Thursday, May 7, 2020

MENGUJI KEBENARAN Al-QUR’AN


Oleh: Muhammad Plato
(Penulis Master Trainel Logika Tuhan)

Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. (Al Baqarah, 2:23). Inilah tantangan Allah kepada mereka yang mempertanyakan keberadaan dan kebenaran Al-Qur’an.

Al-Qur’an diturunkan 1500 tahun yang lalu, pada masa kenabian Muhammad saw. Secara kasat mata kitab suci Al-Qur’an adalah peninggalan sejarah. Turunnya Al-Qur’an tidak lepas dari kisah perjalanan hidup Nabi Muhammad saw dalam menyebarkan agama Islam. Dari sudut pandang sejarah, cerita-cerita tentang hidup Nabi Muhammad saw adalah bagian dari kajian ilmu sejarah untuk mengungkapnya. Ilmu sejarah berkaitan dengan keberadaan hadis-hadis Nabi Muhammad saw. Keberadaan Al-Qur’an seiring dengan perjalanan kisah kenabian Nabi Muhammad saw.

Hadis-hadis nabi adalah produk ilmu sejarah yang menguji kebenarannya melalui verifikasi sumber  berdasarkan kesalehan para pemberi kabar. Validitas kebenaran hadis diukur dari kesalehan para penutur hadis. Jika para penutur hadis dikategorikan orang jujur, amanah, tidak pernah dusta, tidak bohong, maka hadis dikatakan valid (shahih). Kualitas kejujuran para penutur hadis dilakukan melalui uji ketat oleh para ahli hadis, seperti Buhkari dan Muslim.

Uji kejujuran yang dilakukan kepada penutur hadis dilakukan secara kualitatif melalui kesaksian-kesaksian orang-orang yang hidup sezaman dengan penutur hadis. Pengujian semacam ini tidak menjamin 100 persen benar karena verifikasi kejujuran pada penutur hadis berdasarkan pada penghlihatan dan ingatan para saksi. Hal yang diandalkan dari pengujian hadis model ini adalah kultur Islam yang sangat kental dengan kesalehan dan kejujuran para penganutnya. Sekalipun manusia tidak akan luput dari kesalahan.

Semakin jauh jarak Nabi Muhammad saw dengan kita sekarang, maka hadis-hadis Nabi tidak akan mengalami perkembangan. Orang-orang yang hidup di zaman Nabi Muhammad saw sudah tidak ada lagi yang hidup. Sekalipun keturunan-keturunan Nabi dan para sahabat masih ada sampai sekarang, mereka sudah tidak bisa diandalkan menyimpan berita-berita dari Nabi secara langsung.


Pengujian kebenaran hadis selalin dari kualitas kejujuran para penutur, dilihat pula dari kualitas isi yang diverifikasi dengan isi kandungan Al-Quran. Berita hadis jika penuturnya tidak tercela tetapi isi hadis bertentangan dengan Al-Qur’an maka hadis dikatakan lemah secara substansi. Hadis ini akan dikesampingkan selama ada hadis yang valid. Sebaliknya jika isi hadis tidak bertentangan dengan Al-Qur’an tetapi penuturnya punya sifat tercela, maka hadis itu lemah. Hadis ini juga akan dikesampingkan selama ada hadis valid.

Hadis adalah sumber informasi kedua yang digunakan umat Islam dalam memahami ajaran Islam. Hadis juga digunakan untuk menafsir Al-Qur’an. Ilmu tafsir Al-Qur’an yang menggunakan hadis memiliki keterbatasan karena jumlah hadis yang terbatas. Untuk itulah dibutuhkan metode penafsiran Al-Qur’an yang bisa menjawab perubahan masyarakat. Metode tersebut sering dikaitkan dengan metode al ra’y (akal, pemikiran, logika).  

Orang-orang non muslim sering bertanya, apa bukti bahwa Al-Qur’an itu wahyu? Menurut mereka jika Al-Qur’an itu wahyu, harus ada saksi yang membenarkannya dan diberitakan di dalam kitab suci itu sendiri. Mereka menganggap bahwa Al-Qur’an adalah tiruan dari kitab-kitab suci terdahulu, karena secara kronologis Al-Qur’an ada setelah wahyu-wahyu terdahulu turun. Mereka melihat kebenaran kitab suci berdasarkan urutan sejarah turunnya kitab suci. Pembuktian-pembuktian yang diajukan oleh mereka sangat materialistik dan rasionalis. Mereka mengukur keberadaan kitab suci berdasarkan ukuran rasio (logika) murni manusia dan bukti logika empiris. Pendekatan yang dilakukan mereka cenderung pada  kajian kronologis ilmu sejarah.
Kajian sejarah tidak bisa dijadikan sebagai satu alat ukur membenarkan keberadaan kitab suci. Pendekatan sejarah tidak bisa menjamin kebenaran keberadaan kitab suci karena sejarah diungkap dari fakta dan ditafsir berdasar ingatan penulisnya. Sangat sophisticated jika menguji keberadaan kitab suci dari kaca mata ilmu sejarah. Isi kitab suci bisa bercampur dengan cerita sejarah.

Metode yang dapat diandalkan untuk menguji kebenaran kitab suci adalah menguji isi kebenaran kitab suci. Pengujian bisa dilakukan melalui korelasi atau kontradiksi antara isi kitab suci, atau isi kitab suci dengan kebenaran ilmiah. Surat menjelaskan surat, ayat menolak ayat, atau ayat menjelaskan fakta ilmiah, atau fakta ilmiah menjelaskan ayat. Pendekatan ini membutuhkan keterlibatan akal. Dasar metode ini bersumber pada keterangan Al-Qur’an di bawah ini.

Bahkan mereka mengatakan: "Muhammad telah membuat-buat Al Qur'an itu", Katakanlah: "(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar". (Huud, 11:13).

Untuk menjawab orang-orang yang tidak percaya kitab suci Al-Qur’an sebagai perkataan Allah, dalam Al-Qur’an Allah menantang untuk dilakukan uji materi terhadap kebenaran isi surat di dalam Al-Qur’an. Untuk itu tidak tertutup bagi umat Islam memperbanyak kajian-kajian tentang kebenaran Al-Qur’an dari berbagai sudut pandang keilmuan. Baik dalam kajian filosofis, historis, etika, moral, dan kebenaran sains secara empiris dalam berbagai kajian ilmiah. Kesepakatna para ulama untuk melakukannya sebagai kajian tafsir kontemporer yaitu tafsir yang menggunakan akal yang memanfaatkan sudut-sudut pandang keilmuan. Inilah peluang untuk meningkatkan keimanan kita kepada Tuhan YME dan menjawab pertanyaan orang-orang yang tidak percaya bahwa Al-Qur’an sebagai perkataan Allah. Wallahu’alam.

No comments:

Post a Comment