manfasirkan Al-Qur’an. Maka tidak ada yang bisa menjamin keduanya benar karena kebenaran hanyalah milik Allah. Selama manusia menafsir Al-Qur’an sekalipun ingin mendekati kebenaran pasti ada peluang melakukan kesalahan, karena sudah sifat manusia ditakdirkan sebagai pelaku kesalahan.

Untuk itu kita harus kembali kepada berita Al-Qur’an, “Kami tidak menurunkan Al Qur'an ini kepadamu agar kamu menjadi susah; (Thaahaa, 20:2). “… Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). … Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Al-Baqarah, 2:185).

Jika Allah memberi penghargaan sebagai manusia-manusia terbaik kepada orang yang mau memahami dan mengajarkan Al-Qur’an, maka peluang ini terbuka bagi semua manusia. Al-Qur’an bukan milik sekelompok manusia, tetapi milik umat manusia, karena dikatakan di Al-Qur’an sebagai hudalinnas (Al-Baqarah, 2:185), artinya petunjuk bagi manusia.

Untuk itu dalam memahami Al-Qur’an kita tidak bisa membenar metode satu dan menyalahkan metode lain. Kitab suci adalah kitab Allah diturunkan dalam bahasa Allah sekalipun diturunkan dalam bahasa Arab. Bahasa Allah bisa menjangkau seluruh lapisan manusia dan masyakat tanpa diskriminasi. Dengan demikian semua punya peluang memahami Al-Qur’an, karena pada hakikatnya semua orang sudah diberi kemampuan untuk memahami ayat-ayat Allah yaitu melalui Qalam, yang oleh Imam Al-Gazhali disebut dengan nur atau akal, oleh Prof. Fahmi Basya disebut logika.


Dan inilah kemurahan Allah berikutnya untuk manusia, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al Baqarah, 2:286). Pahami dan tafsirlah Al-Qur’an sesuai kemampuan. Jika tidak memahami bahasa Arab, terjemah, tafsir  adalah kemurahan Allah agar seluruh manusia bisa memahami ayat Allah. Belajar memahami Allah dari mana kita mampu, setiap kata, pengetahuan, hukum, yang masuk ke dalam memori kita akan jadi petunjuk hidup bagi kita. Allah tidak akan melarang siapa saja yang berusaha memahami Al-Qur’an dalam berbagai cara. Allah menghargai bagi siapa saja dengan cara apa saja yang ingin mendekatkan diri kepada-Nya dengan mempelajari Al-Qur’an.  Wallahu’alam.

No comments:

Post a Comment