Tuesday, May 12, 2020

ADA HAK MUALAF DI HARTA KITA

OLEH: MUHAMMAD PLATO

Kisah para mualaf masuk Islam sangat memilukan hati. Mualaf di zaman Nabi Muhammad saw tentu berbeda dengan mualaf di zaman sekarang. Kisah terusir dan jatuh miskinnya kaum mualaf adalah tanggung jawab kaum muslimin. Kasihan pula menengar para mualaf terlunta-lunta tidak punya pekerjaan, di pecat gara-gara beda keyakinan, ini tanda Allah menegur kaum muslimin bahwa para mualaf tanggung jawab kita sebagai muslim. Kaget juga mendengar seseorang yang sudah 11 tahun menjadi mualaf dan menjadi da’i, ibadah haji empat kali, tiba tiba kembali ke agama lama, namun diklarifikasi sudah kembali lagi bersyahadat.

Kisah-kisah para mualaf yang kini mencuat ke permukaan adalah tanda-tanda, teguran atau peringatan dari Allah untuk kaum muslimin. Jikalau kaum muslimin adalah orang-orang yang taat kepada Allah, di dalam Al-Qur’an ada perintah Allah untuk memperhatikan para mualaf.

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, IBNU SABIL dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri, (An Nisaa, 4:36).


Dalam tafsir Ibu Katsir Ibnu Sabil dijelaskan sebagai tamu atau orang yang melakukan perjalanan. Dalam tafsir Jalalain kata IbnuSabil dalam QS. Al Anfaal, 8:41 dijelaskan sebagai orang muslim yang kehabisan bekal dalam perjalanan. Surat An-Anfaal dibicarakan dalam kontek harta rampasan perang, dalam surah An Nisaa berbicara lebih general. Jadi siapa Ibnu Sabil ini? Dalam terjemah kadang dijelaskan langsung sebagai orang dalam perjalanan yang kehabisan bekal, dalam tafsir surat lain disebutkan utuh dengan kata Ibnu Sabil. Menyimak dari dua  tafsir di atas,  kata Ibnu Sabil memiliki persamaan tafsir, yaitu orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan. Dalam tafsir Al Bayan, Hasby Ash Shiddiieqy memberi petunjuk, untuk mermahami Ibnu Sabil dengan melihat Q.S Ali Imran, 3:195, “Maka segala mereka yang telah berhijrah, telah diusir dari kampung halamannya dan telah disakiti pada Jalan Ku”.

Apapun pndapatnya, kata Ibnu Sabil di dalam Al-Qur’an muncul secara leterlek. Kata Ibnu Sabil muncul dalam hal bagaimana menyalurkan harta baik rampasan perang maupun harta hasil usaha. Ibnu Sabil adalah orang-orang spesial yang diamanatkan oleh Allah kepada orang beriman untuk diperhatikan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya dhahir maupun batin.

Jika kita tengok kasus-kasus perjalanan para mua’alaf, kisah-kisah mereka dalam perjalanan hijrah menuju Islam sangatlah tidak mudah. Mereka ada yang terusir, terasing, teraniaya, jatuh miskin, kadang terlunta-lunta. Disamping itu mereka juga berhijrah melakukan perjalanan ruhani dari gelap menuju terang yang kadang dalam perjalanannya tidak seindah yang mereka bayangkan. Para mualaf mereka selalu akan menghadapi minimal dua guncangan dalam hidup barunya, pertama guncangan ekonomi, kedua gucangan ruhani.

Mereka seperti kaum muhazirin yang terusir dari kampungnya. Mereka memiliki kekuatan iman tapi mereka kehabisan bekal karena situasi belum normal. Sebaliknya jika mereka memiliki kemapanan, mereka harus harus berjuang mempertahankan keimanan. Dalam kenyataannya para mualaf selalu mendapat tempat yang kurang kondusif dalam kehidupannya karena mereka harus beradaftsi dengan kehidupannya yang baru.

Ulama-ulama terdahulu memberi amanat bahwa para mualaf adalah titipan dari Allah untuk bersama-sama kita bantu. Amanat itu masih dipegang oleh orang tua kita turun temurun. Dulu saya masih menyaksikan, seorang nenek sedang memberikan sebagian hartanya kepada seseorang laki-laki yang terlihat lebih muda. Saya penasaran bertanya kepada nenek itu, “siapa orang itu?’. Beliau menjawab, “dia memang masih muda, tapi dia mualaf. Sudah menjadi tugas kita membantunya, dan ini sudah rutin dilakukan”.  Saya diam tidak bertanya lagi.

Sekarang setelah banyak media sosial memberitakan orang-orang masuk Islam dan menceritakan bagaimana kisah pilunya menjadi seorang mualaf. Saya mengerti, mengapa para ulama dulu memberi amanat untuk membantu para mualaf, karena untuk mendapat hidayah dan mempertahankan keimanannya, para mualaf harus rela berkorban meninggalkan harta dan keluarganya. Persis kasusnya seperti orang-orang yang berhijrah meninggalkan harta dan keluarganya di zaman Nabi Muhammad saw. Bisa jadi para mualaf adalah golongan Ibnu Sabil, yaitu golongan yang melakukan perjalan atau hijrah dhahir dan batin berjuang mempertahankan keimanan. Untuk itu mereka khusus dititipkan oleh Allah kepada kita semua.

Membantu para mualaf bukan sekedar hitung-hitungan harta yang kita berikan. Tapi bagian dari tanggung jawab seorang muslim yang menjaga ketaatan kepada Allah dan Rasulnya. Membantu mualaf bukan sekedar bantuan untuk bertahan hidup belaka tetapi menjaga dan saling menguatkan agar kita bisa bertahan hidup dan mati dalam keadaan muslim. Sebaik-baiknya kita adalah mati dalam keadaan muslim, bukan dalam keadaan kaya atau miskin.

Masjid-masjid, majelis-majelis, lembaga-lembaga zakat, rumah-rumah tangga, dan kaum muslimin sudah saatnya lebih fokus lagi membangun kesadaran dan mengalokasikan hartanya untuk kegiatan kepentingan para mualaf. Semoga Allah menjaga harta dan jiwa tetap dalam ketaatan kepada Allah swt. sampai akhir khayat. Wallahu’alam. 

No comments:

Post a Comment